PADA ulang tahunnya yang ke-26, TVRI boleh bangga. Saat-saat mencapai usia dewasa itu, TVRI bisa menampilkan wawancara khusus dengan Presiden Soeharto, Selasa malam pekan lalu. Dan yang lebih penting lagi adalah ide yang dilontarkan Pak Harto pada kesempatan itu. Mungkin prihatin karena banyak pemirsa yang menunggak iuran TV, Presiden menyarankan agar penagihan bisa dioperkan pada pihak swasta. Dikatakan juga bahwa perusahaan swasta ini berhak atas sebagian hasil tagihannya. Semacam komisi, begitu. Kelak, kalau para penunggak itu sudah taat membayar, penagihan bisa dikembalikan ke kantor pos dan giro, yang selama ini bertugas sebagai penampung iuran. "Tapi ini hanya sekadar usul dari saya, mungkin ada saran lain yang lebih bagus," tutur Presiden. Usul ini datang pada saat yang tepat. Pada kenyataannya, menarik iuran TV saat ini bagaikan mengunyah daging kerbau. Luar biasa alotnya. Coba lihat hasil tagihan total tahun 1986-87 dari seluruh Indonesia, yang baru mencapai Rp 42 milyar, sementara tahun lalu meningkat jadi Rp 51 miIyar. Berarti, ada kenaikan dari tahun sebelumnya sekitar 21%. Tapi lonjakan ini belum bisa dibilang sukses. Sebab, kalau dihitung-hitung, baru sekitar 50% pemilik TV terdaftar -- jumlah pesawat TV seluruhnya sampai Juli 1988: 5.834.889 buah -- yang membayar dengan baik. Belum termasuk pesawat TV yang ada di hotel-hotel, yang seharusnya juga membayar iuran, kendati misalnya hanya dimanfaatkan untuk video. Padahal, seperti yang dikemukakan oleh Direktur TVRI Ishadi S.K., setiap tahun TVRI membutuhkan biaya operasional sedikitnya Rp 60 milyar. Itu pun sudah didukung dengan acara-acara yang sifatnya kerja sama, dan biaya pembuatannya ditanggung oleh pihak luar. Misalnya produsen kaset, yang membantu dalam acara penampilan artis-artis penyanyi. "Jadi, selama ini kami mengalami defisit," kata Ishadi. Lalu, siapa biang keladi defisit TVRI? Setelah diteliti, ternyata yang alot itu bukan hanya konsumen kalangan bawah, tapi juga pemilik TV dari kelas atas. Di daerah Menteng, misalnya. Dari kawasan yang terkenal paling elite di Jakarta Pusat ini, tercatat hanya 17% pemilik TV yang membayar iuran dengan teratur. Sebaliknya, pemilik TV dari golongan ekonomi lemah malah lebih banyak yang tertib ketimbang yang nakal. Ada seorang penduduk yang hanya memiliki televisi hitam putih 14 inci, tapi mau membayar kewajibannya untuk enam tahun sekaligus. Berarti, orang itu merogoh koceknya Rp 200 ribu, hanya untuk membayar luran yang lebih mahal dari harga pesawat TV-nya sendiri. Apakah ini berarti rakyat kecil punya kesadaran bernegara yang lebih tinggi ketimbang masyarakat kelas atas yang tinggal di Menteng? "Mungkin juga," kata Ishadi menduga-duga. Ia malah menduga, tidak adanya sanksi membuat pelanggan jadi seenaknya. Memang, ada ancaman penyegelan bagi yang menunggak, tapi kenyataannya sampai saat ini belum ada televisi yang disegel. Padahal, menurut sang direktur, ia akan tertawa lebar kalau iuran yang dibayar sudah mencapai 75% saja berarti sekitar Rp 80 milyar. Soalnya, kalau angka ini tercapai, TVRI akan mampu memperbaiki peralatan sendiri. Dan yang lebih penting, pengisi acara akan memperoleh honor yang lebih tinggi. "Sebab, salah satu target kami adalah mengupayakan agar mereka bisa hidup hanya dari mengisi acara TV tok," ujar Ishadi. Sehingga dengan demikian, barulah bisa diharapkan karya yang maksimal dari mereka. Seretnya pembayaran iuran diakui juga oleh Soetito, Kepala Daerah Pos dan Giro DKI Jakarta. Walaupun jumlah pembayar dari tahun ke tahun meningkat, menurut dia, persentasenya masih belum bisa melampaui 60%. Ia juga sependapat dengan Ishadi, "jumlah penunggak terbanyak bukanlah penghuni daerah kumuh." Beberapa bukti menunjukkan, pelanggan TV kelas bawah memang lebih taat membayar iuran. Buktinya, di Cakung, yang termasuk daerah kumuh. Pembayarannya cukup baik, di atas 60%. Dan coba bandingkan dengan kawasan Jalan Gajah Mada dan Gang Tengah di Salemba. Di kedua daerah yang termasuk Jakarta Pusat itu penunggak tercatat di atas 75%. Kenapa bisa begitu ? Menurut Soetito, pihaknya selama ini tidak tinggal diam. Setidaknya tiap tahun Pos dan Giro melakukan razia dua kali, yang didampingi oleh unsur ABRI dan TVRI. Hanya saja, karena jumlah personelnya tidak memadai, "kami tidak bisa menjangkau semua penunggak," ujarnya. Bahwa ada lebih banyak penunggak di kalangan atas, menurut Soetito, bukan karena petugas takut menagih, namun karena pemiliknya sering tak ada di rumah. Kalaupun ada, pintu gerbangnya selalu tertutup rapat alias terkunci. Toh usaha meningkatkan jumlah pembayar terus ditingkatkan. Menurut rencana, mulai bulan ini proses pembayaran akan dipermudah. Caranya dengan mengaktifkan pos keliling di luar jam kantor, yang tidak hanya melayani pengiriman surat tapi juga menerima pembayaran iuran. Lantas bagaimana dengan ide Presiden Soeharto? Menurut Sofian Efendi, ahli sosial-ekonomi dari Universitas Gadjah Mada seperti dikutip Suara Karya -- penagihan sebaiknya tetap saja dilakukan oleh Pos dan Giro. Jadi, kalau mau lebih intensif, tinggal ditambah saja biaya jasa penagihannya, agar jumlah tim penagih bisa lebih banyak. Dengan kata lain, TVRI tak perlu berbagi pendapatannya dengan pihak swasta. Apalagi Pos dan Giro telah memiliki jaringan di seluruh penjuru tanah air. Kenapa kalau swasta? "Saya khawatir, terjadi semacam pemaksaan terhadap para pemilik TV," ujar Sofian Efendi. Lain lagi pendapat M. Nasir Agun. "Jika diswastakan, saya rasa akan memberikan hasil yang baik," tutur Kepala Bagian Tata Usaha Direktorat TVRI ini. "Hanya sebaiknya untuk kota-kota besar saja, seperti Jakarta, Surabaya, Medan. Sedang untuk kota-kota kecil, iurannya biarlah tetap dipungut oleh Pos dan Giro, sebab di kawasan ini pemasukan dan komisi tidak akan berimbang, jadi tidak efisien." Budi Kusumah, Diah Purnomowati, Rustam F. Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini