Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pak harto, yes! partai tunggal,no!

Presiden menolak menjadi ketua dewan pembina ppp. sebagai mandataris presiden berdiri di atas semua golongan, sebagai pribadi memilih golkar. moerdiono menjelaskan sikap presiden.(nas)

3 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLEMIK mengenai bisa tidaknya Presiden Soeharto menjadi pembina utama PPP usai sudah. Pro dan kontra itu berakhir setelah Menteri Muda Sekretaris Kabinet Moerdiono menjelaskan sikap Presiden. "Karena Pak Harto adalah ketua dewan pembina Golkar, yang berarti juga anggota Golkar, tidak mungkin meniadi anggota atau pembina kekuatan sosial-politik yang lain," kata Moerdiono, Rabu pekan lalu, setelah menemui Presiden di Bina Graha. Menurut UU No. 3/1975 tentang partai politik dan Golkar, presiden memang mempunyai kewajiban membina ketiga kekuatan sosial politik itu. "Tapi sebagai pribadi, sebagai warga negara, Pak Harto tentu mempunyai hak politik yang sama dengan warga negara lainnya. Beliau adalah seorang purnawirawan anggota Pebabri (Persatuan Purnawirawan ABRI) yang menyalurkan aspirasi politiknya melalui Golkar," kata Moerdiono lagi. Dalam setiap musyawarah nasional Golkar (selama ini sudah tiga kali munas), Pak Harto diminta menjadi ketua dewan pembina Golkar. "Duduknya sebagai ketua dewan pembina Golkar pun bukan sekadar simbolik. Sebab, munas ketiga, misalnya, memberi wewenang kepada Pak Harto untuk membekukan sementara DPP Golkar apabila DPP melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kepentingan Golkar," katanya. Cukup panjang-lebar Moerdiono menjelaskan sikap Presiden Soeharto. Katanya lagi, "Tentu saja bila kekuatan sosial-politik lain itu meminta nasihat kepada Pak Harto sebagai warga negara, tentu Pak Harto akan bersedia memberikannya. Tapi nasihat itu tidak mengikat sebaaimana halnya terhadap Golkar. Karena duduknya Pak Harto sebagai ketua dewan pembina Golkar bukan sekadar simbolik, tapi mempunyai wewenang penuh." Usul itu bermula dilontarkan oleh anggota FPP, A. Muis A.Y, yang menganggapnya sebagai "waar, selrama dengan pemantapan asas tunggal Pancasila". Maksudnya, presiden sebagai mandataris MPR berkewajiban membina parpol dan Golkar sebagaimana ditentukan dalam UU No. 3/1975 itu. Karena bersedia menjadi ketua dewan pembina Golkar, tentu juga bersedia menjadi pembina utama parpol. Usul itu, menurut ketua umum DPP PPP, J. Naro, mendapat dukungan generasi muda partai. Muis memang dikenal sebagai ketua Gerakan Pemuda Ka'bah. Tapi, usul yang dilontarkan untuk menghadapi muktamar PPP itu, yang kemudian menjadi polemik sangat disayangkan Amin Iskandar dari FPP. "Tapi memang tidak ada larangan bagi anggota Golkar menjadi anggota PPP. Jadi, bisa saja Pak Harto menjadi anggota PPP, karena Golkar 'kan bukan parpol," katanya. Reaksi keras datang dariketua DPR/MPR Amirmachmud dan Krissantono (FKP). "Keinginan parpol seperti itu pasti akan menyudutkan dan membahayakan Pak Harto," kata Amirmachmud. "Dan usul seperti itu jelas bermaksud menjerumuskan. Dengan adanya asas tungal dan satu pembina untuk semua kekuatan politik, akan timbul kesan adanya satu partai. Dan itu juga menimbulkan kesan otoriter. Saya sudah mencium maksud itu," kata Kris. Ada kalangan FPP sendiri yang melihat usul itu merupakan "titipan Naro". Misalnya H.M.A. Gani, salah seorang ketua DPP PPP. dan H.M. Saleh, salah seorang ketua Majelis Pertimbangan Partai. "Jika Pak Harto menjadi pembina utama PPP, maka MPP dan presidensi partai akan dihapus. Selama ini, kedua lembaga itu tidak berfungsi karena Naro memang tidak mau dikontrol," kata Gani. Naro sendiri, yang sempat dihubungi Agus Basri dari TEMPO, hanya menyatakan "no comment" berkali-kali. Ketika dihubungi Bunga Surawidjaja dari TEMPO di kantornya, sekali lagi Moerdiono menegaskan, Pak Harto tidak menghendaki adanya partai tunggal. Katanya, "UU No. 3/1975 menyatakan bahwa kita punya dua parpol dan satu Golkar. Dan Pak Harto sebagai presiden/mandataris MPR wajib menjalankan UU itu selurus-lurusnya. Bukan hanya sekarang hal itu menjadi sikap Pak Harto, tapi sudah sejak lama."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus