POLEMIK mengenai bisa tidaknya Presiden Soeharto menjadi pembina
utama PPP usai sudah. Pro dan kontra itu berakhir setelah
Menteri Muda Sekretaris Kabinet Moerdiono menjelaskan sikap
Presiden. "Karena Pak Harto adalah ketua dewan pembina Golkar,
yang berarti juga anggota Golkar, tidak mungkin meniadi anggota
atau pembina kekuatan sosial-politik yang lain," kata Moerdiono,
Rabu pekan lalu, setelah menemui Presiden di Bina Graha.
Menurut UU No. 3/1975 tentang partai politik dan Golkar,
presiden memang mempunyai kewajiban membina ketiga kekuatan
sosial politik itu. "Tapi sebagai pribadi, sebagai warga negara,
Pak Harto tentu mempunyai hak politik yang sama dengan warga
negara lainnya. Beliau adalah seorang purnawirawan anggota
Pebabri (Persatuan Purnawirawan ABRI) yang menyalurkan aspirasi
politiknya melalui Golkar," kata Moerdiono lagi.
Dalam setiap musyawarah nasional Golkar (selama ini sudah tiga
kali munas), Pak Harto diminta menjadi ketua dewan pembina
Golkar. "Duduknya sebagai ketua dewan pembina Golkar pun bukan
sekadar simbolik. Sebab, munas ketiga, misalnya, memberi
wewenang kepada Pak Harto untuk membekukan sementara DPP Golkar
apabila DPP melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan
kepentingan Golkar," katanya.
Cukup panjang-lebar Moerdiono menjelaskan sikap Presiden
Soeharto. Katanya lagi, "Tentu saja bila kekuatan sosial-politik
lain itu meminta nasihat kepada Pak Harto sebagai warga negara,
tentu Pak Harto akan bersedia memberikannya. Tapi nasihat itu
tidak mengikat sebaaimana halnya terhadap Golkar. Karena
duduknya Pak Harto sebagai ketua dewan pembina Golkar bukan
sekadar simbolik, tapi mempunyai wewenang penuh."
Usul itu bermula dilontarkan oleh anggota FPP, A. Muis A.Y, yang
menganggapnya sebagai "waar, selrama dengan pemantapan asas
tunggal Pancasila". Maksudnya, presiden sebagai mandataris MPR
berkewajiban membina parpol dan Golkar sebagaimana ditentukan
dalam UU No. 3/1975 itu. Karena bersedia menjadi ketua dewan
pembina Golkar, tentu juga bersedia menjadi pembina utama
parpol.
Usul itu, menurut ketua umum DPP PPP, J. Naro, mendapat dukungan
generasi muda partai. Muis memang dikenal sebagai ketua Gerakan
Pemuda Ka'bah. Tapi, usul yang dilontarkan untuk menghadapi
muktamar PPP itu, yang kemudian menjadi polemik sangat
disayangkan Amin Iskandar dari FPP. "Tapi memang tidak ada
larangan bagi anggota Golkar menjadi anggota PPP. Jadi, bisa
saja Pak Harto menjadi anggota PPP, karena Golkar 'kan bukan
parpol," katanya.
Reaksi keras datang dariketua DPR/MPR Amirmachmud dan
Krissantono (FKP). "Keinginan parpol seperti itu pasti akan
menyudutkan dan membahayakan Pak Harto," kata Amirmachmud. "Dan
usul seperti itu jelas bermaksud menjerumuskan. Dengan adanya
asas tungal dan satu pembina untuk semua kekuatan politik, akan
timbul kesan adanya satu partai. Dan itu juga menimbulkan kesan
otoriter. Saya sudah mencium maksud itu," kata Kris.
Ada kalangan FPP sendiri yang melihat usul itu merupakan
"titipan Naro". Misalnya H.M.A. Gani, salah seorang ketua DPP
PPP. dan H.M. Saleh, salah seorang ketua Majelis Pertimbangan
Partai. "Jika Pak Harto menjadi pembina utama PPP, maka MPP dan
presidensi partai akan dihapus. Selama ini, kedua lembaga itu
tidak berfungsi karena Naro memang tidak mau dikontrol," kata
Gani. Naro sendiri, yang sempat dihubungi Agus Basri dari TEMPO,
hanya menyatakan "no comment" berkali-kali.
Ketika dihubungi Bunga Surawidjaja dari TEMPO di kantornya,
sekali lagi Moerdiono menegaskan, Pak Harto tidak menghendaki
adanya partai tunggal. Katanya, "UU No. 3/1975 menyatakan bahwa
kita punya dua parpol dan satu Golkar. Dan Pak Harto sebagai
presiden/mandataris MPR wajib menjalankan UU itu
selurus-lurusnya. Bukan hanya sekarang hal itu menjadi sikap Pak
Harto, tapi sudah sejak lama."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini