Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Solo - Kualitas pendidikan Indonesia dinilai masih stagnan meski telah berpuluh kali berganti kurikulum sejak merdeka. Salah satu faktornya lantaran pola feodal di masyarakat dan formalisme dunia pendidikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu diungkapkan Pengamat Pendidikan yang juga Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal dalam acara seminar bertajuk Ngkaji Pendidikan "Ruang Ketiga Pendidikan" di SMK Negeri (SMKN) 8 Solo, Jawa Tengah, Sabtu, 24 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kualitas PISA (Programme for International Student Assessment menjadi indikator pendidikan stagnan) kita 20 tahun nilai kita malah turun. Kita di angka 620-an, kita mengalami penurunan 10-15 poin. Jadi yang dilakukan teman-teman di masyarakat itu adalah membongkar tradisi formalisme," ujar Rizal.
Rizal menyebut dunia pendidikan Indonesia masih terjebak masyarakat formalis karena budaya feodal yang masih mengakar walaupun ada reformasi. "Kita mau kemana (dunia pendidikan kita)? Karena kita masih terjebak di masyarakat formalis karena budayanya feodal asal bapak senang ini masih mengakar, walaupun ada reformasi," kata dosen di Departemen Teknik Elektro dan Teknik Informasi (DTETI) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu.
Rizal menjelaskan GSM menjelaskan pentingnya ruang ketiga di dunia pendidikan dalam membangun siswa dan guru yang dapat merespons tantangan zaman. Ruang ketiga yang dimaksud adalah ruang untuk berinteraksi dan berdialog.
Dalam acara itu, peserta disuguhi cuplikan video dari film Laskar Pelangi sebagai gambaran untuk menjembatani pemahaman tentang konsep ruang ketiga dalam konteks pendidikan. Dalam paparannya, Rizal membahas tentang pentingnya ruang ketiga dalam proses pembelajaran. Dia mengilustrasikan bahwa hampir semua peristiwa bersejarah lahir dari ruang ketiga, yang menjadi tempat berkumpulnya gagasan-gagasan baru dan revolusi budaya.
"Ruang ketiga di sekolah adalah meski dengan keterbatasannya, tapi tetap mampu melahirkan siswa yang dapat mengubah keadaan. Karena saat ini kapitalisme dan ancaman AI atau Artificial lntelligence di masa depan cenderung menutup lahirnya ruang ketiga atau ruang kesetaraan hidup," kata Rizal.
Menurut Rizal, interaksi antara guru dan murid yang bahagia adalah salah satu yang dapat menjadikan sekolah menjadi ruang ketiga. Dari interaksi yang bahagia tersebut dapat memicu produktivitas dalam pembelajaran.
"Harapannya gurunya bahagia akan berdampak bagi interaksi antara guru dan muridnya. Kalau keduanya bahagia menjadi produktif sehingga kalau produktif ada dampak pada dunia pendidikan kita," kata Rizal.
Menurut Rizal, pendidikan harus lebih bisa menjawab dan menghadapi kenyataan hidup dan tantangan masa depan. Seharusnya, pendidikan tidak hanya menghasilkan lulusan tapi lemah pemahaman. Pendidikan, menurut dia, tidak sekadar meningkatkan literasi numerasi sains PISA tapi tidak punya dampak bagi produktivitas dan inovasi.
"Jadi tidak hanya sekedar menghasilkan lulusan, tetapi lemah pemahaman, tidak sekedar meningkatkan literasi numerasi sains PISA tetapi tidak punya dampak bagi produktivitas dan inovasi. Tetapi pendidikannya lebih bisa menjawab dan menghadapi kenyataan hidup dan tantangan masa depan," kata Rizal.
Menurut Rizal, esensi pendidikan juga bukan hanya sekadar membangun infrastruktur. Hal tersebut berdasarkan pengalamannya ketika menyekolahkan anaknya di Australia seperti gambaran pendidikan yang ada di film Laskar Pelangi. Sebab, ia mengatakan esensi pendidikan sendiri adalah kehadiran ruang-ruang kebersamaan, dialog, imajinasi, dan dialektika yang setara bagi semua individu yakni ruang ketiga itu sendiri.
"GSM ini membangun kecerdasan berfikir secara fundamental bukan infrastruktur, bukan hebatnya fasilitas, tetapi adalah ruang-ruang ketiga yang diciptakan, ruang-ruang kebersamaan, ruang berdialektika, ruang berimajinasi, secara setara. Walaupun sekolahnya mungkin tidak punya kurikulum, tidak mempunyai nilai akademik, tetapi mampu menciptakan siswanya yang bisa mengubah keadaan dirinya sendiri," kata Rizal.