Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Riza Alfianto menanggapi kebijakan pemerintah yang melegalkan aborsi bagi korban pemerkosaan. Kebijakan itu disahkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Aborsi merupakan tindakan yang dilarang dalam hukum di Indonesia, kecuali terdapat kondisi kedaruratan medis,” kata Riza melalui keterangannya, Senin, 5 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Riza mengatakan bahwa tindakan aborsi telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 1946 Pasal 346. Namun, pengaturan aborsi bagi korban pemerkosaan belum diatur secara khusus di dalamnya.
Berdasarkan peraturan itu, tindakan aborsi dapat dilakukan atas dasar kondisi kedaruratan medis. Sementara, kondisi kedaruratan medis kerap berbenturan dengan kewajiban hukum dan kepentingan hukum. “Sehingga dapat menjadi alasan penghapus pidana,” tutur Riza.
Sementara, pasal 60 ayat (2) huruf c UU Kesehatan tahun 2023 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan dengan persetujuan perempuan yang hamil dan persetujuan suami, kecuali korban perkosaan. “Maksudnya, aborsi diperbolehkan apabila wanita hamil tersebut adalah korban tindak perkosaan, sesuai dengan syarat yang diatur undang-undang,” jelasnya.
Riza menjelaskan bahwa persyaratan usia kehamilan yang dapat dilakukan tindakan aborsi terhadap korban perkosaan juga sudah diatur, tepatnya pada Pasal 463 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2023.
“Meskipun aturan ini masih belum berlaku, tetapi telah diatur bahwa aborsi bagi korban perkosaan dilakukan ketika kondisi kehamilan tidak melebihi empat belas minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis” tutur Riza.
Selain itu, terdapat aturan untuk membuktikan tindak pidana untuk aborsi. Aturan ini terdapat dalam pasal 428 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan Tahun 2023.
Pada peraturan itu disebutkan harus terdapat hubungan kausal antara perbuatan pelaku aborsi dan matinya janin. “Tenaga medis yang melakukan tindakan aborsi di luar ketentuan undang-undang, akan mendapatkan hukuman yang lebih berat dan dapat dikenakan sanksi etik profesi,” papar Riza.
Riza pun berharap bahwa pengaturan mengenai tindakan aborsi secara ilegal di Indonesia tetap dikategorikan sebagai tindak pidana. Sebab, tindakan pelakunya bisa dikategorikan sebagai pembunuhan.