Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mencari Penutup Luka

Komnas HAM mulai menyelidiki pelanggaran hak asasi di Aceh semasa operasi militer. Salah satu amanat Perjanjian Helsinki.

18 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEREMPUAN paruh baya itu memperkenalkan diri sebagai Syarifah, asal Glumpang Tiga, Pidie, Aceh Utara. Namun, sejurus kemudian, ia menyebut itu bukan nama aslinya. "Saya takut mereka akan datang dan mengancam saya lagi," katanya dengan bibir bergetar kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Ibu tiga anak ini mengaku mengalami trauma terhadap peristiwa 23 tahun silam di Rumoh Geudong—rumah adat—sekitar 10 kilometer dari rumahnya di Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie. Kala itu, ia akan mengambil jasad suaminya yang tewas ditembak tentara. Tidak hanya dilarang, dia juga disekap dan disiksa. "Mereka marah, menuding suami saya anggota GPK, gerakan pengacau keamanan," ujar Syarifah.

Dua hari disekap, sejak 25 hingga 26 November 1990, selama itu pula Syarifah, yang saat itu tengah hamil delapan bulan, mendapat siksaan tak putus-putus. Ia mengaku sakit hati melihat pelakunya masih bebas. "Tak pernah ada yang bertanggung jawab atas peristiwa itu."

Kini upaya Syarifah memburu keadilan agaknya akan terwujud. Pada Oktober lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Aceh. Kasus pelanggaran HAM berat yang diselidiki terutama pada kurun pemberlakuan daerah operasi militer (1989-1998) dan pasca-pencabutan status daerah operasi militer (1998-2003).

Kasus yang akan dibawa ke Pengadilan HAM antara lain kasus penyiksaan dan pembunuhan di Rumoh Geudong; penembakan massal di Simpang KKA Aceh Utara; pembantaian di Jambo Keupok, Aceh Selatan; dan kasus kuburan massal di Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.

Penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat di Aceh sebenarnya dirintis sejak awal pendirian Komnas HAM pada 1993. Baharuddin Lopa, anggota Komnas HAM saat itu, bahkan sudah memimpin tim investigasi ke Rumoh Geudong. "Dia juga yang merintis dan memimpin tim penyelidikan," ujar Otto Nur Abdullah, anggota Komnas HAM yang juga Ketua Tim Ad Hoc Aceh.

Jika kemudian penyelidikan baru terealisasi 20 tahun kemudian, kata Otto, itu karena banyaknya kendala yang diha­dapi. Bukan hanya lantaran status Aceh sebagai daerah operasi militer, petaka tsunami akhir 2004 juga sempat menghentikan upaya investigasi. Langkah itu kemudian kian terbuka setelah kesepakatan damai Aceh diteken di Helsinki, Finlandia, pada Agustus 2005.

Perjanjian Helsinki, antara lain, mengamanatkan agar semua pelanggaran HAM selama konflik di Aceh sejak 1976, baik korban dari pihak sipil maupun militer, diungkap melalui peradilan. Perjanjian itu mensyaratkan pembentukan pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelidiki kasus kekerasan di Aceh.

Nah, rancangan qanun soal Komisi Kebenaran kini tengah digodok pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. "Paling lambat disahkan Desember mendatang, sesuai dengan perintah Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006," tutur Nur Zahri, anggota Pansus Rancangan Qanun KKR Aceh.

Dibentuk Oktober, tim ad hoc baru bekerja pada Desember mendatang. Mereka akan mengumpulkan bukti serta meminta keterangan saksi dan korban. Sejauh ini tim menemukan data ada 378 orang tewas dibunuh dan 14 perempuan diperkosa dalam peristiwa Rumoh Geudong serta 22 korban tewas pada peristiwa Simpang KKA. "Kami akan menuntut pertanggungjawaban komando dan sipil dalam lima peristiwa ini," kata Otto.

Otto mengakui penyelidikan ini tak mudah. Apalagi tim harus meminta keterangan para pejabat sipil dan militer semasa operasi militer berlangsung di Bumi Nanggroe: sejak Panglima ABRI dijabat Jenderal Try Sutrisno hingga status daerah operasi militer dicabut pada era Panglima TNI Jenderal Wiranto dan pasca-operasi militer saat Tentara Nasional Indonesia dipimpin Laksamana Widodo A.S.

Di luar itu, seperti pengusutan kasus HAM yang sudah-sudah, penyelidikan kasus ini menunggu keputusan politik DPR. Sebelum ke DPR, Komnas akan menyerahkan lebih dulu hasil penyelidikannya ke Kejaksaan Agung.

Markas Besar TNI, melalui juru bicaranya, Laksamana Muda Iskandar Sitompul, menyatakan tak keberatan dengan penyelidikan Komnas HAM. Sebaliknya, mantan Panglima ABRI Try Sutrisno menolak berkomentar dengan alasan masalah HAM di Aceh sudah selesai. Adapun Wiranto menyatakan akan mempelajari dulu kasus itu. "Meskipun sebenarnya justru saya yang menghentikan operasi militer itu," ucap Wiranto.

Maria Hasugian, Isa Anshar Jusuf, Amri Mahbub, Khairul Anam, Imran M.A. (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus