APAPUN yang terjadi dengan partai politik di Indonesia, yang
pasti mereka belum mau mati. Mungkin ngantuk pun tidak. Senin
depan misalnya di Senayan, Jakarta, Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) akan membuka kongrrsnya yang pertama. Partai hasil
penggabungan atau fusi dari sejumlah partai lama (PNI, Partai
Katolik, Partai Kristen Indonesia, Murba, IPKI) itu dengan
demikian mungkin sedang memulai satu babakan sejarahnya -- yang
mungkin tidak rata.
Tiga tahun yang lalu, sesuai dengan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) yang menentukan ada dua "kekuatan politik" dan
satu Golkar di negeri ini, fusi dilakukan. Tentu saja dengan
banyak diusahakan pemerintah, sebab bank dan koran saja susah
bergabung, apalagi partai. Segera setelah partai-partai tadi,
partai-partai Islam dapat giliran. Nahdhatul Ulama (NU), Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi). Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII) dan Persatuan Tarikat Islam (Perti) menyatukan diri dalam
wadah yang bergelar Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Berbeda dengan fusi kelima partai dalam PDI, lahirnya PPP
didahului dengan sedikit ramai-ramai. PSII pecah dua antara
kelompok almarhum Anwar (Cokroaminoto dengan kelompok H.M. CH.
Ibrahim, yang dipilih Muktamar partai di Majalaya. Yang terakhir
ini tak dapat "restu" dari pemerintah, hingga kelompok Anwar-lah
yang teken piagam fusi.
Kedudukan partai-partai memang tidak kuat. Paling sedikit sejak
masa pemerintahan aktif Presiden Soekarno yang tujuh tahun,
zaman "demokrasi terpimpin" (1958-1965), partai sudah dicoba
disisihkan dari kabinet maupun di parlemen peranan partai tak
kuasa. di bawah bayang-bayang kekuasaan dan wibawa Bung Karno.
Tapi sementara itu militansi dan kerapian organisasi meningkat,
walaupun pemilu tak pernah dijanjikan. Tanpa mengurangi peranan
Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam menggalakkan persaingan
antar partai, dapat dilihat juga bahwa zaman itu memang zaman
efektifnya mobilisasi rakyat. Dan pemerintah "demokrasi
terpimpin" tak punya saluran untuk itu, kecuali lewat partai.
Zaman "Orde Baru" setelah jatuhnya Bung Karno dan rontoknya PKI
membuka lembaran yang lebih tidak sedap lagi partai. Nama
mereka jatuh karena kegagalan masa lalu -- dan tambah terpojok.
Dalam pemilu pertama sejak Orde Baru, 1971, Golkar memperoleh 27
kursi, sementara tak satu partai pun yang bisa mencapai 100
kursi. PNI yang pernah jadi partai terbesar dalam pemilu 1955,
cuma dapat 20 kursi.Nah, partai besar lain, 58 kursi. Kini
dijumlah menurut fusi masing-masing, PDI punya hanya 30 kursi
dan MP 94 kursi. Sementara peranan mereka di lembaga legislatif
hampir nihil, kehidupan mereka di masyarakat praktis pudar. Masa
ini memang bukan masa ketika mobilisasi rakyat dibutuhkan, atau
pun disadari sepenuhnya caranya. Di masa ini, banyak kerja besar
-- bukan "revolusi" atau "pengganyangan" seperti di waktu lalu,
tapi peningkatan produksi dan keluarga berencana misalnya --
praktis dipertaruhkan kepada aparat pemerintah sendiri.
Apakah jadinya nanti partai-partai? Barangkali, siapa tahu,
kongres pertama PDI di Senayan itu akan bisa menjawab, sedikit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini