Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Pasukan Bawah Tanah Jokowi Sri Kuntoro Budiyanto menyatakan pasukannya akan menggeruduk Bareskrim Polri jika lambat memproses laporannya atas Roy Suryo. Sebelumnya Roy dilaporkan karena menyebut akun Fufufafa 99 persen dipastikan milik Gibran Rakabuming Raka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Mendorong bisa segera dipanggil Roy Suryo oleh Bareskrim,” ucap Budi saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 5 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi mengaku laporannya sudah sampai dalam tahap penyidikan. Namun, ia belum mendapatkan jadwal terkait dengan pemanggilan kepada terlapor, dalam hal ini Roy Suryo. Ia menyebut sudah mendorong Bareskrim agar segera memanggil dan menindaklanjuti laporannya sebelum pasukan Pasbata daerah mendatangi Bareskrim Polri.
“Segera menindak lanjuti laporan kami, intinya seperti itu,” ujar Budi. “Kalau lambat ya kita akan geruduk ke Bareskrim.”
Beberapa waktu lalu Pasukan Bawah Tanah Jokowi (Pasbata) melaporkan Roy Suryo terkait dugaan penyebaran berita bohong, setelah menyebut akun Fufufafa adalah milik Gibran Rakabuming Raka. Pakar telematika itu dipolisikan ke Bareskrim Polri lantaran dinilai menghina wakil presiden terpilih itu, yang mereka sebut sebagai lambang negara.
“Karena Mas Gibran ini lambang negara, mau dilantik. Jadi kita sebagai Pasukan Bawah Tanah Jokowi harus siap melindungi,” kata Sekretaris Jenderal Pasbata Jokowi, Sri Kuntoro Budianto, yang ditemui di Bareskrim Mabes Polri pada Jumat, 27 September 2024.
Lantas tepatkah wakil presiden disebut sebagai lambang negara?
Dilaporkan oleh Pasbata Jokowi ke Bareskrim karena urusan Fufufafa, Roy Suryo justru meminta mereka belajar soal lambang negara. Pihaknya mempertanyakan sejak kapan lambang negara diganti dari Burung Garuda Pancasila menjadi wakil presiden terpilih yang belum dilantik.
“Mestinya dia belajar dulu. Sejak kapan burung Garuda Pancasila sebagai lambang negara yang asli diganti jadi calon wakil presiden yang belum dilantik sebagai lambang negara?” kata Roy Suryo saat dihubungi Tempo, Jumat, 27 September 2024.
Dilansir dari Majalah Tempo edisi Sabtu, 3 Juli 2021, fenomena pemimpin negara disebut sebagai lambang negara juga pernah mencuat pada 2021 lalu. Kala itu media sosial riuh setelah Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) membuat meme yang menyebut Presiden Joko Widodo dengan Jokowi the King of Lip Service.
Pro-kontra bermunculan buntut konten yang diunggah di lini masa tersebut. Salah satunya datang dari Kepala Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI. Rektorat UI memanggil pengurus BEM UI. Rektorat beralasan pemanggilan tersebut sebagai tindakan teguran lantaran presiden adalah simbol negara.
“Hal yang disampaikan BEM UI dalam postingan meme bergambar Presiden Republik Indonesia yang merupakan simbol negara, mengenakan mahkota dan diberi teks Jokowi: The King of Lip Service .... melanggar beberapa peraturan yang ada,” demikian keterangan Humas UI kepada media.
Menurut pengajar linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Fariz Alnizar, dalam rubrik Kolom Bahasa Majalah Tempo, yang menarik dari kutipan panjang tersebut bukanlah soal isu dan isi meme yang sedang hangat diperbincangkan. Tapi justru frasa simbol negara.
“Frasa ini berhasil membetot atensi dan mendulang tanya: apa gerangan yang dimaksud dengan simbol negara?” kata Fariz.
Bivitri Susanti, pakar hukum terkemuka, bilang bahwa terminologi simbol negara itu tidak ditemukan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Terminologi yang lazim dipakai adalah Lambang Negara. Kata Fariz, opini ini memang sahih, tidak ada frasa simbol negara dalam UUD 1945.
Namun, kata dia, kita akan menemukannya dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Meski tidak secara eksplisit berwujud frasa simbol negara, kalimat berikut ini menunjukkan bahwa keempat lambang yang disebutkan di atas merupakan simbol negara.
“Bendera Negara Sang Merah Putih, Bahasa Indonesia, Lambang Negara Garuda Pancasila, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya merupakan jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat simbol tersebut menjadi cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara-negara lain dan menjadi cerminan kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan Makmur,” tulis Fariz, mengutip Penjelasan UU Nomor 24 Tahun 2009.
Pada etape ini, menurut Fariz, frasa simbol negara itu semukabalah dan identik dengan lambang negara. Perdebatan semantik tidak perlu dilanjutkan. Sebab, yang lebih menarik adalah kenyataan bahwa Presiden bukan merupakan simbol negara sebagaimana yang dinyatakan oleh Kepala Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI.
“Simbol atau lambang negara hanya terdiri atas empat: Bendera Sang Merah Putih, Bahasa Indonesia, Garuda Pancasila, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya,” katanya.
Faiz mengatakan, di luar empat hal tersebut, secara yuridis tidak ada lagi yang dapat dimasukkan dan dikategorikan sebagai simbol negara. Jika ada yang mengatakan presiden merupakan representasi dari sebuah negara, sehingga bisa menjadi simbol martabat sebuah bangsa, pernyataan ini barangkali lebih dimaksudkan bahwa presiden, juga wakilnya, merupakan pengantara yang merepresentasikan sebuah negara.
Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, memperingatkan bahwa upaya mengganti atau mengubah lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila, bukan hanya tindakan yang bertentangan dengan hukum, tapi juga bisa berujung pada sanksi pidana. Hal ini disampaikan merespons rencana Pasukan Bawah Tanah Jokowi (Pasbata) yang akan menggeruduk Bareskrim Polri terkait laporan mereka atas Roy Suryo.
"Ngilu plus ngeri kalau hari ini ada yang mengganti lambang negara," katanya dalam keterangan tertulis pada Sabtu malam, 5 Oktober 2024. Dia menekankan pentingnya menjaga simbol negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 36A UUD 1945 yang menyebutkan bahwa lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Saya justru khawatir SKB laksana menyodorkan diri untuk dipidana," ungkapnya. Reza mengacu pada Pasal 68 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yang mengatur bahwa perusakan atau penghinaan terhadap lambang negara dapat diancam dengan pidana penjara hingga lima tahun atau denda maksimal Rp500 juta.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | DINDA SHABRINA | EGI ADYATAMAMA | DIAN RAHMA FIKA | MAJALAH TEMPO