Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pasukan PBB: Berkah atau Bencana

Benarkah Tim-Tim akan menjadi killing field bagi pasukan multinasional?

19 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIMOR Timur pasca-jajak pendapat seperti tanah tak berhukum. Kekerasan, pembakaran, dan pembunuhan terjadi seperti tanpa ada yang peduli. Anggota kelompok milisi Aitarak yang prointegrasi—pihak yang kalah dalam jajak pendapat 30 Agustus lalu—berkeliaran di sudut-sudut Dili sambil membawa senjata. Di malam hari, Tim-Tim seperti pulau tak berpenghuni, gelap-gulita. Jika ada listrik menyala, pastilah itu markas tentara atau kantor pemerintahan. Sepanjang malam, letusan tembakan terdengar di pinggir Kota Dili. Namun, kekerasan memang berkurang sejak diterapkannya keadaan darurat militer, 7 September 1999. Menurut data TNI, setelah penerapan darurat militer, terjadi dua kali pembunuhan saja—dibandingkan dengan 13 kali sebelumnya. Tapi sulit untuk mengatakan Tim-Tim akan menjadi gampang bagi sekitar 12 ribu anggota multinational forces (MNF) dari 23 negara yang dipimpin Australia. Informasi yang terbatas dan sempitnya waktu persiapan akan menjadi kendala serius. Dan inilah problem utama pasukan multinasional di wilayah yang bersengketa. Di Kosovo, misalnya, pasukan NATO dinilai telah melakukan banyak kesalahan dan menimbulkan terlalu banyak kerusakan dalam menghadapi kelompok milisi setempat. Akibatnya, pasukan di bawah bendera PBB yang semula dielu-elukan itu kemudian malah dihujat habis-habisan. Australia agaknya sangat serius dalam mempersiapkan Interfet. Seorang analis Australia memperkirakan biaya pasukan Australia untuk Interfet sebesar A$ 1,1 miliar atau sekitar Rp 5,8 triliun. "Ini adalah pengadaan militer terbesar kedua, setelah Perang Vietnam. Padahal, pos biaya militer di Australia sedang mencapai titik terendah," kata sang analis. Menurut CNN, Mayor Jenderal Peter Cosgrove, komandan pasukan Australia, telah datang ke Tim-Tim pada Sabtu pekan lalu. Ia ingin meyakinkan pihak Indonesia bahwa misi MNF—jadwal kedatangannya tetap dirahasiakan—bisa berjalan lancar. Bahkan, Laksamana Chris Barrie, komandan angkatan bersenjata Australia, bertekad melakukan apa pun demi suksesnya misi PBB. Pokoknya, Februari 2000, ketika masa bertugas Interfet berakhir, Tim-Tim harus berhasil menjadi negara merdeka yang damai. Lalu, apa saja yang harus dihadapi oleh Interfet? Kelompok milisi pro-otonomi bisa dipastikan menjadi masalah terbesar MNF. Milisi tentu paham benar medan "negerinya", bersenjata, dan punya dendam. Mereka menganggap bahwa dunia internasional, yang diwakili Unamet, telah mencurangi jajak pendapat dan itu mengakibatkan permusuhan di antara rakyat Tim-Tim sendiri. "Negara mana pun yang diinjak PBB selalu kacau, termasuk di Tim-Tim," kata Joanico, pemuda 27 tahun pemimpin milisi Saka. Kekuatan milisi? Informasi yang dikumpulkan TEMPO menyimpulkan Tim-Tim dikuasai oleh puluhan kelompok milisi pro-Indonesia, seperti Aitarak, Saka, Mahidi, dan Halilintar. Mereka berkeliaran di jalanan kota, mendatangi rumah-rumah, mencari orang-orang prokemerdekaan. Merekalah yang "berhak" memberikan pas untuk siapa pun yang melewati jalan-jalan raya. Saking takutnya kepada milisi, rakyat Tim-Tim banyak yang memakai ikat kepala merah-putih atau menyemprotkan kata "Aitarak" di mobil mereka. Kelompok milisi ini nekat untuk tetap berada di Tim-Tim dan menjadi warga negara Indonesia. "Kami akan mempertahankan tanah lahir kami sampai titik darah penghabisan," kata Eurico Guiteres, 27 tahun, pemimpin milisi Aitarak, yang mengklaim kelompoknya telah menguasai 13 daerah di Tim-Tim, termasuk Dili. Televisi CNN memberitakan bahwa kelompok milisi tersebut sudah menyebar ranjau di Dili—untuk mempertahankan Dili dan "menyambut" pasukan PBB. Masalah lain adalah jadwal penarikan pasukan TNI yang bisa saja tidak sinkron dengan jadwal kedatangan pasukan PBB. Sejak Jumat pekan lalu, pasukan TNI memang telah ditarik secara bertahap. Jika penarikan pasukan TNI belum tuntas dan pasukan PBB telah masuk ke suatu wilayah, bentrokan bukan tidak mungkin terjadi, apalagi dengan panasnya suhu hubungan Indonesia dan Australia saat ini. Bagian tersulit tugas pasukan PBB itu adalah mengenali dua kelompok yang bertikai. Misi peacekeeping force di Bosnia, misalnya, sulit membedakan orang Bosnia dan orang Serbia. Lalu, bagaimana MNF membedakan antara milisi Aitarak yang pro-otonomi dan Falintil yang prokemerdekaan yang sama-sama berasal dari Tim-Tim? Jika pasukan PBB datang ke sana bak koboi di film Wild Wild West, yang membasmi habis kelompok perampok, bisa jadi korban akan terus berjatuhan. Bina Bektiati, Darmawan Sepriyossa (Dili),Dewi Anggraeni (Australia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus