Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
KASUS academic misconduct atau pelanggaran akademik yang menyeret bekas guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional, Jakarta, Kumba Digdowiseiso, hanya puncak gunung es. Sebelum kasus Profesor Kumba mencuat, fenomena serupa sesungguhnya telah meruak di lingkungan kampus.
Ketua Dewan Profesor Universitas Padjadjaran, Bandung, Arief Anshory Yusuf, pernah menelusuri kejanggalan karya ilmiah yang dihasilkan sejumlah dosen di berbagai kampus negeri. Bersama koleganya di Unpad dan kampus lain, Arief menemukan sejumlah dosen bergelar doktor atau guru besar terindikasi melakukan kecurangan dalam penulisan artikel di berbagai jurnal.
Arief bercerita, sejumlah dosen tercatat menghasilkan puluhan sampai ratusan artikel dalam setahun. “Setelah kami cek, banyak yang terindikasi plagiarisme atau diterbitkan di jurnal predator,” katanya saat dihubungi Tempo, Selasa, 16 April 2024. Bahkan, “Artikelnya dipakai dalam pengajuan guru besar.”
Kasus academic misconduct menderas di tengah meningkatnya jumlah guru besar sepanjang 2023. Arief mengatakan tahun itu banyak kampus berupaya mempercepat promosi guru besar dengan membentuk tim khusus di bawah naungan fakultas dan universitas. Sebuah kampus di Yogyakarta dan Lampung, misalnya, menabalkan seratus guru besar dalam satu tahun.
Pemerintah pun mendukung percepatan tersebut. Sejak 2018, pemerintah mengejar target rasio jumlah guru besar mencapai 20 persen dari total dosen. Pada 2020, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi atau LL Dikti membuka layanan pendampingan percepatan guru besar bagi dosen di kampus swasta. Pada 2019, jumlah profesor di universitas swasta hanya 1,04 persen dari jumlah dosen.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Egi Adyatama berkontribusi dalam penulis artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini ditulis dengan judul "Aroma Cuan Jurnal Abal-abal".