Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ELSA Nopitasari tak menyangka skripsi yang diselesaikannya pada 2017 terbit lagi dalam versi bahasa Inggris tahun ini. Dimuat di Journal of Social Science pada 14 Februari 2024, artikel itu mencantumkan dua nama lain, yaitu dosen pembimbingnya di Universitas Nasional (Unas), Jakarta, Herry Krisnandy, serta guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unas, Kumba Digdowiseiso, yang sedang disorot dalam kasus kecurangan akademik atau academic misconduct.
Alumnus Jurusan Manajemen Unas itu sama sekali tak mengenal Kumba. “Saya tidak pernah bekerja sama dengan Kumba (dalam menulis skripsi),” kata Elsa kepada Tempo lewat Instagram pada Jumat, 19 April 2024.
Elsa membuat skripsi berjudul “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Demokratis dan Disiplin Kerja terhadap Kinerja Karyawan PT Pangansari Utama Food Industry”. Skripsi tersebut masuk jurnal manajemen Oikonomia yang dikelola Unas pada 8 Februari 2019. Tak ada nama Kumba Digdowiseiso dalam artikel tersebut.
Skripsi Elsa diduga didaur ulang. Judulnya “The Influence of Democratic Leadership Style, Intrinsic Motivation and Work Discipline on Employees’ Performance at PT. Pangansari Utama Food Industry, East Jakarta”. Kumba tercatat menjadi penulis ketiga. Elsa heran skripsinya bisa muncul di jurnal tersebut tanpa seizinnya. “Itu skripsi saya kok bisa ke publik, ya?” ujarnya.
Seorang pengelola situs Journal of Social Science mengaku menerima 30 artikel dalam bahasa Inggris dari Kumba pada akhir Januari 2024. Semua artikel itu dipublikasikan sekaligus pada Februari 2024. Pengelola tersebut mengklaim semua karya ilmiah itu telah dikurasi oleh enam reviewer atau peninjau. Kumba telah membayar tarif publikasi makalah tersebut.
“Kumba sebagai author yang mengirim naskah ke jurnal yang kami kelola,” ucap pengelola yang tak mau disebut namanya itu. Ia menyatakan pengelola jurnal tak mengetahui soal peran tiap penulis.
Seorang penilai artikel mengaku telah memberikan catatan koreksi dan perbaikan terhadap naskah yang dikirim Kumba. Salah satunya soal kebaruan penelitian. Artikel yang dikirim Kumba hanya meneliti variabel yang sama dengan penelitian sebelumnya. “Kebaruan seharusnya dimunculkan di penelitian tersebut,” tuturnya.
Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik atau KIKA—perkumpulan akademikus yang bergiat di dunia pendidikan—Nur Inda Jazilah mempelajari dua jurnal versi bahasa Indonesia dan Inggris yang mencantumkan nama Elsa. Kesimpulannya, artikel itu diduga kuat merupakan plagiarisme. “Proses penerjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris itu bentuk plagiarisme,” ujarnya.
Peraih gelar master dari Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda, itu mengatakan indikasi plagiarisme sangat kuat karena artikel versi bahasa Indonesia terbit lebih dulu. Artinya, ide penelitian merupakan milik penulis jurnal yang lebih awal mempublikasikan. Adapun nama Kumba muncul belakangan sebagai penulis ketiga dalam versi bahasa Inggris.
Anggota Dewan Pengarah KIKA, Idhamsyah Eka Putra, mengatakan produktivitas karya ilmiah Kumba Digdowiseiso di Journal of Social Science sangat janggal. Sepanjang tahun ini, Kumba mempublikasikan 84 artikel di situs itu. “Bagaimana mungkin karya yang banyak itu dimuat dalam tiga edisi?” kata dosen pascasarjana psikologi Universitas Persada Indonesia, Jakarta, tersebut.
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA Kumba Digdowiseiso menjadi sorotan dunia akademis belakangan ini. Dia diduga melakukan academic misconduct dalam publikasi sejumlah artikel, yaitu dengan mencatut nama 24 dosen Universiti Malaysia Terengganu (UMT) dalam berbagai artikelnya. Para dosen itu telah melayangkan protes terhadap artikel yang diproduksi profesor 39 tahun tersebut.
Salah satu nama yang dicatut adalah associate profesor bidang keuangan UMT, Safwan Mohd Nor. Ia tak mengetahui artikel yang ditulis Kumba. Bantahan Safwan termuat di situs Retraction Watch Database dengan judul “The dean who came to visit - and added dozens of authors without their knowledge”, pada 10 April 2024. “Kami tidak mengenal orang ini,” ujarnya.
Nama Safwan tertulis di empat artikel dalam jurnal yang tak terindeks, Web of Science Clarivate. Namun nama mereka muncul di Google Scholar, mesin pencarian artikel ilmiah. Pencatutan nama itu merupakan penipuan atau praktik publikasi penelitian di jurnal predator yang proses penerbitannya tak melalui proses review, penilaian, serta penyuntingan yang baik dan benar.
Kumba Digdowiseiso memang pernah datang ke UMT tahun lalu. Di sana ia mendiskusikan rencana pertukaran mahasiswa, dosen tamu, serta peluang kolaborasi riset. Namun tak ada pembicaraan sama sekali soal kerja sama penulisan artikel.
Pencatutan nama itu membuat produktivitas Kumba dalam penulisan artikel ilmiah nyaris tiada banding. Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik mencatat Kumba menulis 314 artikel sepanjang tahun lalu. Ini berarti Kumba menulis satu artikel setiap hari mulai Senin hingga Sabtu. Sedangkan hingga April 2024, ada 163 artikel yang dipublikasikan atas nama Kumba.
Koordinator KIKA, Satria Unggul, menduga Kumba menggunakan cara lancung untuk menerbitkan artikel, yaitu memanfaatkan karya ilmiah mahasiswa yang dia ajar. “Dengan jabatannya, bisa saja dia menitip supaya namanya ikut ditulis,” kata Satria. Setelah muncul kegaduhan academic misconduct itu, Kumba menutup akun Google Scholar miliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kumba Digdowiseiso dalam sebuah seminar nasional di Jakarta, Juli 2022. Dok. feb.unas.ac.id
Satria memastikan jumlah fantastis artikel ilmiah seorang dosen hampir pasti merupakan academic misconduct. Sebab, satu artikel ilmiah biasa ditulis dalam rentang waktu berbulan-bulan. Dosen pun masih memiliki kesibukan mengajar, membimbing mahasiswa, dan mengerjakan tugas administratif.
Seorang akademikus yang mendalami kasus Kumba Digdowiseiso mengatakan proses dosen Universitas Nasional, Jakarta, itu dalam mendapatkan gelar guru besar juga patut dipertanyakan. Situs resmi Unas menyatakan Kumba mendapat surat keputusan pengangkatan guru besar dari Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah atau LL Dikti III pada 20 Oktober 2023.
Kumba ditetapkan sebagai guru besar pada September 2023. Saat itu usia Kumba masih 38 tahun. Ia mendapatkan gelar doktor dari Erasmus Universiteit Rotterdam, Belanda, pada 14 Desember 2020. Seharusnya Kumba baru bisa mengajukan permohonan gelar guru besar tiga tahun kemudian atau pada Desember 2023.
Menurut narasumber yang sama, Kumba memanfaatkan celah dari regulasi yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yakni permohonan gelar profesor bisa lebih cepat dengan syarat melampirkan empat artikel di jurnal bereputasi internasional.
Narasumber yang mendalami persoalan Kumba ini menemukan bahwa dua jurnal yang diajukan oleh Kumba berstatus diskontinu. Artinya, jurnal itu sudah tidak lagi terindeks atau dibatalkan/dihentikan indeksasinya. Selain itu, jumlah penilai karya ilmiah yang diajukan Kumba hanya satu orang.
Karya ilmiah yang diajukan untuk mendapatkan gelar profesor harus di-review oleh dua orang. Jika terjadi dispute, diperlukan satu reviewer lain. Adapun penilai jurnal Kumba hanya Ketua LL Dikti III Diah Safitri.
Kumba Digdowiseiso juga ditengarai tak memenuhi syarat administratif dalam pengajuan permohonan gelar guru besar. Ia tak mencantumkan terhitung mulai tanggal atau TMT penetapan status dari lektor ke lektor kepala di dokumen pengajuan. Kumba baru mendapatkan surat keputusan penetapan menjadi lektor kepala pada 1 Juni 2023 atau tiga bulan sebelum menjadi guru besar.
Kenaikan jabatan lektor kepala menjadi guru besar minimal membutuhkan waktu dua tahun. Ada juga syarat lain, yaitu wajib membimbing disertasi mahasiswa doktoral—biasanya membutuhkan waktu lama. Menurut kesimpulan akademikus yang diwawancarai Tempo, mustahil Kumba bisa mendapatkan gelar profesor secepat itu karena ia diduga belum memenuhi syarat.
Koordinator KIKA, Satria Unggul, pun mendesak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim membatalkan pemberian jabatan guru besar Kumba, yang terbukti melakukan academic misconduct. “Kalau tidak ada tindakan terhadap pelanggaran akademik ini, kesalahan ini akan terus menjadi kewajaran,” ujarnya.
Setelah dugaan academic misconduct mencuat, Kumba Digdowiseiso mundur sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis. “Ini bentuk pertanggungjawaban akademis saya kepada Rektor Unas dan sivitas akademika agar tak membebani kampus dalam melakukan investigasi terhadap persoalan yang sedang saya hadapi,” katanya melalui keterangan tertulis, Kamis, 18 April 2024.
Kumba menyatakan tuduhan pencatutan nama dalam publikasi jurnal tak benar dan bertujuan menjatuhkan namanya. “Saya sangat menjunjung tinggi integritas akademis,” ucapnya. Kumba tak menjawab pertanyaan yang diajukan Tempo soal berbagai dugaan academic misconduct yang dilakukannya.
•••
DUGAAN academic misconduct atau pelanggaran akademik juga menimpa bekas dosen Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Tangerang, Banten, Daniel Susilo. Daniel, 33 tahun, ditengarai mencatut nama lain dalam penulisan karya ilmiahnya.
Semua bermula dari unggahan Instagram mahasiswa pascasarjana Universiti Malaya, Malaysia, Ghozian Aulia Perdana, pada 4 Juli 2023. Isinya, tangkapan layar karya ilmiahnya yang dikutip oleh Daniel dalam artikel “Post ASEAN Summit 2023 Labuan Bajo: Tourism Promotion Content Analysis on @labuanbajo Instagram” di Journal of Tourism and Attraction sebulan sebelumnya.
Artikel Daniel yang dipublikasikan di jurnal milik Universitas Pancasila itu juga ditulis oleh I Gusti Ngurah Sarjana sebagai penulis kedua. Gusti Ngurah tertulis sebagai dosen jurusan manajemen halal Universiti Malaya. Kolega Daniel di UMN ikut membaca unggahan Ghozian yang juga dikenalnya. Namun ia tak mengenal I Gusti Ngurah Sarjana. Ghozian pun tak mengenalnya.
Kolega Daniel itu lantas mencari nama I Gusti Ngurah Sarjana di mesin pencarian Google. Hasilnya nihil. Di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, nama itu pun tiada. Dari sinilah muncul kecurigaan bahwa penulis kedua itu adalah penulis fiktif. Informasi ini lantas menjadi topik diskusi sejumlah dosen dan dilaporkan ke Rektorat UMN.
Sejumlah dosen lalu menelusuri dugaan academic misconduct yang dilakukan oleh Daniel Susilo, saat itu Kepala Riset Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UMN. Mereka mengecek ke Universiti Malaya. Jangankan nama I Gusti Ngurah Sarjana, jurusan manajemen halal pun tak ada di kampus itu.
Daniel terbilang produktif dalam menulis artikel di jurnal ilmiah. Sepanjang 2023, asesor jurnal komunikasi di Kementerian Pendidikan itu bisa menerbitkan 25 artikel atau dua karya setiap bulan. Sebagian besar artikel itu mencantumkan nama penulis asing. Para dosen kemudian menelusuri semua nama itu.
Hasilnya, ada sedikitnya sebelas penulis yang dipertanyakan keterlibatannya dalam publikasi jurnal ilmiah yang melibatkan Daniel. Selain nama I Gusti Ngurah Sarjana, ada Erica Monica A. Gracia dari La Trobe University, Melbourne, Australia. Keduanya tercatat menulis artikel “Handling Covid-19 in Sampang: Leadership and Local Elite Public Communication Strategy”.
Dalam artikel itu, Daniel menjadi penulis kedua dan Erica Monica penulis ketiga. Adapun penulis pertama adalah Endik Hidayat dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur. Belakangan, dari hasil komunikasi dengan La Trobe University, terungkap bahwa kampus itu tak pernah memiliki pengajar atau staf bernama Erica Monica. Daniel lantas dicopot sebagai kepala riset.
Belakangan, Dewan Etik UMN—kampus milik Kompas Gramedia Group—pun menjatuhkan sanksi kepada Daniel Susilo atas pelanggaran etika, yakni meminta Daniel mundur. “Sanksinya mengundurkan diri,” kata Wakil Rektor UMN Andrey Andoko.
Daniel Susilo membantah semua dugaan academic misconduct tersebut. Ia mengklaim tak cermat menerima ajakan peneliti luar negeri saat menulis karya ilmiah. Daniel mengaku tak memverifikasi ke kampus peneliti asing yang mengajaknya berkolaborasi. “Ini pelajaran agar saya lebih teliti dalam menerima ajakan kolaborasi penulis dari luar negeri,” ujarnya.
Ia juga menyangkal jika disebut mendapat sanksi dari Dewan Etik UMN karena terbukti melakukan academic misconduct atau pelanggaran akademik. Daniel mengaku telah berencana keluar dari kampus itu sejak Juli tahun lalu. “Saya tak pernah mendapat sanksi. Rektor UMN juga menyatakan saya tak menjalani sanksi disiplin sedang atau berat saat keluar,” tutur Daniel.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Egi Adyatama ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Main Catut Dosen Muda".