Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Apa yang Mendorong Guru Besar Melakukan Academic Misconduct di Jurnal Internasional

Praktik academic misconduct marak dilakukan guru besar dan dosen. Kolaborasi Tempo dengan The Conversation Indonesia dan Jaring.

21 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FENOMENA academic misconduct atau pelanggaran akademik yang dilakukan dosen dan guru besar kampus belakangan kian mencuat. Yang paling anyar adalah kasus yang menimpa guru besar Universitas Nasional, Jakarta, Profesor Kumba Digdowiseiso. Berbagai dugaan kecurangan itu muncul di situs pencarian jurnal bermasalah, Retraction Watch Database dan PubPeer.

Hasil penelusuran Tempo bersama The Conversation Indonesia dan Jaring menunjukkan dugaan pelanggaran itu juga menimpa guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya, Trias Mahmudiono, yaitu dalam artikel berjudul “Obesity Accelerates Leukocyte Telomere Length Shortening in Apparently Healthy Adults: A Meta-Analysis” di jurnal Frontiers.

Artikel yang dipublikasikan pada Mei 2022 itu diretraksi atau dicabut oleh penerbitnya karena dianggap bermasalah soal penyusunan pengarang (issues about authorship). Pengelola Frontiers yang memiliki kantor di empat negara menyatakan persoalan itu sebagai pelanggaran serius. Trias tercatat sebagai penulis ketiga bersama enam peneliti lain dari Rusia dan Iran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya ilmiah yang memuat nama Trias Mahmudiono dan diretraksi oleh penerbit, Jakarta, 20 April 2024. Tempo/Jati Mahatmaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika dihubungi pada Kamis, 19 April 2024, Trias mengaku kaget saat mengetahui salah satu karya ilmiahnya telah dicabut. “Baru saya cek dan ternyata benar sudah diretraksi,” katanya.

Sebelum artikel itu dicabut oleh Frontiers, forum diskusi jurnal ilmiah PubPeer telah mengendus berbagai permasalahan. Keterangan di forum itu menyebutkan ada dugaan artikel yang ditulis Wakil Dekan III Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair tersebut mengambil tulisan lain yang terindikasi sebagai bajakan. 


Nama Trias juga ada dalam sembilan artikel lain yang dianggap bermasalah. Empat di antaranya diduga merupakan hasil perdagangan artikel (paper mills). Indikasi utama jual-beli artikel dalam karya ilmiah Trias adalah adanya iklan yang mempromosikan judul-judul paper sebelum tulisan tersebut dipublikasikan.

Contohnya artikel “The Impact of Aerosol Box on Tracheal Intubation During the Covid-19: a Systematic Review” yang terbit pada November 2022 di Expert Review of Medical Devices. Trias tercatat sebagai yang pertama dari sebelas penulis. Tujuh bulan sebelumnya, judul artikel itu muncul di grup Facebook “#ResearchPublication”. Pengelola grup menawarkan dua slot penulis yang tersisa.

Pola yang sama ditemukan dalam artikel berjudul “Systematic Review and Meta-analysis of Randomized, Controlled Trials on the Effects of Soy and Soy Products Supplementation on Serum Adiponectin Levels”. Iklan jurnal tersebut muncul di grup Facebook “Scopus Q2 Indexed Journal” pada 26 Maret 2022, empat bulan sebelum artikel itu terbit pada Juli 2022.

Prof Trias Mahmudiono saat pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar UNAIR, di Surabaya, Jawa Timur, Oktober 2023. Dok. unair.ac.id

Bedanya, dalam iklan ini slot penulis yang masih tersedia ada tiga. Pengelola grup juga mencantumkan biaya untuk mengisi pos kosong tersebut, yakni US$ 700 bagi penulis kedua, US$ 600 buat penulis ketiga, dan US$ 550 untuk penulis kelima. Adapun Trias adalah penulis pertama.

Anggota tim pengkaji International Association of Law Schools atau IALS perwakilan Asia-Pasifik, Sigit Riyanto, menyebutkan paper mills merupakan praktik memproduksi artikel ilmiah untuk dijual. Posisi penulis dijual kepada orang-orang yang mau namanya masuk sebagai peneliti tanpa perlu lelah bekerja.

“Beberapa kajian menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara tertinggi yang memproduksi artikel semacam itu,” ujar guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tersebut pada Jumat, 19 April 2024.

Iklan-iklan semacam itu beredar di berbagai platform. Selain dipasang di Facebook atau Telegram, ada yang diedarkan lewat forum di website tertentu ataupun di grup WhatsApp. Salah satunya grup “Share Jurnal Nasional dan Internasional” yang dibikin pada akhir 2023. Di grup beranggota 300 orang itu, puluhan hingga ratusan tawaran mengisi slot penulis dijajakan tiap hari.

Trias menyatakan tak sekadar menumpang nama dalam pembuatan artikel. Ia mengklaim ikut merevisi sejumlah substansi dalam artikel tersebut. Trias tak membantah jika dikatakan mengeluarkan duit US$ 400-1.200. Uang itu ia sebut kontribusi untuk membayar article processing charge atau semacam biaya publikasi kepada penerbit.

“Mereka menawarkan beberapa judul yang mungkin kita minati untuk menjadi co-author dengan kontribusi untuk pendanaan dan sedikit koreksi dari manuskrip,” kata Trias.


Kasus serupa terjadi pada guru besar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin, Makassar, Harun Achmad. Pada medio 2022, Harun dihubungi lewat surat elektronik oleh orang yang mengaku sebagai peneliti asing yang pernah mensitasi artikel-artikelnya. Para peneliti asing itu lalu mengajak berkolaborasi membuat artikel untuk dimuat di Frontiers.

Kepada Harun, peneliti itu meminta duit sekitar US$ 200 agar namanya masuk sebagai salah satu penulis. “Buat saya itu mahal. Pembayaran saya kirim ke penulis yang mengajak kolaborasi di e-mail itu,” ucap Harun, Jumat, 19 April 2024.

Data di PubPeer menunjukkan ada tiga artikel Harun di Frontiers yang diunggah sepanjang 2021-2022. Namun ketiganya telah diretraksi pada hari yang sama, Ahad, 9 April 2023, dengan alasan bermasalah, yaitu terindikasi merupakan hasil paper mills.

Harun mengaku tak tahu bahwa ia terlibat dalam jual-beli artikel. Ia mengklaim selalu berkontribusi membuat tulisan dalam setiap kolaborasi karya ilmiah. Namun ia menyatakan tak lagi menyimpan rekam jejak korespondensi dengan para peneliti asing tersebut. “E-mail saya banyak yang terhapus. Sudah lama sekali korespondensinya,” tutur Harun.

Harun Achmad. Facebook @Harun Achmad

Baik Trias maupun Harun adalah guru besar yang memproduksi artikel ilmiah dengan jumlah yang tinggi. Menurut data dari website pengindeks jurnal ilmiah internasional, Scopus, Trias telah membuat 157 paper sejak 2016. Pada 2022, ia mempublikasikan 62 artikel atau 5 paper sebulan. Adapun Harun membuat 151 paper. Puncaknya, pada 2020, ia membuat 74 artikel.

Produktivitas mereka lebih tinggi dari Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional, Jakarta, Kumba Digdowiseiso, yang membuat 24 artikel di jurnal terindeks Scopus sejak 2017. Kumba mundur dari jabatannya setelah mencuatnya kasus academic misconduct, mencatut nama dosen Universiti Malaysia Trengganu, Safwan Mohd Nor. Tiga artikel Kumba lainnya juga terindikasi hasil plagiarisme karena memiliki tingkat kesamaan 96-97 persen dengan sumber lain di Internet.

Di dunia akademik, jumlah publikasi yang tinggi ini dianggap tak wajar. Dalam proses penerbitan artikel, peneliti yang bisa membuat dua karya ilmiah dalam setahun sudah terhitung luar biasa. Salah satu sebabnya, proses penilaian dari reviewer terhadap draf artikel saja bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan.

“Prosesnya kan dari reviewer kadang dikembalikan ke penulis karena minta perbaikan, nanti dikembalikan lagi ke dia. Jadi ada dialog akademik dan ini memang takes time,” kata managing editor jurnal Global Strategis, Vinsensio Dugis, Jumat, 19 April 2024.


Data Scopus juga menunjukkan sejumlah peneliti Indonesia memiliki ratusan paper yang dibuat dalam waktu singkat. Beberapa di antaranya adalah guru besar. Berdasarkan penelusuran di Retraction Watch Database dan PubPeer, sejumlah artikel yang dibuat para guru besar itu juga terindikasi bermasalah.

Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, Iskandar Muda, salah satunya. Di Scopus, ia tercatat memiliki 254 artikel. PubPeer menunjukkan ada 14 artikel yang mencantumkan nama Iskandar yang diduga bermasalah. Satu artikel telah diretraksi karena bermasalah soal data dan hasil penelitian, tiga artikel diduga hasil paper mills.

Permasalahan artikel ilmiah Iskandar tidak hanya tercatat di PubPeer. Data Scopus menunjukkan, dari 254 paper yang ia buat, 91 dipublikasikan di jurnal yang telah berstatus diskontinu alias tak lagi terindeks oleh Scopus. Ada dua alasan lembaga pengindeks jurnal seperti Scopus atau Clarivate Analytics menyetop indeksasi sebuah jurnal.

Tangkapan layar laman ikaln pada facebook yang menawarkan kontribusi penulisan jurnal. Istimewa

Pertama adalah kinerja jurnal buruk, seperti jarang terbit dan dampaknya dalam dunia ilmiah rendah. Alasan kedua, jurnal itu ditengarai kuat melanggar etika publikasi. “Ini yang disebut dengan potentially predatory journal atau jurnal predator dan yang paling sering terjadi,” ujar Ketua Forum Dewan Guru Besar Indonesia periode 2021-2023, Arief Anshory Yusuf, Jumat, 19 April 2024.
Menurut Ketua Dewan Profesor Universitas Padjadjaran, Bandung, ini, umumnya jurnal yang berstatus diskontinu tak melakukan proses peer review atau penelaahan secara benar. Target mereka adalah peneliti yang ingin namanya muncul sebagai penulis tanpa perlu bersusah payah. “Tujuannya hanya untuk mencari untung sebanyak-banyaknya dari fee yang diminta kepada penulis,” ucap Arief.

Salah satu paper Iskandar yang jurnalnya berstatus diskontinu berjudul “The Impact of the Industrial Revolution 4.0 on the Insurance Industry and Whether of the Assets and Investments Play a Role to Investment Yield”. Paper tersebut terbit di jurnal Humanities & Social Sciences Reviews pada 2020.

Iskandar mengaku sempat menjadikan karya tulisnya itu syarat khusus untuk pengajuan permohonan gelar guru besar pada 2021. “Karena sudah diskontinu, jadi ditolak. Jadi saya usulkan dua karya ilmiah lain,” kata Iskandar. Ia membantah jika karya tulisnya disebut merupakan hasil paper mills. “Saya enggak ikut beli paper karena saya pun bisa membuatnya,” tuturnya.



Hasil penelusuran lewat PubPeer dan Retraction Watch menunjukkan ada kesamaan pola yang ditemukan dalam berbagai artikel guru besar di Indonesia yang bermasalah. Banyak di antara mereka membuat artikel bersama peneliti dari Rusia, Dmitry Olegovich Bokov, dan peneliti dari Irak, Abduladheem Turki Jalil.

Artikel yang melibatkan Bokov dan Jalil kerap bermasalah. Tercatat 12 artikel Bokov telah diretraksi, kebanyakan dengan alasan hasil paper mills atau authorship. Sedangkan sebelas artikel Jalil telah diretraksi. Selain alasan paper mills, karya ilmiah Jalil diduga memiliki peer review alias telaah yang tidak jelas.

Rekam jejak bermasalah Bokov dan Jalil bukan barang baru. Jurnalis asal Ukraina-Jerman yang berfokus pada isu keilmuan, Leonid Schneider, menyebut keduanya sebagai pelaku paper mills. Schneider beberapa kali menyebut nama Bokov dalam laporannya di blog For Better Science yang berfokus pada isu integritas dan etik.

“Bokov memberi authorship dari setiap topik,” ucap Schneider, Kamis, 18 April 2024. Tempo berusaha menghubungi Bokov dan Jalil melalui surat elektronik. Namun hingga Sabtu, 20 April 2024, tidak ada jawaban yang diterima.

Trias Mahmudiono tercatat memiliki sebelas karya ilmiah bersama Bokov atau Jalil. Sedangkan Harun Achmad memiliki sepuluh artikel yang digarap bersama. Peneliti lain yang bekerja sama dengan keduanya adalah guru besar Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Acim Heri Iswanto, yang memiliki sepuluh karya bersama Jalil.

Acim mengaku hanya ingin berkolaborasi dengan peneliti asing untuk meningkatkan nilai kredit usaha mandiri (KUM) lewat skema riset internasional. Ia juga ingin membangun jejaring dengan peneliti dari luar negeri guna memperkuat riset nasional. “Saya tak menyadari bahwa artikel tersebut bermasalah,” kata Acim, Kamis, 18 April 2024.

Maraknya artikel abal-abal yang didapat dari paper mills tak terlepas dari kebutuhan peneliti Indonesia untuk menaikkan KUM. Anggota Dewan Pengarah Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik atau KIKA, Idhamsyah Eka Putra, mengatakan publikasi artikel di jurnal internasional memiliki nilai KUM tinggi. Di jurnal terindeks Scopus, nilainya bisa mencapai 40.

Nilai itu jauh lebih tinggi ketimbang sekadar mengajar, yaitu 1 saja. Dengan batas KUM 850 untuk mencapai gelar guru besar, para dosen pun berlomba-lomba membuat artikel di jurnal internasional. “Biasanya kampus akan memaksa dosen segera menjadi guru besar. Jumlah guru besar ataupun lektor kepala itu akan mempengaruhi akreditasi kampus tersebut,” ucap Idhamsyah.

Dengan berbagai tuntutan itu, paper mills hingga jurnal predator menjadi opsi yang banyak diambil peneliti Indonesia meskipun aktivitas tersebut merupakan academic misconduct atau pelanggaran akademis. Menurut Arief Anshory Yusuf, praktik itu merusak dunia akademik. “Artikel penelitian bodong akan berseliweran di literatur ilmiah dan ini merusak,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Francisca Christy Rosana, Imam Hamdi, Hanaa Septiana di Surabaya, Didit Haryadi di Makassar, dan Mei Leandha di Medan berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Artikel Lancung Para Guru Besar". Artikel ini terbit atas kerja sama dengan The Conversation Indonesia dan Jaring.id.

 

Egi Adyatama

Egi Adyatama

Wartawan Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus