Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM iringan rancak gamelan Bleganjur, lidah api menari-nari. Hanya kurang dari satu jam, upacara Pelebon Agung yang dipimpin Bupati Badung, yang juga Palingsir—sesepuh dan pemimpin—Puri Mengwi, Anak Agung Gde Agung, itu sempurna sudah. Abu jenazah lalu dikumpulkan untuk dilarung di Sungai Yeh Penet.
Sungai diyakini akan menghilirkan abu jenazah itu ke segara luas, menyatukan wadak yang meliputi Panca Mahabhuta—air, api, udara, tanah, dan ruang hampa—dengan alam semesta. Tiada ratap duka dalam upacara itu.
Pelebon Agung di Setra (pemakaman) Gde Kapal, Badung, Bali, sekitar sepuluh kilometer dari Denpasar, Ahad dua pekan lalu, itu ditujukan bagi I Gusti Agung Gede Ngurah, yang wafat pada 15 Agustus lalu, dan I Gusti Agung Gde Ngurah Oka, yang berpulang dua tahun silam. Keduanya Palingsir Puri Kapal Kaleran, Mengwi.
Puri Kapal Kaleran adalah bagian dari Kerajaan Mengwi yang, setelah masa kerajaan berakhir, otomatis lebih sebagai penjaga adat dan budaya. Peran itu diwarisi Gede Ngurah, cicit raja terakhir Puri Kapal, yang lebih banyak bekerja sebagai pebisnis pariwisata.
Adapun Gde Ngurah Oka sudah meninggalkan Puri pada 1958. Setelah menamatkan sekolah menengah di Singaraja, ia melanjutkan kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Malang, Jawa Timur, kemudian mengajar di almamaternya itu. Ia juga sempat belajar di Michigan University, Amerika Serikat.
Ngurah Oka menikah dengan Monica Djoehana Djaibzah, perempuan keturunan Minang-Belanda. ”Semasa hidupnya, beliau penekun bahasa Kawi,” tutur I Gusti Agung Putri Kartika, anak kedua Ngurah Oka. ”Karena itu, keluarga Puri menyerahkan pembacaan babad yang ditulis di lontar dalam bahasa Bali Kuno kepadanya,” Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat itu menambahkan.
Dalam soal agama, menurut perempuan yang biasa dipanggil Gung Putri itu, ayahnya bersikap terbuka. Sang ibu, misalnya, tetap Katolik yang taat. ”Beliau mendekati adat dan kebudayaan Bali secara lebih filosofis,” kata I Gusti Agung Ayu Ratih, putri sulung mendiang. Bagi keluarga, menurut perempuan yang biasa dipanggil Gung Ayu itu, upacara Pelebon Agung ini menjadi semacam pengingat bahwa orang Bali akhirnya harus ”kembali ke rumah”, walaupun sudah melanglang ke mana-mana.
Rangkaian upacara sudah dimulai begitu Gede Ngurah wafat pada usia 81. Setelah hari ngaben ditentukan, jasad disemayamkan dengan perlakuan layaknya orang yang masih hidup. ”Karena belum sampai saatnya, kita menganggap beliau masih dalam keadaan tertidur,” kata Anak Agung Raka, putra bungsu mendiang.
Pada hari Pelebon, upacara dimulai dengan tradisi pemegat. Semua anggota keluarga berkumpul di depan altar, sambil membawa sesaji kecil. Setelah diperciki tirta oleh Pedanda, mereka berbalik, dan melemparkan sesaji itu ke belakang. Tradisi ini menandai kerelaan melepas jiwa yang akan berangkat ke dunia arwah.
Jenazah kemudian dipindahkan dari peti ke bade setinggi lima meter. Bade seberat setengah ton itu diusung ratusan warga, begitu pula lembu raksasa setinggi tiga meter yang ditunggangi oleh wakil keluarga, Anak Agung Alit Agung.
Arak-arakan kemudian menyusuri jalan menuju makam, sekitar tiga kilometer dari Puri. Di setiap persimpangan, bade diputar tiga kali, melambangkan harapan agar roh si mati tidak mengingat jalan untuk pulang.
Upacara itu, menurut Anak Agung Raka, adalah upacara dengan tingkatan utama, tapi dengan format yang disederhanakan. Misalnya, bade tumpang sembilan hanya dibuat simbolis. Tarian baris poleng dan gamelan Gambuh ditiadakan. Meski demikian, tak kurang dari Rp 100 juta harus disiapkan untuk upacara ini.
Bagian unik Pelebon Agung ini adalah disertakannya ”jenazah” I Gusti Agung Gde Ngurah Oka—keponakan I Gusti Agung Gede Ngurah—yang wafat pada 16 Maret 2006 tersebut dan sudah diperabukan melalui upacara Mekingsan ring Geni. Abunya dilarung di Pantai Balekambang, Malang Selatan, Jawa Timur.
Pada 21 Juli lalu, ”abu” itu ”diambil” di Pantai Seseh, Tabanan, Bali, dengan keyakinan semua pantai pada dasarnya masih berhubungan. Wadak mendiang kemudian dilambangkan dengan sebatang kayu cendana yang diukir bak manusia, dibungkus kain berisi rerajahan huruf Bali Kuno. Kayu itulah yang kemudian ditempatkan di perut lembu pada saat pengabenan.
Rofiqi Hasan (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo