Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sirius sebenarnya punya jadwal terbit. Pada Februari-Maret, jika cuaca bersahabat, penduduk bumi bisa menikmati sinar bintang paling terang dalam rasi Canis Major ini dengan mata telanjang di malam hari.
Tapi tidak Jumat dua pekan lalu. Dari atas lapangan Sespimpol Maribaya, Lembang, Sirius terlihat ketika teleskop Lorenz van Gugelberg da Silva, 18 tahun, menangkap kerlingannya. Padahal langit di atas Kota Bandung hari itu sedikit mendung. ”Itu bintang favoritku,” kata Lorenz.
”Penemuan” bintang favorit itu membawa keberuntungan pada Lorenz. Ia terpilih sebagai salah satu bintang dalam International Olympiad Astronomy and Astrophysics kedua di Sasana Budaya Ganesha, Institut Teknologi Bandung, Rabu pekan lalu. Lorenz mendapat medali emas untuk kedua kalinya, setelah kompetisi serupa digelar tahun lalu di Chiang Mai, Thailand. Juga gelar Creative Solution. ”Ini keikutsertaan yang terakhir,” kata lulusan Sekolah Menengah Atas Semesta, Semarang, ini.
Tiga siswa Indonesia lainnya ikut meraih emas dalam kompetisi yang digelar pada 19-28 Agustus 2008 itu. Mereka adalah Ady Suwardi, lulusan SMA Soetomo 1, Medan, Amar Kusuma, siswa SMA Taruna Nusantara, Magelang, dan Ridlo Wahyudi Wibowo, siswa SMA Negeri 1 Rembang, Jawa Tengah. Enam siswa lain menggondol tiga perak, dua perunggu, dan satu penghargaan honorable mention.
Meski gagal menjadi juara umum, Lorenz dan kawan-kawan sukses membawa Indonesia ke peringkat kedua dunia—hanya selisih sedikit dengan India, yang tahun ini menjadi juara umum. ”Sebuah langkah luar biasa setelah tahun kemarin, di Chiang Mai, Indonesia berada di urutan keenam dunia,” kata Suryadi Siregar, ketua tim Indonesia.
Kemenangan itu diperoleh dengan kerja keras. Dalam kompetisi yang diikuti siswa dari 24 negara di dunia itu, mereka diuji dalam tiga kategori: teori, analisis data astronomi dan problematikanya, serta eksperimen. Mereka diuji selama lima jam tanpa istirahat, dengan pengawasan yang ketat. Eksperimen pun dilakukan malam hari di udara terbuka.
Menurut Sekretaris Jenderal International Olympiad Astronomy and Astrophysics Chatief Kunjaya, observasi atau eksperimen bertujuan menguji kemahiran siswa mengamati benda langit di malam hari, baik memakai teropong maupun tanpa peralatan. Analisis data ditujukan untuk mengetes kemahiran siswa dalam menganalisis data astronomi. Yang terakhir adalah penguasaan teori.
Meski soal itu menyangkut kehidupan sehari-hari, bobot soal untuk kompetisi tingkat sekolah menengah umum ini memiliki kesulitan yang setara dengan tingkat sarjana atau pascasarjana. Hampir semuanya berkaitan dengan hitungan fisika dan matematika dengan tujuh digit di belakang. ”Beberapa di antaranya biasanya diujikan untuk mahasiswa tingkat empat atau semester kedelapan di ITB,” kata Suryadi Siregar, yang juga dosen astronomi Institut Teknologi Bandung.
Dari 18 soal pendek yang diujikan selama lima jam, menurut Ady Suwardi, tiga soal di antaranya membutuhkan analisis dan kemampuan statistik. ”Waktunya sangat pendek dan tingkat kesulitannya lebih berat ketimbang olimpiade tahun lalu,” kata Lorenz.
Menurut Eky Valentian, peraih perunggu, salah satunya adalah cara menghitung bulan purnama di kota A terhadap ketinggian gelombang pasang di kota B dan seberapa besar kemungkinan terjadinya tsunami. ”Cara ini bisa dihitung dengan rumus matematika sederhana, misalnya regresi atau linear,” ujarnya.
Soal lain misalnya menghitung sudut kemiringan lensa dan pesawat untuk memotret benda langit atau planet yang tepat di dekat matahari. ”Ini butuh penyelesaian dan analisis yang lama,” kata Yudho Diponegoro, siswa SMA Taruna Nusantara, Magelang. ”Saya saja enggak selesai.”
Berikutnya tes observasi. Di tengah kegelapan malam di lapangan Sespimpol Lembang, mereka diminta mengambil obyek dari langit dan mengidentifikasi gugus bintang. ”Kami diminta mencari gugus bintang yang hilang,” kata Marshiella, siswa SMA 8 Jakarta.
Ujian observasi pun sempat diulang karena mendung. Dalam ujian itu, mereka diminta mengamati bintang dengan mata telanjang dan memakai teleskop reflektor serta menganalisis data tertulis. ”Tujuan tes mencari sebanyak-banyaknya obyek bintang, baik secara visual maupun dengan teleskop,” kata Chatief.
Untunglah tim Indonesia sudah terbiasa dengan segala kondisi. Mereka selama tiga bulan digembleng berturut-turut di kampus Institut Teknologi Bandung, Observatorium Bosscha, dan Planetarium Jakarta untuk mengenali beragam instrumen astronomi dan astrofisika. Mereka adalah produk seleksi ketat yang digelar panitia sejak Desember 2007 hingga Maret lalu. Dari 37 finalis, terjaring 15, hingga menyusut jadi 10 orang.
Tentu banyak pengalaman baru yang didapat remaja belia ini. Maklum, ilmu astronomi sebetulnya tergolong baru bagi Lorenz dan kawan-kawan. Ilmu perbintangan yang memadukan matematika dan fisika ini tak pernah diajarkan spesifik di sekolah mereka, meskipun masuk kurikulum fisika di sekolah menengah atas. Misalnya cara menghitung koordinat bintang, tingkat pencahayaan, luas suatu daerah di langit, estimasi magnitudo bintang, dan rasi bintang.
Sebagian sekolah peserta dari Indonesia juga tak memiliki peralatan teleskop reflektor atau klub astronomi. Kalaupun peralatannya ada dan mereka menjadi anggota klub, bukan jaminan itu menjadi faktor penentu mereka menjadi peserta kompetisi ini. ”Umumnya kami masuk tak sengaja,” kata Ady dan Lorenz.
Lorenz, misalnya, menjadi intim dengan ilmu ini sejak awal 2006. Semuanya tak sengaja karena guru SMA-nya meminta dia ikut beragam olimpiade. ”Saya memilih astronomi karena itu yang kosong. Lainnya sudah penuh,” ungkapnya.
Ia mengaku jatuh cinta ketika dalam pelatihan dan tes yang digelar Dinas Pendidikan Jawa Tengah, Semarang, ia malah dinyatakan lolos hingga Olimpiade Sains Nasional. Sukses menyabet emas di tingkat nasional, ia melenggang ke tingkat Asia Pasifik di Rusia pada Desember 2006 dan menggondol perunggu. Pada 2007, Lorenz ikut ke Thailand dan meraih emas. Rabu pekan lalu, ia mengulanginya. ”Sekarang saya menyenanginya,” kata Lorenz.
Ady Suwardi dan Amar Kusuma punya cerita yang mirip. Meski mereka ikut klub astronomi di sekolah, kesukaan akan astronomi boleh dibilang karena kesukaan mereka mendalami pelajaran fisika. ”Astronomi itu terapan dari fisika. Kita dapat mempelajari obyek tanpa bisa mengubah obyek,” katanya.
Belakangan, karena mereka ikut kompetisi ini, kesukaan mengamati benda langit sejak kecil itu seperti memperoleh penyaluran. Banyak misteri yang terungkap. ”Apalagi ini ilmu tertua dan unik,” kata Amar. Mereka berdua baru kali ini ikut kompetisi astronomi internasional.
Meski sudah jatuh cinta pada bidang ilmu itu, para siswa ini tak serta-merta menjatuhkan pilihan menjadi astronaut. Tak semua beasiswa yang diperoleh sebagai kado berkat prestasi mereka di kompetisi ini diambil. Lorenz, misalnya, memilih tak memanfaatkan beasiswa kuliah di Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung. Sebaliknya, ia ikut tes masuk kampus itu untuk memilih Jurusan Teknik Elektro.
Begitu pula Eky Valentian. Lulusan SMA 3 Bogor ini tak melirik Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung, melainkan Teknik Penerbangan. Pekan ini, begitu kompetisi bubar, keduanya sudah mulai melakoni kegiatan mereka sebagai mahasiswa baru. ”Profesi kadang tak perlu sama dengan hobi,” kata Lorenz.
Widiarsi Agustina, Adelheid Pratiwi Sidharta, Alwan Ridha Ramdani (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo