Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Siapa pun yang berbuat jahat di tengah kesulitan masyarakat mendapatkan minyak goreng sawit selayaknya diseret ke pengadilan.
Kejaksaan Agung memaksakan tuduhan korupsi terhadap Lin Che Wei.
Jaksa sering mengedepankan asas “kepastian” tapi mengabaikan “keadilan” hukum.
SEPERTI disimbolkan Themis, sang Dewi Keadilan, yang menutup kedua matanya dengan balutan kain, penegakan hukum tak boleh pandang bulu. Faktanya, dalam pengusutan kasus dugaan korupsi persetujuan ekspor sawit, Kejaksaan Agung menunjukkan gelagat sebaliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah seharusnya Kejaksaan mengusut dugaan korupsi di balik persetujuan ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya demi membuat terang perkara. Siapa pun yang berbuat jahat di tengah kesulitan masyarakat mendapatkan minyak goreng sawit selayaknya diseret ke pengadilan. Namun penegakan hukum tak boleh serampangan, apalagi dilatari motivasi lain, seperti politik ataupun mencari kambing hitam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelagat buruk itu terlihat ketika jaksa memaksakan tuduhan korupsi terhadap Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei. Surat dakwaan untuk penasihat kebijakan di lembaga Independent Research & Advisory Indonesia itu lebih banyak menguraikan tindak pidana tersangka lain.
Jaksa, misalnya, merinci peran Indrasari Wisnu Wardhana, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, dalam memberikan persetujuan ekspor kepada 15 perusahaan sawit sepanjang Februari-Maret lalu, ketika pasokan minyak goreng di dalam negeri langka. Padahal perusahaan dari tiga grup besar itu belum melaksanakan kewajibannya memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri.
Baca: Dana Sawit: Kroni, Emisi, Deforestasi
Jaksa juga mengurai peran tiga petinggi perusahaan sawit, yakni Master Parulian Tumanggor, Stanley Ma, dan Pierre Tagore Sitanggang. Mereka disebut memanipulasi angka minyak goreng yang disalurkan di dalam negeri guna memperoleh persetujuan ekspor. Khusus Master Parulian, jaksa menyebutnya telah menyetor duit Sin$ 10 ribu kepada tim yang memproses persetujuan ekspor itu.
Jaksa mendakwa Lin Che Wei bersalah karena memberikan rekomendasi kepada Kementerian Perdagangan untuk menerbitkan izin ekspor bagi sejumlah perusahaan. Namun jaksa tidak mengungkap motivasi ataupun keuntungan yang diperoleh Lin Che Wei dengan memberikan rekomendasi tersebut.
Lin Che Wei bukanlah pejabat publik yang memiliki kewenangan atas turunnya persetujuan ekspor. Dia berperan karena diminta Menteri Perdagangan saat itu, Muhammad Lutfi, membantu merumuskan kebijakan. Rekomendasi Lin Che Wei sebagai “konsultan” bisa dituruti atau ditolak oleh Lutfi sebagai menteri.
Lain halnya bila Lin Che Wei diutus perusahaan untuk melobi Indrasari Wisnu Wardhana ataupun Muhammad Lutfi. Atau dia menerima uang dari perusahaan atas jasanya mempengaruhi kebijakan. Nyatanya, perbuatan tersebut tak tertera dalam surat dakwaan.
Bukan sekali ini saja Kejaksaan Agung memaksakan perkara maju ke pengadilan. Bagi Kejaksaan, yang penting ada pasal pidana korupsi yang bisa dipakai untuk menjerat terdakwa. Jaksa tak peduli apakah terdakwa memiliki niat jahat untuk melanggar hukum dan merugikan keuangan negara atau tidak. Dengan demikian, jaksa telah mengedepankan asas “kepastian” tapi mengabaikan “keadilan” hukum.
Praktik penegakan hukum yang cacat itu harus dihentikan. Jaksa tak boleh lagi berdalih “biarlah hakim yang memutuskan perkara”. Sebab, meminjam tangan hakim untuk menghukum seseorang dengan dakwaan mengada-ada adalah kezaliman yang nyata.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo