BENAR, kurikulum IKIP sebelum 1978 bersifat mendua," kata Rektor
IKIP Negeri Jakarta kepada TEMPO membenarkan pendapat Prof. Dr.
Sumitro Djojohadikusumo. Pendapat Wakil Ketua KPP (Komisi
Pembaharuan Pendidikan) tersebut dikemukakan dalam ceramahnya
Selasa pekan lalu dalam rangkaian acara Dies Natalis IKIP
Jakarta. "IKIP bersifat mendua, di satu pihak dimaksudkan
sebagai wadah pengadaan guru, di lain pihak ada kecenderungan
dikembangkannya IKIP menurut pola universitas," kata Prof.
Sumitro.
Jadi salahkah IKIP selama ini? "Jangan menyalahkan IKIP saja,"
kata Rektor IKIP Negeri, Jakarta, Prof. Dr. Winarno Surakhmad.
"Ketimpangan IKIP tak bisa terlepas dari sistim pendidikan
secara menyeluruh di masa lalu."
Itulah sebabnya, sejak 1976 dan baru selesai Desember 1978 lalu,
Konsorsium Ilmu Kependidikan yang dibentuk oleh Ditjen Perguruan
Tinggi berusaha menyusun pembaharuan sistim pendidikan tenaga
kependidikan kita. "Sistim baru itu akan diterapkan di 10 IKIP
Negeri dan 11 Fakultas Keguruan di berbagai universitas mulai
tahun ajaran 1979," kata Hamdan Mansoer, Sekretaris Konsorsium
tersebut.
Guru Muda
Pokoknya kurikulum di IKIP sejak tahun 1979 ini -- di IKIP
Jakarta telah diterapkan sejak setahun yang lalu memang
ditujukan guna menghasilkan tenaga kependidikan. Bukan hanya
guru, tapi juga administrator pendidikan, tenaga pembimbing dan
penyuluh pendidikan, tenaga riset dan pengembangan pendidikan.
Untuk memenuhi tugas guru dalam Pelita III ini saja, Indonesia
membutuhkan 100 ribu lebih guru SLTP dan SLTA.
Tentu ini bukan pekerjaan ringan. Menurut Hamdan, kini ada 10
hal yang perlu ditekankan agar memperoleh tenaga pendidik yang
memenuhi syarat. Antara lain: penguasaan spesialisasi pokok
(misalnya guru spesialis ilmu pasti), penguasaan hubungan
guru-murid, kemampuan mengorganisasi kelas, kemampuan menilai
--mengembangkan dan mengelola program pelajaran, keterampilan
menggunakan media dan alat peraga.
"Memang berat," kata Hamdan. "Ya bagaimana lagi, yang diolah
oleh guru itu bukan barang, tapi anak manusia." Diharapkannya
dengan sistim baru nanti, tidak hanya kebutuhan guru terpcnuhi,
tapi juga mampu menghasilkan lulusan SLTP dan SLTA yang
menguasai dan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan.
Dan untuk memenuhi kwantitas, apabila dulu hanya ada sarjana
muda IKIP yang berhak menjadi guru SLTP dan sarjana IKIP yang
berhak menjadi guru di SLTA, kini dibuka program diploma dan
program akta. Diploma I bagi mereka yang telah mengikuti 40-50
SKS (Satuan Kredit Semester) berhak menjadi guru muda SLTP.
Diploma II bagi mereka yang telah mengikuti 80-90 SKS berhak
menjadi guru SLTP. Dan diploma III bagi mereka yang telah
mengikuti 110-118 SKS berhak menjadi guru muda SLTA.
Yang menarik ialah dibukanya program akta -- program untuk
memperoleh kewenangan mengajar. Program ini khusus ditujukan
kepada mahasiswa dan lulusan dari berbagai fakultas di luar
fakultas kependidikan yang ingin menjadi guru. Dengan demikian
dua hal bisa diatasi: pengadaan tenaga guru dari fakultas
non-kependidikan dan melindungi profesi keguruan dengan
mengharuskan siapa saja memiliki akta-mengajar bagi yang ingin
menjadi guru. Akta-mengajar ini ada lima tingkat yang
berturut-turut senilai dengan D-I, D-II, D-III, sarjana dan
pasca sarjana.
Adakah dengan sistim baru itu menjamin setiap lulusan IKIP akan
bekerja sebagai tenaga kependidikan? Apa yang dikatakan Prof.
Winarno adalah hal yang sudah menjadi rahasia umum "Mahasiswa
IKIP memang ada yang murni ingin menjadi guru, tapi banyak juga
yang masuk IKIP karena dinilainya di IKIP mudah mendapatkan
titel sarjana, dan karenanya cepat mendapat pekerjaan."
"Dengan sislim baru memang ada konsekwensi-konsekwensinya," kata
Hamdan Mansoer. Tapi konsekwensi yang disebutkan Hamdan memang
belum ketat, baru setingkat harapan saja. Harapan itu ialah bagi
pemegang ijazah D-II, D-III, sarjana dan yang setingkat
diharapkan mengajar dahulu minimal tiga tahun sebelum
melanjutkan studinya di IKIP. Memang ada ketentuan lain bagi
yang lulus sarjana dengan gemilang diperbolehkan langsung
menempuh studi pasca sarjana.
Toh semua itu tak menutup kemungkinan adanya penyimpangan --
tidak semua lulusan IKIP akan menjadi tenaga kependidikan.
"Penyimpangan dimungkinkan karena berbagai faktor. Ini biasa,"
kata Hamdan. "Seperti juga lulusan fakultas kedokteran yang
tidak menjadi dokter, atau lulusan fakultas pertanian yang
menjadi pedagang."
Yang menjadi pertanyaan sekarang: sejak kapan akan ada peraturan
untuk menjadi guru harus pemegang ijazah IKIP atau paling
sedikit pemegang akta-mengajar? Andai untuk menjadi guru
diperlukan syarat-syarat tertentu, sejauh manakah penghargaan
materiil bisa diberikan kepada guru? Jangan-jangan peminat IKIP
malahan jadi berkurang.
"Masih akan ada masa peralihan yang diharapkan 3 - 4 tahun ini
selesai," kata Rektor IKIP Jakarta dan tambahnya: "Yang penting,
sekarang ini dosen-dosen IKIP harus memahami tugasnya,
mempersiapkan anak didiknya agar bisa berorientasi jauh ke
depan." Maksudnya, guru harus mampu mengikuti perkembangan
zaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini