Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pembaharuan Pabrik Guru

Sebelum '78 kurikulum IKIP negeri bersifat mendua yaitu sebagai wadah pengadaan guru & dikembangkan IKIP menurut pola universitas. Untuk memenuhi syarat tenaga pendidikan, th'79 diterapkan sistim baru.(pdk)

9 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENAR, kurikulum IKIP sebelum 1978 bersifat mendua," kata Rektor IKIP Negeri Jakarta kepada TEMPO membenarkan pendapat Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Pendapat Wakil Ketua KPP (Komisi Pembaharuan Pendidikan) tersebut dikemukakan dalam ceramahnya Selasa pekan lalu dalam rangkaian acara Dies Natalis IKIP Jakarta. "IKIP bersifat mendua, di satu pihak dimaksudkan sebagai wadah pengadaan guru, di lain pihak ada kecenderungan dikembangkannya IKIP menurut pola universitas," kata Prof. Sumitro. Jadi salahkah IKIP selama ini? "Jangan menyalahkan IKIP saja," kata Rektor IKIP Negeri, Jakarta, Prof. Dr. Winarno Surakhmad. "Ketimpangan IKIP tak bisa terlepas dari sistim pendidikan secara menyeluruh di masa lalu." Itulah sebabnya, sejak 1976 dan baru selesai Desember 1978 lalu, Konsorsium Ilmu Kependidikan yang dibentuk oleh Ditjen Perguruan Tinggi berusaha menyusun pembaharuan sistim pendidikan tenaga kependidikan kita. "Sistim baru itu akan diterapkan di 10 IKIP Negeri dan 11 Fakultas Keguruan di berbagai universitas mulai tahun ajaran 1979," kata Hamdan Mansoer, Sekretaris Konsorsium tersebut. Guru Muda Pokoknya kurikulum di IKIP sejak tahun 1979 ini -- di IKIP Jakarta telah diterapkan sejak setahun yang lalu memang ditujukan guna menghasilkan tenaga kependidikan. Bukan hanya guru, tapi juga administrator pendidikan, tenaga pembimbing dan penyuluh pendidikan, tenaga riset dan pengembangan pendidikan. Untuk memenuhi tugas guru dalam Pelita III ini saja, Indonesia membutuhkan 100 ribu lebih guru SLTP dan SLTA. Tentu ini bukan pekerjaan ringan. Menurut Hamdan, kini ada 10 hal yang perlu ditekankan agar memperoleh tenaga pendidik yang memenuhi syarat. Antara lain: penguasaan spesialisasi pokok (misalnya guru spesialis ilmu pasti), penguasaan hubungan guru-murid, kemampuan mengorganisasi kelas, kemampuan menilai --mengembangkan dan mengelola program pelajaran, keterampilan menggunakan media dan alat peraga. "Memang berat," kata Hamdan. "Ya bagaimana lagi, yang diolah oleh guru itu bukan barang, tapi anak manusia." Diharapkannya dengan sistim baru nanti, tidak hanya kebutuhan guru terpcnuhi, tapi juga mampu menghasilkan lulusan SLTP dan SLTA yang menguasai dan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan. Dan untuk memenuhi kwantitas, apabila dulu hanya ada sarjana muda IKIP yang berhak menjadi guru SLTP dan sarjana IKIP yang berhak menjadi guru di SLTA, kini dibuka program diploma dan program akta. Diploma I bagi mereka yang telah mengikuti 40-50 SKS (Satuan Kredit Semester) berhak menjadi guru muda SLTP. Diploma II bagi mereka yang telah mengikuti 80-90 SKS berhak menjadi guru SLTP. Dan diploma III bagi mereka yang telah mengikuti 110-118 SKS berhak menjadi guru muda SLTA. Yang menarik ialah dibukanya program akta -- program untuk memperoleh kewenangan mengajar. Program ini khusus ditujukan kepada mahasiswa dan lulusan dari berbagai fakultas di luar fakultas kependidikan yang ingin menjadi guru. Dengan demikian dua hal bisa diatasi: pengadaan tenaga guru dari fakultas non-kependidikan dan melindungi profesi keguruan dengan mengharuskan siapa saja memiliki akta-mengajar bagi yang ingin menjadi guru. Akta-mengajar ini ada lima tingkat yang berturut-turut senilai dengan D-I, D-II, D-III, sarjana dan pasca sarjana. Adakah dengan sistim baru itu menjamin setiap lulusan IKIP akan bekerja sebagai tenaga kependidikan? Apa yang dikatakan Prof. Winarno adalah hal yang sudah menjadi rahasia umum "Mahasiswa IKIP memang ada yang murni ingin menjadi guru, tapi banyak juga yang masuk IKIP karena dinilainya di IKIP mudah mendapatkan titel sarjana, dan karenanya cepat mendapat pekerjaan." "Dengan sislim baru memang ada konsekwensi-konsekwensinya," kata Hamdan Mansoer. Tapi konsekwensi yang disebutkan Hamdan memang belum ketat, baru setingkat harapan saja. Harapan itu ialah bagi pemegang ijazah D-II, D-III, sarjana dan yang setingkat diharapkan mengajar dahulu minimal tiga tahun sebelum melanjutkan studinya di IKIP. Memang ada ketentuan lain bagi yang lulus sarjana dengan gemilang diperbolehkan langsung menempuh studi pasca sarjana. Toh semua itu tak menutup kemungkinan adanya penyimpangan -- tidak semua lulusan IKIP akan menjadi tenaga kependidikan. "Penyimpangan dimungkinkan karena berbagai faktor. Ini biasa," kata Hamdan. "Seperti juga lulusan fakultas kedokteran yang tidak menjadi dokter, atau lulusan fakultas pertanian yang menjadi pedagang." Yang menjadi pertanyaan sekarang: sejak kapan akan ada peraturan untuk menjadi guru harus pemegang ijazah IKIP atau paling sedikit pemegang akta-mengajar? Andai untuk menjadi guru diperlukan syarat-syarat tertentu, sejauh manakah penghargaan materiil bisa diberikan kepada guru? Jangan-jangan peminat IKIP malahan jadi berkurang. "Masih akan ada masa peralihan yang diharapkan 3 - 4 tahun ini selesai," kata Rektor IKIP Jakarta dan tambahnya: "Yang penting, sekarang ini dosen-dosen IKIP harus memahami tugasnya, mempersiapkan anak didiknya agar bisa berorientasi jauh ke depan." Maksudnya, guru harus mampu mengikuti perkembangan zaman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus