Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

180 Koleksi Adam

Buku "lukisan lukisan koleksi Adam Malik" berisi 180 reproduksi lukisan dari 70 pelukis Indonesia setebal 231 halaman. Lukisan-lukisan itu dominasi karya Sudjono & Hendra. Buku ini disusun Liem Tjoe Ing.(sr)

9 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGALA bla-bla-bla yang mencoba menerangkan sebuah karya seni agar dipahami hadirin, agaknya lebih berhasil membuat hadirin tambah binggung. Apresiasi karya seni, jalan paling efektif rupanya hanya dengan menyuguhkan karya seninya itu sendiri. Entah apakah pendapat tersebut yang selalu dipegang oleh penyusun kumpulan reproduksi karya seni rupa, dua kumpulan reproduksi karya seni rupa yang cukup tebal ternyata memang hanya berisi reproduksi lukisannya itu sendiri plus riwayat singkat pelukisnya: buku kumpulan reproduksi koleksi ir. Soekarno, Presiden RI I, dan yang baru terbit awal Mei 1979, adalah koleksi Adam Malik, Wakil Presiden RI sekarang. 180 reproduksi lukisan koleksi Adam Malik dari 70 lebih pelukis Indonesia tertampung dalam buku setebal 231 halaman, berkulit tebal dan berukuran 31 x 23« cm. Konon ini diseleksi dari 500 lukisan koleksi Adam. Pantas saja, dilihat dari bobotnya agaknya buku Lukisan-lukisan Koleksi Adam Malik ini, lebih terpilih daripada koleksi Soekarno. Tapi mungkin juga kesan itu disebabkan dominasi karya Sudjojono dan Hendra. Lebih dari yang lain-lain, kedua pelukis itu mengisi buku ini dengan 19 dan 12 reproduksi lukisan. Sementara di keempat jilid buku koleksi Soekarno diborong karya Basuki Abdullah. Dan lagi karya Sudjojono beberapa memang di atas rata-rata mutu karyanya. Ada Orkes yang melukiskan suasana pertunjukan orkes dengan rasa humor. Ada Ketoprak yang melukiskan satu adegan di panggung: seorang raja marah-marah kepada bawahannya -- dan cobalah anda teliti, ternyata raja ketoprak itu memakai sepatu kanvas. Ada Aku Cinta Padamu Tanah Airku yang menunjukkan betapa kemampuan Sudjojono melukis realistis: dua anak muda membawa senapan sedang menikmati pemandangan terang bulan dari sebuah teras gedung megah. Tak ada semangat bombas di situ, seperti kebanyakan lukisan perjuangan. Yang terasa, dua pejuang itu agaknya merindukan zaman damai. Adapun karya Hendra, meski tak ada karya semutu Mencari Kutu atau Mengupas Petai karya tahun 50-an dulu, toh masih susah dicari tandingnya dalam buku ini. Misalnya, Keluarga Hendra yang menyuguhkan potret keluarganya dengan latar belakang kerumunan orang-orang -- entah pasar atau apa. Ini bukan sekedar potret keluarga, tapi dari lukisan yang berfokuskan wajah Hendra sendiri ini rasanya tersusun sebuah cerita. Mungkin, cerita tentang betapa dekatnya Hendra dengan anak-bininya. Adam Malik agaknya memang tidak pemilih benar. Seperti kata sambutan Sudarmadji, Direktur Balai Seni Rupa Jakarta, koleksi Adam Malik "meliputi karya-karya pelukis kenamaan Indonesia sampai pelukis yang baru muncul." Tapi entah kenapa karya-karya Affandi, Srihadi, Zaini, Fadjar Sidik terasa kurang mewakili. Dan nama-nama seperti Sadali, Pirous, Nashar ternyata sama sekali tak ada. Tapi ini memang buku reproduksi koleksi dan bukan sebuah buku tentang sejarah seni rupa Indonesia. Di dalamnya lebih tercermin bagaimana selera kolektornya, daripada gambaran dunia seni rupa kita dewasa ini. Yang harus disayangkan, ialah kalau buku-buku reproduksi karya seni rupa kita demikian langkanya, betapa bermanfaatnya andai minat menerbitkan buku ini juga disertai maksud memberikan gambaran bagaimana sebetulnya sejarah seni rupa kita. Apresiasi seni memang tak akan ada gunanya sama sekali tanpa menyuguhkan karya seninya itu sendiri. Tapi tanpa gambaran latar belakang sejarah seninya yang tentu saja melibatkan senimannya itu sendiri, akan sulit bagi seseorang untuk menjatuhkan pilihan: lukisan mana yang sebetulnya disenanginya. Bukankah salah satu tujuan apresiasi seni ialah memberikan keberanian agar orang mampu memilih mana yang disukainya dengan yakin? Bagaimanapun, sekali lagi, buku reproduksi koleksi Adam Malik yang disusun pelukis Lim Tjoe Ing ini terasa ada yang mubazir. Tahun pembuatan lukisan pun tak dicantumkan. Seperti terasa sebagai album pribadi yang kurang manfaatnya untuk disebarluaskan. Andaikata saja dilengkapi dengan garis besar perkembangan sejarah seni rupa Indonesia, mungkin belum terlambat untuk mencetak halaman tambahan berisi hal tersebut dan disisipkan pada buku seharga Rp 15 ribu ini. Tentu saja kalau Bung Adam setuju dan PT Intermasa, penerbitnya, juga, bermurah hati mencetak halaman tambahan. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus