SEGALA bla-bla-bla yang mencoba menerangkan sebuah karya seni
agar dipahami hadirin, agaknya lebih berhasil membuat hadirin
tambah binggung. Apresiasi karya seni, jalan paling efektif
rupanya hanya dengan menyuguhkan karya seninya itu sendiri.
Entah apakah pendapat tersebut yang selalu dipegang oleh
penyusun kumpulan reproduksi karya seni rupa, dua kumpulan
reproduksi karya seni rupa yang cukup tebal ternyata memang
hanya berisi reproduksi lukisannya itu sendiri plus riwayat
singkat pelukisnya: buku kumpulan reproduksi koleksi ir.
Soekarno, Presiden RI I, dan yang baru terbit awal Mei 1979,
adalah koleksi Adam Malik, Wakil Presiden RI sekarang.
180 reproduksi lukisan koleksi Adam Malik dari 70 lebih
pelukis Indonesia tertampung dalam buku setebal 231 halaman,
berkulit tebal dan berukuran 31 x 23« cm. Konon ini diseleksi
dari 500 lukisan koleksi Adam. Pantas saja, dilihat dari
bobotnya agaknya buku Lukisan-lukisan Koleksi Adam Malik ini,
lebih terpilih daripada koleksi Soekarno. Tapi mungkin juga
kesan itu disebabkan dominasi karya Sudjojono dan Hendra. Lebih
dari yang lain-lain, kedua pelukis itu mengisi buku ini dengan
19 dan 12 reproduksi lukisan. Sementara di keempat jilid buku
koleksi Soekarno diborong karya Basuki Abdullah.
Dan lagi karya Sudjojono beberapa memang di atas rata-rata mutu
karyanya. Ada Orkes yang melukiskan suasana pertunjukan orkes
dengan rasa humor. Ada Ketoprak yang melukiskan satu adegan di
panggung: seorang raja marah-marah kepada bawahannya -- dan
cobalah anda teliti, ternyata raja ketoprak itu memakai sepatu
kanvas. Ada Aku Cinta Padamu Tanah Airku yang menunjukkan betapa
kemampuan Sudjojono melukis realistis: dua anak muda membawa
senapan sedang menikmati pemandangan terang bulan dari sebuah
teras gedung megah. Tak ada semangat bombas di situ, seperti
kebanyakan lukisan perjuangan. Yang terasa, dua pejuang itu
agaknya merindukan zaman damai.
Adapun karya Hendra, meski tak ada karya semutu Mencari Kutu
atau Mengupas Petai karya tahun 50-an dulu, toh masih susah
dicari tandingnya dalam buku ini. Misalnya, Keluarga Hendra yang
menyuguhkan potret keluarganya dengan latar belakang kerumunan
orang-orang -- entah pasar atau apa. Ini bukan sekedar potret
keluarga, tapi dari lukisan yang berfokuskan wajah Hendra
sendiri ini rasanya tersusun sebuah cerita. Mungkin, cerita
tentang betapa dekatnya Hendra dengan anak-bininya.
Adam Malik agaknya memang tidak pemilih benar. Seperti kata
sambutan Sudarmadji, Direktur Balai Seni Rupa Jakarta, koleksi
Adam Malik "meliputi karya-karya pelukis kenamaan Indonesia
sampai pelukis yang baru muncul." Tapi entah kenapa karya-karya
Affandi, Srihadi, Zaini, Fadjar Sidik terasa kurang mewakili.
Dan nama-nama seperti Sadali, Pirous, Nashar ternyata sama
sekali tak ada.
Tapi ini memang buku reproduksi koleksi dan bukan sebuah buku
tentang sejarah seni rupa Indonesia. Di dalamnya lebih tercermin
bagaimana selera kolektornya, daripada gambaran dunia seni rupa
kita dewasa ini. Yang harus disayangkan, ialah kalau buku-buku
reproduksi karya seni rupa kita demikian langkanya, betapa
bermanfaatnya andai minat menerbitkan buku ini juga disertai
maksud memberikan gambaran bagaimana sebetulnya sejarah seni
rupa kita.
Apresiasi seni memang tak akan ada gunanya sama sekali tanpa
menyuguhkan karya seninya itu sendiri. Tapi tanpa gambaran latar
belakang sejarah seninya yang tentu saja melibatkan senimannya
itu sendiri, akan sulit bagi seseorang untuk menjatuhkan
pilihan: lukisan mana yang sebetulnya disenanginya. Bukankah
salah satu tujuan apresiasi seni ialah memberikan keberanian
agar orang mampu memilih mana yang disukainya dengan yakin?
Bagaimanapun, sekali lagi, buku reproduksi koleksi Adam Malik
yang disusun pelukis Lim Tjoe Ing ini terasa ada yang mubazir.
Tahun pembuatan lukisan pun tak dicantumkan. Seperti terasa
sebagai album pribadi yang kurang manfaatnya untuk
disebarluaskan. Andaikata saja dilengkapi dengan garis besar
perkembangan sejarah seni rupa Indonesia, mungkin belum
terlambat untuk mencetak halaman tambahan berisi hal tersebut
dan disisipkan pada buku seharga Rp 15 ribu ini. Tentu saja
kalau Bung Adam setuju dan PT Intermasa, penerbitnya, juga,
bermurah hati mencetak halaman tambahan.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini