Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pemimpin baru untuk sebuah era baru pemimpin baru untuk sebuah era baru.

Abdul rachman ramly diangkat menjadi dirut pertamina menggantikan joedo sumbono yang belum habis jabatannya. riwayat hidup abdul rachman ramly. subroto wawancara dengan tempo. (nas)

23 Juni 1984 | 00.00 WIB

Pemimpin baru untuk sebuah era baru  pemimpin baru untuk sebuah era baru.
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
ORANG yang beberapa menit yang lalu masih direktur utama Pertamina itu, Joedo Sumbono, tak mau banyak komentar. Kepada beberapa wartawan yang pekan lalu mengejarnya, di tingkat 10 gedung Departemen Pertambangan dan Energi yang baru, ia mengangkat tangannya. Ketika didesak, ia menutup mulutnya dengan telunjuk kanan. "Ssst . . . puasa nggak boleh omong," katanya kepada Zaim Uchrowi dari TEMPO. Lalu ia bergegas ke mobil. Sejak hari itu, resminya, ia berada dalam jabatannya yang baru, sebagai "staf ahli diperbantukan pada Menteri Pertambangan dan Energi". Sejak hari itu, ia tercatat dalam sejarah sebagai direktur utama Pertamina yang tersingkat masa jabatannya: baru tiga tahun, semenjak diangkat pada 20 April 1981. Timbul dugaan macam-macam kenapa tokoh yang punya hobi terbang ini - dan yang sudah seperempat abad bekerja di perusahaan minyak negara itu - tiba-tiba harus "mendarat". Maka, komentar tentang pemberhentian Jocdo Sumbono pun cukup banyak beredar. Dari Rachmat Witoelar, ketua Komisi VI DPR yang membidangi masalah pertambangan dan energi, misalnya. Dalam keterangannya kepada Sinar Harapan, sehari sebelum pelantikan, Rachmat dikutip mengatakan, sebagai kecaman tajam, bahwa "birokrasi di Pertamina yang selama ini seperti birokrasi kelurahan." Memberi contoh, ia berkata, "Orang mau ke luar negeri nggak boleh, mau ke sana nggak boleh. Jadi, hak-hak warga negara di Pertamina itu dipotong." Joedo Sumbono, kini 55 tahun, dengan gayanya yang khas, memang tak mudah memberi izin. Soalnya, ia ingin menegakkan disiplin dalam Pertamina, salah satu dari keempat tugasnya ketika ia oleh Presiden Soeharto ditunjuk sebagai orang pertama dalam perusahaan minyak dan gas bumi negara yang paling banyak disorot orang itu. Belum setahun menduduki jabatan penting itu, sudah lebih dari 100 karyawan Pertamina ditindak, karena dituduh melakukan manipulasi. Bahkan beberapa hari sebelum resmi dilantik, Joedo sengaja datang lebih pagi, dan berdiri di tangga gedung Pertamina yang mentereng itu, mengawasi siapa saja yang datang lewat pukul 07.30, jam masuk kantor. Otoriter? Banyak yang beranggapan begitu. Tapi menurut Joedo, soal disiplin itulah yang dianggapnya paling berat, dan paling dulu harus ditegakkan. Termasuk membatasi secara ketat orang Pertamina yang hendak ke luar negeri. Dalam ucapannya kepada majalah Eksekutif, dua tahun silam, ia menyatakan ingin menghilangkan citra buruk dari perusahaannya, terutama menghilangkan citra bahwa Pertamina ini adalah "perusahaannya orang royal, orang yang hidupnya mewah-mewah" Untuk menghilangkan ini, kata Joedo, ia hanya kembali "ke peraturan yang sudah ada". Apa itu? "Misalnya orang Pertamina yang pergi ke luar negeri, walaupun bayar sendiri, harus seizin dirut. Saya harus tahu, apa keperluannya di luar negeri, siapa yang membiayainya, dan sebagainya. Kalau dibiayai oleh saudaranya, saya meminta pernyataan dari saudaranya itu dan pernyataan tadi harus dilegalisir oleh kedutaan. Soalnya, bisa saja toh mengatakan dibiayai oleh saudaranya, padahal dibiayai cukong. Itu hanya sebuah contoh. Masih banyak lagi yang saya lakukan, sekadar kembali ke peraturan-peraturan yang ada. Ini memerlukan waktu. Tapi saya yakin, lama-lama kita semua akan mengerti dan terbiasa." Menteri Pertambangan dan Energi Subroto mengakui, "Dalam soal ingin menegakkan disiplin, Pak Joedo itu memang luar biasa," katanya. Namun, kata Subroto, "Mungkin cara yang ditempuh Joedo itulah yang dirasakan terlalu keras." Juga banyak yang bisa didelegasikan, hingga sang dirut tidak mengerjakan tugas seorang "Satpam", seperti kata seorang pejabat, "Berdiri di tangga kantor, memeriksa ruangan dan meja pegawai, dan lain-lain." Tapi penggantian Joedo Sumbono agaknva bukan karena ia suka bebenah, menegakkan disiplin dengan caranya itu. Juga, seperti kata Menteri Subroto, tak ada hubungan dengan manipulasi dana dan korupsi dalam tubuh perusahaan itu. Diduga, ia pergi karena kelemahannya di bidang pemasaran minyak ke luar negeri dan pengilangan - dua bidang yang kini dinilai paling lembek di Pertamina. Aba-aba untuk meningkatkan efisiensi pemasaran dan pengolahan sudah diayunkan oleh Presiden Soeharto, di depan segenap direksi dan dewan komisaris Pertamina di Istana Negara, 7 April lalu. Presiden meminta perhatian, agar segera dipikirkan cara-cara untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan ekspor minyak mentah, gas alam cair (LNG), dan BBM - termasuk penyediaan BBM untuk kebutuhan dalam negeri. Instruksi Presiden Soeharto memang mendasar sekali, meliputi seluruh sistem kerja di Pertamina. Presiden, yang rupanya menguasai betul permasalahan minyak, juga menginstruksikan agar dibentuk tiga kelompok kerja yang bertugas membuat tiga pola kerja untuk Pertamina. Pertama, pola pengadaan minyak, pengangkutan, dan distribusinya. Kedua, pola pemasaran minyak bumi itu sendiri. Ketiga, pola yang dapat meningkatkan secara optimal kemampuan kilang-kilang minyak di Indonesia. Sejumlah instansi resmi akan dilibatkan di situ: Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen Keuangan, BPPT, dan Pertamina sendiri, ditambah konsultan asing, seperti Arthur Young dan Price Waterhouse. Instruksi 7 April itu memang tak menyinggung bahwa akan ada pergantian dalam pucuk pimpinan Pertamina. Tapi beberapa saat sejak itu banyak kalangan sudah merasa bahwa Joedo Sumbono akan diganti. Apakah mundurnya Joedo akan diikuti oleh eksitnya sejumlah direktur Pertamina yang lain? Melihat pengalaman masa lampau, itulah yang akan terjadi. Baik ketika Ibnu Sutowo turun maupun ketika Piet Haryono melepaskan tongkat Pertamina kepada Joedo Sumbono, para direktur di bawahnya ikut pergi. Tentang kemungkinan pergantian kali ini, Menteri Subroto kepada TEMPO, Senin lalu, tak menjawab secara langsung. "Direksi Pertamina harus merupakan suatu kesatuan yang kompak. Dan pimpinan Pertamina yang baru, sebagai orang yang pertama, punya wewenang untuk memilih anggota direksi yang dapat menjamin kerja sama dengan direktur utama. Saya kira itu merupakan suatu kaidah manajemen yang sehat." Manajemen yang sehat, memang itulah yang sekali lagi diharapkan. Pertamina, yang pernah dihimpit utang segede US$ 10 milyar pada masa kepemimpinan Ibnu Sutowo, sampai sekarang dan kelak masih menjadi andalan utama untuk mengisi kas pembangunan negara. Dalam pidato pelantikan Abdul Rachman Ramly sebagai direktur utama Pertamina, Menteri Subroto memaparkan, betapa Indonesia masih amat tergantung dari minyak. "Di dalam tahun 1984-1985 ini, dari penerimaan devisa yang direncanakan US$ 19,8 milyar, 69,6%, atau US$ 13,8 milyar, diharapkan dari ekspor minyak dan gas bumi. Untuk tahun terakhir Repelita IV, yaitu tahun 1988-1989, di perhitungkan penerimaan devisa sekitar US$ 31,1 milyar, dan yang di harapkan masuk dari hasil ekspor minyak dan gas bumi US$ 20,3 milyar atau 65,2%," katanya. Demikian pula peranannya sebagai sumber utama penerimaan rupiah. Dari Rp 16,1 trilyun dalam APBN 1984-1985, target pajak penghasilan minyak dan gas bumi (LNG) saja mencapai 63,9% atau Rp 10,3 trilyun. Sedangkan pada tahun terakhir Repelita IV, jumlah itu akan menggelembung menjadi Rp 35,6 trilyun, dan andil minyak diperkirakan Rp 20,6 trilyun atau 57,8%. Tapi seperti diakui Subroto, pasaran minyak diperkirakan baru akan bernapas kembali mendekati tahun 1990. Setidaknya itu harapan para juru ramal ekonomi, yang menilai ekonomi dunia akan sehat kembali sekitar enam tahun lagi. Sayangnya, apa mau dikata, harga minyak sampai sekarang masih sakit-sakitan, sehingga Pertamina terpaksa menurunkan harga dua jenis minyaknya, Arun Condensate dan Duri, berlaku surut sejak 1 April lalu, masing-masing dari US$ 30,95 menjadi 29 per barel, dan US$ 27,85 menjadi 25,95 per barel. Sekalipun jenis Minas, yang menjadi patokan harga ekspor minyak Indonesia, masih tetap bertahan pada US$ 29 per barel, turunnya kedua jenis itu sedikit banyak akan mempengaruhi sasaran pajak perseroan minyak dalam tahun anggaran 1984-1985 yang Rp 8,8 trilyun. Maka, agak mengherankan kalau Rachmat Witoelar, seperti dikutip Sinar Harapan, menganjurkan agar harga ekspor yang US$ 29 per barel itu diturunkan menjadi US$ 24. Alasannya, katanya, "Kalau kita tidak bisa menjual sedikit dengan harga mahal, 'kan lebih baik menjual banyak dengan harga rendah." Siasat dagang "omset besar, untung per satuan kecil" itu memang sering terjadi untuk barang-barang konsumsi. Tapi dalam soal dagang minyak, andalan utama ekonomi Indonesia untuk menyediakan energi dan dana pembangunan, soalnya tak semudah itu. Apalagi minyak bukan sesepele itu. Piet Haryono, bekas dirut Pertamina yang kini memimpin kantor konsultan Asian Appraisal, melihat peranan minyak itu sebagai Jaminan untuk memperoleh utang-utang luar negeri. "Bagaimanapun, minyak itu merupakan kepercayaan luar negeri bahwa Indonesia akan bisa membayar kembali utang-utangnya." Sembari mengelus rambutnya yang makin putih, Piet Haryono berkata, "Nilai kekayaan minyak kita itu pasti lebih besar dari seluruh utang Republik." Piet juga melihat bahwa minyak bukan saja dibutuhkan untuk menghidupkan mesin industri subsitusi impor yang kini menjamur di Indonesia, tapi juga untuk menggerakkan industri dalam negeri yang tanpa impor, seperti pertanian yang membutuhkan pestisida, yang sumbernya berasal dari minyak bumi juga. Bekas dirut Pertamina yang kini juga anggota DPA itu menilai, Indonesia harus terus meningkatkan eksplorasi minyak, sekalipun pasaran dunia lagi kendur - tanpa perlu membanting harga, seperti yang terjadi di pasaran spot. Alasan Piet bisa dimengerti. Sekali Indonesia bermain di pasaran spot, yang kini umumnya di bawah harga kontrak, Indonesia akan rugi. Lebih celaka, sulit sekali mengeremnya. Lagi pula, keadaan pasaran minyak sekarang, dengan adanya pemboman tanker oleh Iran dan Irak di Teluk Persia, sudah banyak dimanfaatkan penjual, seperti Mesir dan Meksiko. Anehnya, Indonesia tak bisa memanfaatkan situasi pasaran yang sedikit pasang itu. Bahkan pada awal Juni ini, pasaran spot di Singapura dan Tokyo mencatat harga minyak dari Indonesia yang terus mengendur. Demikian pula volume ekspornya. Tapi yang mungkin akan memusingkan kepala Dirut Ramly adalah masalah yang kini dihadapi tiga kilang besar: Cilacap, Balikpapan, dan Dumai. Tujuan perluasan tiga kilang itu, tentu saja, adalah agar impor hasil minyak yang disebut middle destilates, dari Singapura, bisa dihentikan secara bertahap. Sampai sekarang cita-cita besar itu belum bisa diwujudkan. Di samping itu, menjadi salah satu tugas Dirut Ramly juga, untuk mengoperasikan kilang-kilang minyak yang lain seefektif-efektifnya. Menurut Subroto, dewasa ini Indonesia memiliki sembilan kilang minyak yang usianya beraneka ragam. "Dengan penentuan penggunaan jenis minyak yang tepat, mengoperasikan kilang-kilang baru dengan kapasitas penuh, pemeliharaan yang baik, diharapkan kilang-kilang dapat beroperasi dengan ongkos yang serendah-rendahnya dan hasil yang setinggi-tingginya," kata Subroto. Tak dijelaskan oleh Menteri apakah tugas berat itu akan bisa selesai dalam masa kepemimpinan Ramly yang lima tahun. Tapi, kabarnya, kilang Balikpapan, yang perluasannya menelan biaya besar, sampai sekarang baru berproduksi dengan 75% dari kapasitasnya. Sedangkan ekspansi kilang Cilacap yang selesai 4 Agustus tahun lalu, meskipun lebih cepat dari jadwal yang direncanakan, baru mencapai kapasitas produksi 80%. Lalu, pembangunan kilang hydrocracker Dumai, yang juga sudah diresmikan oleh Presiden, konon belum setaraf kilang Cilacap dan Balikpapan, yang masing-masing bernilai US$ 1,5 milyar itu. Ada kekhawatiran bahwa Indonesia akan kalah merebut momentum untuk kelak memasarkan hasil-hasil minyaknya di pasaran luar negeri. Beberapa anggota OPEC, seperti Kuwait, Arab Saudi, dan Persatuan Emirat Arab, diam-diam sudah terjun ke dalam dunia industri produk minyak, antara lain dengan membeli beberapa perusahaan pengilangan di Eropa dan AS. Mereka bersaing untuk menjual produknya itu, di luar pasaran tradisionalnya. Kalangan pengilangan di Asia yang dihubungi koran The Asian Wall Street Journal kabarnya sudah mulai merasa terancam, karena sejumlah besar hasil-hasil minyak diduga akan masuk ke pelabuhan Singapura dari berbagai pengilangan Arab Saudii yang baru. Dari mana Dirut Ramly akan memulai operasinya, ia tentu butuh waktu. Tapi kalangan minyak asing, yang tampaknya senang dengan pengangkatan Ramly, mengatakan bahwa paling tidak, "Dia sudah harus mempunyai suatu tim direksi yang kompak, dalam satu dua bulan ini, untuk mengejar ketertinggalan di bidang pemasaran minyak, dan efisiensi pengilangan." Karena itu, agaknya, suara tentang beberapa pergeseran di kalangan staf Direksi Pertamina tak patut diabaikan begitu saja. Ramly, setidak-tidaknya, memang membutuhkan tim yang utuh untuk mendukung kebijaksanaannya, atau langkah-langkah yang banyak diharapkan bakal di ambilnya dalam waktu singkat mendatang. Beberapa sumber minyak yang dihubungi TEMPO menilai, direktur utama yang baru itu perlu diberi keleluasaan untuk bergerak, sepanjang ia menjalankan mandat yang diberikan oleh dewan komisariis. "Direksi sebaiknya jangan terlalu banyak dicampuri sehingga ia merasa sulit bergerak," kata seorang pejabat minyak. Suasana yang seperti itu agaknya dirasakan juga oleh Piet Haryono sewaktu ia memimpin Pertamina. Agaknya, kemelut utang besar yang terjadi pada masa Ibnu Sutowo, memaksa banyak pejabat ekuin turun tangan untuk membantu Pertamina. Semangat itu masih belum hilang benar sampai sekarang. Lebih-lebih karena pada masa sebelum Ramly, hubungan antara direksi dan dewan komisaris tak bisa dibilang berjalan lancar benar. Tapi, bagaimanapun, seperti kata Piet Haryono, "Perlu ada kerja sama yang sehat dan baik antara direksi dan dewan komisaris." Utang besar Pertamina pada masaJoedo berkuasa memang dapat ditekan hingga tinggal sekitar US$ 600 juta. Bahkan, menurut laporan Bank Indonesia, utang pokoknya kini boleh dikatakan sudah lunas. "Cuma bunganya, yang kemudian berbunga lagi, masih menjadi soal," kata seorang pejabat ekonomi. Tapi mengingat Pertamina adalah perusahaan negara, "Ya, hal itu sementara akan didiamkan saja." Pejabat itu tak bersedia mengatakan berapa bunga utang Pertamina kepada Bank Indonesia itu. "Pokoknya, banyak, deh," katanya. Dua tahun lalu, utang bunga itu saja mencapai Rp 578 miIyar. Konon, utang bunga itu sekarang mencapai dua kali lipat dari jumlah itu. Salah satu yang mungkin akan bisa memperkecil utang Pertamina adalah dengan menciutkan lagi usaha anak-anak perusahaannya, yang bisa dianggap tak langsung berurusan dengan tugas utamanya: mencari dan mengolah minyak. Perusahaan penerbangan Pelita dan usaha perkapalan, umpamanya, bisa saja dipisahkan dari induk Pertamina, seperti yang terjadi dengan PT Krakatau Steel misalnya. Riwayat utang besar itu, bagaikan resesi dunia, rupanya belum terhapus benar dari wajah Pertamina. Tapi justru karena itu suatu era baru harus lahir dari manajemen Pertamina - suatu manajemen yang bergerak rapi bukan sekadar bergerak tapi tidak rapi, bukan pula amat rapi tak bergerak. Dan orang pun berdoa untuk Ramly.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus