Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kabar sektor pendidikan bakal terkena kebijakan PPN 12 persen membuat orang tua murid gelisah.
Tak semua lembaga pendidikan bertaraf internasional berdiri di kawasan ekonomi khusus sehingga tak bisa dikategorikan komersial.
Kementerian Pendidikan tengah membahas perihal rencana penerapan PPN 12 persen di sekolah internasional.
Linda Tan gelisah membaca kabar pemerintah bakal mengenakan pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen untuk jasa pendidikan, terutama bagi sekolah-sekolah bertaraf internasional. Ia mengaku tak tenang karena kebijakan itu pasti berdampak pada biaya pendidikan anaknya di Global Primary School, Bekasi, Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Otomatis pengeluaran dan biaya juga akan bertambah,” kata Linda saat ditemui di Jakarta Timur, Senin, 23 Desember 2024. Ia mengatakan tak semua orang tua murid yang menyekolahkan anaknya di sekolah berstandar internasional merupakan kelompok ekonomi atas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Linda pun berharap pemerintah mengkaji ulang dan membatalkan rencana memberlakukan kenaikan pajak itu untuk sektor pendidikan. Ia khawatir pengenaan PPN 12 persen ini bakal berdampak pada sepinya minat orang tua menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah internasional hingga potensi hengkangnya sekolah karena alasan beban pajak yang tinggi.
“Kalau sekolah internasional tutup, sulit anak-anak kita mendapat pendidikan yang lebih berkualitas,” ujar pemilik toko emas di bilangan Jatinegara, Jakarta Timur, itu.
Polemik penerapan PPN 12 persen berawal dari pengumuman pemerintah oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Ia mengatakan penetapan PPN itu merupakan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau HPP dan telah sesuai dengan jadwal yang ditentukan, yaitu mulai berlaku pada 1 Januari 2025.
Mantan Ketua Umum Golkar itu menyebutkan kenaikan akan menyasar tarif pajak terhadap penggunaan barang mewah alias premium. Kelompok barang mewah tersebut seperti barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan.
Mengacu pada definisi dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, kelompok barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan merupakan kelompok yang semestinya masuk kategori bebas PPN.
Contohnya daging dalam konteks kelompok barang kebutuhan pokok. Namun nantinya daging wagyu dan kobe masuk kelompok barang kebutuhan pokok yang dinilai premium atau terkena tarif pajak baru. Sementara itu, untuk kelompok jasa kesehatan, pasien yang memilih layanan VIP juga bakal dikenai PPN 12 persen. Pengenaan tarif pajak yang sama juga menyasar sektor jasa pendidikan, terutama sekolah berstandar internasional.
Ilustrasi pendaftaran masuk perguruan tinggi. ANTARA/Dewi Fajriani
Pemerintah beralasan penerapan PPN 12 persen ini merupakan upaya pemerintah menjaga daya beli masyarakat. Selain itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pengenaan PPN yang baru ini untuk menstimulasi perekonomian melalui pelbagai paket kebijakan ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan. Salah satunya melalui sisi perpajakan.
Sri Mulyani mengatakan pajak merupakan instrumen penting bagi pembangunan sehingga keputusan menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen dilakukan dengan mengutamakan prinsip keadilan dan gotong royong agar kelompok masyarakat mampu membayar pajaknya sesuai dengan kewajiban, serta mereka yang tidak mampu akan dilindungi dan diberi bantuan. “Di sinilah prinsip negara hadir,” ucap Sri Mulyani di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian pada Senin, 16 Desember 2024.
Dia mengklaim kenaikan tarif PPN 12 persen juga dilandaskan pada prinsip mengedepankan keberpihakan kepada masyarakat. Sebab, tidak semua kelompok akan terkena tarif pajak baru ini.
Sri Mulyani menyebutkan kelompok barang atau jasa yang dikenai PPN 12 persen adalah kelompok yang dikategorikan sebagai premium, seperti makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan berstandar internasional yang berbiaya mahal. “Untuk barang seperti tepung terigu, gula untuk industri, dan minyak goreng curah, beban kenaikan PPN 1 persen akan dibayar pemerintah,” tuturnya.
Protes kenaikan PPN 12 persen pun merebak di mana-mana. Di media sosial, penolakan ini ramai dibicarakan di aplikasi X. Sekelompok anak muda, dari kelompok perempuan, mahasiswa K-popper, wibu, sampai gamer pun mendatangi kantor Sekretariat Negara untuk menyatakan penolakan terhadap kebijakan ini.
Mereka datang ke Setneg untuk menyerahkan petisi yang diinisiasi oleh Bareng Warga berjudul “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!” serta tagar #PajakMencekik dan #TolakKenaikanPPN. Hingga kemarin, petisi ini telah ditandatangani 2.384 orang.
Mereka menyebutkan, jika kenaikan PPN diterapkan, daya beli akan tertekan, beban hidup bertambah, dan UMKM bakal terpukul.
Protes juga datang dari Senayan. Anggota komisi bidang pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat, Bonnie Triyana, meminta pemerintah mengkaji ulang rencana penerapan tarif PPN 12 persen bagi jasa pendidikan. Ia mengatakan institusi pendidikan tak semestinya dikenai tarif pajak, baik institusi pendidikan nasional maupun internasional.
Menurut Bonnie, tidak semua orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah internasional merupakan kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi lebih dari cukup. “Saya berharap PPN 12 persen untuk bidang pendidikan dibatalkan saja,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Anggota lain komisi bidang pendidikan DPR, Ledia Hanifa Amaliah, mengatakan hal serupa. Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menyebutkan pada dasarnya prinsip pendidikan adalah nirlaba, meski pada praktiknya berkata lain. Namun keputusan untuk menerapkan tarif PPN 12 persen terhadap lembaga pendidikan internasional tak semestinya dilakukan. Sebab, Undang-Undang Cipta Kerja telah mengatur sekolah mana yang masuk kategori komersial. “Yang jelas, yang dikategorikan sebagai komersial itu adalah sekolah yang dibangun di kawasan ekonomi khusus,” ujar Ledia.
Jadi ia meminta pemerintah mengkaji ulang rencana penetapan tarif PPN 12 persen kepada sekolah internasional. Sebab, tidak semua sekolah internasional berdiri di kawasan ekonomi khusus. Ledia menyebutkan pemerintah juga harus mengkaji ulang manfaat penarikan PPN 12 persen ini agar sekolah domestik yang membutuhkan dapat menerima bantuan sesuai dengan fungsinya. “Tapi jangan semua hal merembet ke pendidikan, itu tidak boleh. Harus ada aturan yang jelas mengenai sekolah internasional ini,” tuturnya.
Pengunjung pameran perguruan tinggi di gedung JHK Kudus, Jawa Tengah, 4 Januari 2023. ANTARA/Yusuf Nugroho
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti mengatakan Kementerian Keuangan masih akan membahas kriteria atau batasan penerapan PPN 12 persen di lingkungan pendidikan secara hati-hati dengan pihak terkait.
Tujuannya agar penerapan tarif PPN 12 persen ini dapat dilakukan secara tepat sasaran atau hanya dikenakan kepada kelompok masyarakat kategori sangat mampu. “Kebutuhan barang atau jasa pada kelompok kesehatan atau pendidikan masih bebas PPN pada 1 Januari 2025 sampai diterbitkannya peraturan terkait,” ucap Dwi.
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza Ul Haq, pada Senin, 23 Desember 2024, mengatakan Kementerian Pendidikan saat ini tengah membahas di lingkup internal ihwal penerapan PPN 12 persen pada kelompok jasa pendidikan.
Dia melanjutkan, Kementerian Keuangan masih meminta pertimbangan kepada Kementerian Pendidikan ihwal penerapan ini. “Kami juga sudah melakukan beberapa pengkajian dan diskusi dengan Wakil Menteri Keuangan tentang hal ini. Dalam prosesnya, kami masih menunggu pembahasan lagi,” katanya.
Riza juga mengatakan sampai saat ini Kementerian Pendidikan belum mensosialisasi apa pun kepada sekolah-sekolah ihwal rencana penerapan tarif PPN 12 persen. Menurut dia, Kementerian dan pemerintah masih menampung aspirasi masyarakat guna menentukan keputusan apa yang akan diambil. “Belum (dilakukan imbauan kepada sekolah yang menolak penerapan tarif PPN 12 persen),” ujarnya.
Tempo belum memperoleh tanggapan dari sejumlah sekolah internasional mengenai rencana penerapan tarif PPN 12 persen di institusi pendidikan internasional. Pesan pertanyaan yang dikirim ke alamat surat elektronik [email protected] (Monas University Indonesia), [email protected] (German School Jakarta), dan [email protected] (Binus School) hanya berbalas pesan bahwa pertanyaan tengah diteruskan kepada pihak berwenang untuk memberi jawaban.
Sementara itu, seorang staf Global Primary School, Bekasi, yang tak ingin disebutkan namanya, mengatakan rencana penerapan tarif PPN 12 persen kepada sekolah internasional belum dibahas pihak sekolah. “Kegiatan belajar-mengajar sedang diliburkan sehingga tidak banyak aktivitas,” katanya.
Pengajar di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, mengatakan rencana menarik PPN 12 persen kepada lembaga pendidikan, baik internasional maupun nasional, merupakan hal yang pelik. Menurut dia, pendidikan merupakan hak asasi semua manusia sehingga tidak etis jika dikomersialisasi dengan menerapkan pajak yang tinggi kepada lembaga pendidikan. Sebab, besaran pajak tersebut berdampak pada terciptanya komersialisasi pendidikan. “Idealnya, sektor pendidikan itu bebas pajak,” tutur Edi.
Dia berharap pemerintah membatalkan rencana penerapan tarif PPN bagi sektor pendidikan. Alasannya, keberadaan sekolah internasional sedikit-banyak telah membantu anak-anak Indonesia memperoleh pendidikan yang lebih berkualitas dalam meningkatkan daya saing di masa mendatang. “Kalau tempat yang berkualitas saja dipungut pajak tinggi, ya, bagaimana mau menciptakan generasi emas,” ucapnya.
Pemerhati pendidikan Doni Koesoema mengatakan penerapan tarif PPN 12 persen bagi lembaga pendidikan harus dilakukan dengan amat selektif apabila akan direalisasi pada Januari mendatang.
Menurut Doni, apabila penarikan pajak terhadap sekolah internasional dilakukan untuk mengembangkan sekolah domestik, baik dari fasilitas maupun tenaga pendidik, hal tersebut tak sepenuhnya dapat dipandang negatif.
“Tapi, kalau ternyata diterapkan di semua sekolah internasional, bahkan yang berbasis yayasan, itu saya rasa tidak boleh,” ujarnya. Doni beralasan sekolah internasional yang didirikan kelompok atau yayasan mengambil iuran tinggi untuk mengembangkan sumber daya. “Bukan seperti sekolah internasional yang hanya mencari laba.” ●
Septia Ryanthie dari Surakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo