Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Penggabungan sejumlah lembaga pemerintah nonkementerian ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) belakangan menjadi sorotan. Salah satunya karena berdampak pada nasib para peneliti honorer yang diberhentikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Namun, tidak demikian dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Lembaga yang turut dilebur ke BRIN ini tidak mengalami gonjang-ganjing pemberhentian sejumlah peneliti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“LAPAN dari dulu sangat lurus dan mengikuti aturan. Tidak pernah ada rekrutmen honorer periset,” kata peneliti Lapan, Erma Yulihastin, kepada Tempo, Selasa, 4 Januari 2021.
Erma mengatakan, lembaganya memang mempekerjakan pegawai pemerintah nonpegawai negeri (PPNPN). Namun, kebanyakan adalah supir hingga petugas keamanan, bukan tenaga periset.
Saat ini, Erma belum mendapatkan SK penempatan sejak LAPAN dilebur ke BRIN. Tetapi, hal itu tidak berdampak pada penelitian yang sedang dikerjakan. Sebab, para peneliti bekerja berdasarkan sasaran kinerja pegawai (SKP) yang dirancang dalam setahun.
“Kerja kita menuntaskan target SKP tersebut, mau penempatan ada atau tidak. SKP itu kan mengikat peneliti,” kata peneliti klimatologi di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN ini.
Menurut Erma, para peneliti justru semakin solid dengan adanya penggabungan ke BRIN. Pasalnya, ketika mengajukan proposal riset, ia dan timnya tidak kesulitan mencari pakar. Erma yang semula tidak mengenal periset di luar lembaganya, kini bisa merekrut orang dari jaringan di BRIN.
Dulunya, kata Erma, situasi tersebut sulit dilakukan. Ia menyebut dirinya seperti katak dalam tempurung karena banyak rekan-rekannya yang minim kualitas. Yang berpendidikan S-3 juga bisa dihitung jari. Akibatnya, diskusi ilmiah tidak berjalan. “Jadi diskusinya pun searah, enggak ada feedback yang sepadan. Tidak ada sparring partner, mana bisa maju dunia riset kita,” ujarnya.
Alumni ITB ini menilai, kehadiran BRIN cukup revolusioner dan memberikan solusi. Peneliti yang belum S-3 kini diminta untuk belajar lagi, bahkan tak perlu mendaftar beasiswa. Sebab, kata Erma, BRIN akan mendanai dan menawarkan skema degree by research, sehingga peneliti yang sedang S-3 tidak perlu berhenti dari kerjanya.
Selain itu, Erma menyampaikan peneliti senior yang sudah di atas 50 tahun pun bisa mengambil S-3. “Dulu kan kepentok usia, sebab semau beasiswa ada maksimal usia kalau lanjut sekolah,” katanya.
Erma juga mengapresiasi adanya ragam apresiasi bagi para peneliti. Salah satunya, peneliti yang produktif dan bisa menghasilkan 5 publikasi internasional dalam setahun, bisa mengajukan asisten riset non-PNS dan merupakan mahasiswa S-2 atau S-3 aktif.
Juga ada kuota postdoc di mana periset luar negeri bisa bekerja di BRIN, namun peneliti di Indonesia tetap menjadi pemimpinnya. Dampaknya, periset dalam negeri pun bisa sejajar dengan periset asing. “Ekspedisinya mau bawa misi apa, kita yang tentukan. Ini beda jauh dengan dulu-dulu.”
Bagi Erma, cara yang ditempuh BRIN memang nampak cepat, sehingga orang yang tidak siap keluar dari zona nyaman akan terganggu. Ia menilai, pada setiap transisi, yang paling tidak siap adalah orang-orang mapan yang ingin mempertahankan kekuasaan. Adapun periset muda yang energik dan berkualitas, Erma yakin mereka optimistis dengan BRIN.
Ia berharap BRIN konsisten dan berpijak pada prinsip dan langkah yang konkret sekaligus visioner. “Tidak berubah arah dan tidak berpijak pada pondasi yang politis dan pragmatis,” ujar dia.
FRISKI RIANA
Baca: 4 Bulan Gabung ke BRIN, Periset BPPT Belum Dapat Penempatan Kerja