Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada Kamis, 2 Januari 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menghapus ketentuan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen sesuai putusan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024. MK mengabulkan permohonan para pemohonan tentang penghapusan presidential threshold.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Suhartoyo, saat membacakan putusan, pada 2 Januari 2025.
Penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ini membuat setiap partai politik dapat mengajukan calonnya tanpa harus membuat koalisi partai. Selain itu, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Keputusan MK yang menghapus presidential threshold tersebut mendapatkan tanggapan dari peneliti Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial atau Center for Law and Social Justice (LSJ), Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM), Markus Togar Wijaya.
Ia menyampaikan, putusan MK tersebut sebenarnya telah melalui perjalanan panjang karena telah diuji lebih dari 30 kali. Namun, putusan tersebut selalu berakhir pada penolakan.
“MK menilai bahwa ketentuan tersebut adalah kewenangan dari pembentuk undang-undang atau UU (open legal policy). Baru, di putusan nomor 62/PUU-XXII/2024 yang kemarin dibacakan, MK nampaknya bertindak melampaui pemikiran formalismenya, utamanya dalam pertimbangan soal pelanggaran moralitas,” kata Markus kepada Tempo.co, pada Ahad, 5 Januari 2025.
Markus juga menyampaikan, langkah MK yang menghapus presidential threshold setelah 30 kali pengujian merupakan tindakan berani.
“Menurut saya keputusan ini baik karena MK berani beranjak dari sudut pandang formalismenya setelah kurang lebih 30 kali pengujian. Namun, di satu sisi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, dari segi implementasinya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Markus menyampaikan dua hal tentang pengaruh penghapusan presidential threshold 20 persen tersebut terhadap demokrasi di Indonesia. Pertama, angin segar bagi demokrasi.
“Pertama, penghapusan tiket 20 persen menjadi angin segar untuk demokrasi. Mengapa? Sebab persoalan koalisi besar partai-partai (kartelisasi politik) itu berawal dari threshold 20 persen. Artinya, jika MK menghapus threshold tersebut, maka masalah kartelisasi politik bisa saja jadi minim karena semua capres cawapres diberi jalur start yang sama,” ujar Markus.
Kedua, banyaknya calon presiden dan wakil presiden yang akan mengikuti kontestasi di Pilpres kelak perlu mendapatkan perhatian lebih tinggi. Bentuk perhatian ini dapat dilakukan dengan melakukan rekayasa konstitusional oleh pembentuk UU.
“Kedua, perlu diperhatikan soal banyaknya calon yang akan berlaga di kontestasi pilpres nantinya. Sebagai negara multi-partai, perlu diperhitungkan jumlah pasangan capres dan cawapres. MK sudah memberikan pedoman dalam putusan itu agar pembentuk UU melakukan rekayasa konstitusional,” kata Markus.
Markus menekankan, implementasi penerapan keputusan MK tentang penghapusan presidential threshold harus dikawal dengan baik. Pengawalan ini dilakukan untuk menghilangkan dominasi politik tertentu.
“Saya kira, saat ini kita harus kawal implementasinya (penghapusan presidential threshold), terutama dalam hal menghilangkan dominasi politik tertentu atau intervensi dari tangan-tangan di balik layar,” kata Markus, menegaskan
Raihan Muzzaki turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Ramai-ramai Tanggapi Putusan MK Hapus Presidential Threshold: Apa Kata Yusril Ihza, Mahfud Md, hingga Perludem
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini