Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan sejak 2009, narasi soal memperkuat sistem presidensial selalu digaungkan di Indonesia. Hal ini menjadi salah satu aspek penyumbang regresi demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Narasi tersebut seolah menjadi sesuatu yang harus direalisasikan agar pemerintah bisa berjalan efektif. "Tapi ternyata, memperkuat sistem presidensial tidak sama dengan memperkuat presiden. Sebab secara teori, presiden itu memang sudah kuat," ujar Titi dalam diskusi daring pada Ahad, 3 Oktober 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun sejatinya, sistem presidensial memang diperkuat. Alasannya, kata Titi, walaupun presiden dan DPR terpisah dan tidak tergantung satu sama lain, keduanya perlu membuat banyak kesepakatan untuk menjalankan pemerintahan.
Di sisi lain, penguatan sistem presidensial harus selaras dengan menjamin semua kelompok masyarakat memiliki representasi di proses pengambilan keputusan politik. "Hal ini untuk mengurangi kemungkinan munculnya penyakit bawaan sistem presidensial yakni tendensi mayoritas, di mana mestinya kelompok yang bersedia menjadi penyeimbang sedapat mungkin juga terwakili secara formal. Nah di sinilah distorsinya muncul," ucap Titi.
Sementara yang terjadi justru adalah adanya orientasi pada individu dalam sistem residensial, sehingga kekuataan penyeimbang menjadi lemah. Hal itu terjadi, kata Titi, karena konstribusi dari desain pemilu yang terus melanggengkan barriers to entry dan kesamaan politik.
"Jadi presiden perlu dukungan yang baik, efektif dari parlemen. Tapi kemudian untuk menghindari tendensi mayoritas semestinya kekuatan politik beragam juga diwadahi parlemen. Ini yang tidak tersedia," kata Titi.
Presiden hanya dilihat sebagai persona, yakni orang baik dan harus diperkuat dalam kapasitas individunya, yang berimbas munculnya gagasan perpanjangan masa jabatan.
Menurut Titi yang semakin parah adalah ketika keragaman politik yang seharusnya diwadahi secara formal, tidak disediakan. Ruang-ruang politik inklusif juga semakin dipersempit oleh mereka yang terafiliasi dengan pemerintah.
Selain itu hal yang menjadi momok politik Indonesia saat ini yakni polarisasi politik yang dilanggengkan oleh sistem dan perilaku politik elit, sehingga berdampak kepada kultur kewarganegaraan yang melemah.
"Jadi kalau 2009 kita masih punya tiga pasangan calon presiden, di 2014, 2019, menjadi hanya dua dan itu terus dilanggengkan. Orientasinya lagi-lagi ke individu. Ketika warga negara kritis atau menjadi terlibat dalam proses menilai kinerja, itu daya kritisnya bukan berdasar gagasan tapi kepada afiliasi politik," ujar Titi.
Selain itu paska amandemen konstitusi, partai politik semakin dominan dalam pengisian posisi politik dan juga kelembagaan negara. Tetapi di saat yang sama, uang menjadi determinan, di mana pembiayaan partai politik masih bergantung pada segelintir orang.
Menurut Titi, hal itu menimbulkan ketergantungan pada figur dan mengurangi kemandirian dalam menjalankan fungsi partai.
"Satu sisi keran akses partai politik pada posisi publik dibuka besar, tapi di sisi lain partai politik dikelola secara tidak demokratis. Ini membuat ketika rekrutmennya elitis dan lemahnya kaderisasi, makin langgeng politik dinasti dan penguasaan segilintir orang dalam pengelolaan partai," kata Titi. Imbasnya adalah berkontribusi dengan semakin kuatnya oligraki.