Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGUNDANG sejumlah organisasi masyarakat sipil di Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan, akhir Maret lalu, tim hubungan masyarakat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mengungkapkan kegusaran mereka. Pasalnya, hari-hari itu Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan sedang gencar disosialisasi kepada publik. Jika aturan itu disahkan, BPJS Kesehatan bakal turun kasta dari semula di bawah presiden menjadi anak buah Menteri Kesehatan.
Persamuhan empat jam pada bulan Ramadan itu dihadiri Asisten Deputi Komunikasi Publik dan Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan Agustian Fardianto dan tiga anak buahnya. Tetamunya adalah peneliti sejumlah lembaga, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) serta lembaga penelitian dan advokasi kebijakan, The Prakarsa.
Awalnya diskusi membahas iuran jaminan kesehatan masyarakat miskin yang dibiayai negara. Lalu tim lembaga jaminan sosial menyinggung substansi RUU Kesehatan. “Diskusi informal dan membahas kekhawatiran soal pengaturan BPJS Kesehatan dalam RUU Kesehatan,” kata Koordinator Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi ICW Almas Ghaliya Putri Sjafrina menceritakan isi pertemuan itu, Jumat, 26 Mei lalu.
Petugas Kebijakan Sosial The Prakarsa, Darmawan Prasetya, yang turut hadir dalam diskusi, bercerita, ada sejumlah pandangan yang mengemuka apabila BPJS Kesehatan berada di bawah kewenangan Kementerian Kesehatan. Salah satunya potensi konflik kepentingan. “Rumah sakit dan BPJS Kesehatan sama-sama diawasi oleh Kemenkes,” ujar Darmawan, April lalu.
Ada kekhawatiran independensi BPJS sebagai badan hukum publik juga akan tergerus. Segala urusan pengelolaan jaminan kesehatan bakal terpusat di kementerian yang dipimpin oleh Budi Gunadi Sadikin itu.
BPJS Kesehatan tak cuma sekali itu melobi lembaga swadaya masyarakat. Pelbagai organisasi lain pun mereka temui di Cikini, Jakarta Pusat, bulan lalu. Asisten Deputi Komunikasi Publik dan Humas BPJS Kesehatan Agustian Fardianto tak membantahnya. “Tak khusus membahas RUU Kesehatan, tapi juga berbagai pencapaian BPJS Kesehatan,” kata Agustian di kantornya, Jumat, 26 Mei lalu.
Petinggi BPJS pun menyambangi sejumlah anggota Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka meminta pasal 7 yang mengatur penurunan posisi lembaga tersebut dicabut. Lobi berjalan sejak RUU Kesehatan dibahas di Badan Legislasi DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron mengaku berkomunikasi dengan banyak pihak untuk mempertanyakan urgensi pembentukan RUU Kesehatan. Menurut Ali, BPJS sudah memiliki payung hukum yang kuat. “BPJS sudah diatur di Omnibus Law Cipta Kerja dan Omnibus Law Keuangan,” ucapnya saat ditemui di DPR, awal April lalu.
Anggota Komisi Kesehatan dari Fraksi Partai NasDem, Irma Suryani Chaniago, mengkonfirmasi ada pertemuan-pertemuan santai dengan BPJS. Diskusi itu berlangsung di luar agenda rapat dengar pendapat. “Kami melakukan diskusi secara informal,” kata Irma.
Baca: RUU Kesehatan Titipan Siapa?
Di kalangan organisasi profesi kesehatan, pembahasan RUU Kesehatan juga menghangat. Melalui grup WhatsApp “Sekretariat Bersama”, kelompok penentang omnibus law kesehatan yang dipimpin Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merencanakan demonstrasi besar dan mogok praktik. Sejak awal Mei, IDI meminta pembahasan RUU Kesehatan disetop.
“Kalau tak dihentikan, para dokter akan turun ke jalan dan menutup sementara praktik pribadi,” tutur Iqbal Mochtar, pengurus IDI Bidang Departemen Dokter Luar Negeri, saat dihubungi Tempo.
IDI menolak omnibus law kesehatan karena peran sentral lembaga itu bakal terpangkas. Dalam pasal yang mengatur organisasi profesi, IDI tak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi kedokteran. Peran IDI pun menciut karena Kementerian Kesehatan bakal mengambil alih pengaturan pendidikan kedokteran serta penerbitan surat tanda registrasi dan izin praktik.
Iqbal mengaku mendapat informasi bahwa pembahasan RUU Kesehatan dikebut dan akan disahkan pada pertengahan Juni mendatang. Kabar itu membuat pengurus IDI bergegas menemui sejumlah partai politik pendukung pemerintah serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md.
Anggota Komisi Kesehatan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Kurniasih Mufidayati, menampik jika lembaganya disebut akan mengegolkan RUU Kesehatan dalam waktu kilat. “Pembahasan pasal di Daftar Inventarisasi Masalah baru 70 persen,” ujarnya, Rabu, 24 Mei lalu. Ia mengklaim pembahasan berjalan transparan dan berjanji menampung aspirasi semua pihak.
Baca: Dokter Rusia tanpa Stetoskop
Upaya menyetop pembahasan RUU Kesehatan juga mencuat di kalangan perawat. Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhilah berkirim surat kepada sejumlah ketua umum partai untuk menyampaikan keberatan mereka. Misalnya kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Isi surat itu menyatakan para perawat khawatir aturan tersebut akan menghapus Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan yang telah eksis hampir satu dasawarsa. “Kami khawatir kekuatan hukum yang melindungi profesi perawat melemah karena nanti hanya akan diatur di aturan turunan undang-undang,” kata Harif melalui telepon pada Jumat, 26 Mei lalu.
Diam-diam, PPNI juga memantau jalannya pembahasan omnibus law yang digelar Panitia Kerja DPR. Pada 2 Mei lalu, PPNI mendapati rapat akan dihelat besoknya di Hotel Sheraton, Jakarta Selatan. Bersamaan dengan pembahasan itu, PPNI menggelar konferensi pers di tempat yang sama. “Mereka rapat di lantai atas, kami menolaknya di lantai bawah,” ucap Harif.
Ribuan tenaga kesehatan melakukan aksi damai menolak RUU Kesehatan di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, 8 Mei 2023. Tempo/Subekti
Di media sosial, organisasi penentang RUU Kesehatan rajin berkoar-koar dengan tagar seperti “Stop RUU Kesehatan”. Para dokter dan tenaga kesehatan diajak mengunggah tagar serupa untuk meramaikan penolakan. Mereka disebut memiliki tim digital yang terus mengapungkan penolakan di jagat maya. "Semua kampanye muncul dari bawah," tutur Iqbal Mochtar.
Baca: Diskriminasi terhadap Dokter Diaspora yang Pulang
Organisasi nonprofit, Center of Indonesia’s Strategic Development Initiatives atau CISDI, menyoroti pembahasan di DPR yang berjalan tertutup. Chief Executive Officer CISDI Diah Setyani Saminarsih mengatakan organisasinya berkali-kali meminta DPR menggelar rapat terbuka untuk membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan.
Hingga Jumat, 26 Mei lalu, permohonan tersebut tak mendapat respons. “Kami sudah mengirim surat secara personal ataupun secara formal ke Komisi Kesehatan,” kata Diah kepada Tempo di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 25 Mei lalu.
CISDI ikut menyusun tiga DIM rekomendasi untuk RUU Kesehatan. Mereka mempersoalkan isu gender dan kelompok rentan, kader kesehatan, serta layanan kesehatan primer. Organisasi tersebut mendorong pemerintah dan DPR agar membahas substansi RUU Kesehatan secara terbuka.
Saat makan malam bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin awal tahun ini di rumah dinas menteri, CISDI menyampaikan agar penyusunan RUU Kesehatan melibatkan partisipasi publik. Anggota Komisi Kesehatan DPR dari Fraksi Gerindra, Putih Sari, mengklaim DPR akan membuka audiensi. "Kami akomodasi semaksimal mungkin," ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Hussein Abri Dongoran berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menara Pemancar Tembus ke Partai"