Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Pasal Tembakau di Omnibus RUU Kesehatan

Pemerintah setengah hati mencantumkan pasal tembakau dalam omnibus RUU Kesehatan. Pasal bisa hilang lagi.

28 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM juga Rancangan Undang-Undang atau RUU Kesehatan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat, Hasbullah Thabrany sudah mewanti-wanti Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin awal tahun ini. Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau itu meminta Budi lebih ketat mengendalikan konsumsi rokok dan melarang iklan produk tembakau, termasuk mengatur produk tembakau dalam RUU Kesehatan.

Persoalan itu disampaikan Hasbullah saat dia bersama pengurus organisasinya menyambangi Budi di kantornya pada 2 Januari lalu. Ia mengingatkan bahwa Indonesia satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control dalam sidang Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2003. “Ini sangat penting untuk mengendalikan rokok,” ujar Hasbullah menceritakan ulang pertemuan itu, Kamis, 25 Mei lalu. 

Ikut menemani Hasbullah dalam pertemuan itu Ketua Harian Komnas Pengendalian Tembakau Laksmiati Hanafiah dan Manajer Program Nina Samidi. Menurut Hasbullah, Budi menyatakan bahwa pemerintah tak hanya melihat persoalan tembakau dari masalah kesehatan, tapi juga penerimaan negara. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah petani tembakau berunjuk rasa menolak RUU Kesehatan yang memasukkan tembakau sebagai zat adiktif di kompleks DPRD kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, 11 Mei 2023. Antara/Anis Efizudin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 2022, penerimaan cukai hasil tembakau naik sekitar 4,9 persen, dari Rp 188,81 triliun menjadi Rp 198,02 triliun. Tapi Hasbullah mengingatkan bahwa pemerintah juga harus menanggung biaya pengobatan para perokok. “Angkanya sangat besar,” kata guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu.

Laporan WHO Asia Tenggara menyebutkan pembayaran klaim Jaminan Kesehatan Nasional akibat penyakit yang timbul dari konsumsi tembakau makin meningkat. Jumlahnya hampir dua kali lipat, dari Rp 9,9 triliun pada 2014 menjadi Rp 18,9 triliun pada 2018. Peningkatan tersebut satu garis dengan kenaikan jumlah perokok. 

Hasil Global Adult Tobacco Survey 2021 yang dirilis Kementerian Kesehatan menyebutkan jumlah perokok dewasa hampir 70 juta orang atau meningkat 8,8 juta konsumen selama satu dasawarsa. Nina Samidi mengungkapkan kenaikan tersebut ditopang oleh perokok cilik yang bertambah umur.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tak merespons pertanyaan tentang pertemuan dengan Komnas Pengendalian Tembakau. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi tak membantah atau membenarkan adanya pertemuan tersebut. “Yang jelas, kami mendapat masukan dari berbagai pihak,” ujarnya, Jumat, 26 Mei lalu. 

Baca: Omnibus Law Kesehatan Titipan Siapa?

Menurut Nina Samidi dan Hasbullah Thabrany, pembicaraan dengan Budi Gunadi digelar sebelum RUU Kesehatan yang “dititipkan” pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat menuai polemik. Bersama sejumlah kelompok masyarakat sipil, Komnas Pengendalian Tembakau berharap omnibus law kesehatan bisa ikut menekan dampak buruk tembakau dan produk turunannya.



Dua bulan sebelum pertemuan tersebut digelar atau pada November tahun lalu, salinan RUU Kesehatan beredar di tengah publik. Anggota Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau Indonesia (Sapta), Julius Ibrani, terkaget-kaget karena di dalam draf tersebut terselip pasal yang mengatur tembakau.

Yang membuat Julius lebih kaget, pasal mengenai tembakau dalam draf tersebut jauh lebih lembek ketimbang aturan yang masih berlaku. Pasal 113 ayat 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tak hanya menyebut tembakau sebagai zat adiktif, tapi juga produk turunannya. Sedangkan di draf baru, tidak ada frasa produk turunan tembakau.

“Artinya, produk lain seperti rokok elektronik tidak masuk kategori zat adiktif,” kata Julius saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Senin, 22 Mei lalu. Begitu pula vaporizer dan cairan isi ulang berkandungan nikotin yang kian marak digunakan. 

Ketua Sapta, Tubagus Haryo Karbyanto, mempertanyakan alasan RUU Kesehatan menempatkan tembakau setara dengan narkotik dan psikotropika. Meski menyebabkan ketergantungan, tembakau seharusnya dipisahkan dari dua zat adiktif lain. Apalagi sudah ada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang mengatur narkotik.

Ia curiga pasal tembakau disamakan dengan narkotik untuk membuat polemik. Jika kegaduhan terjadi, ada kemungkinan pasal tembakau akan hilang dari omnibus law kesehatan. “Kami tak bisa memastikan apakah RUU Kesehatan benar-benar menyamakan tembakau dengan narkotik,” ucap Tubagus Haryo. Saat itu, pemerintah dan DPR mengklaim draf yang beredar di masyarakat palsu.



Sejumlah kalangan memprotes draf itu. Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, yang membahas masalah tematik dan aktual, menolak tembakau disetarakan dengan narkotik, psikotropika, dan alkohol. “Enam juta orang yang hidup dari industri tembakau bisa terancam karena undang-undang ini,” ujar Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU Nur Kholis.

Baca: Dokter Rusia tanpa Stetoskop

Lembaga antitembakau khawatir bakal ada kongkalikong untuk menghilangkan aturan tembakau. Pada September 2009, ketentuan tersebut hilang dari Undang-Undang Kesehatan setelah dibahas oleh pemerintah dan DPR. Menteri Sekretaris Negara saat itu, Hatta Rajasa, menyebutkan ayat tersebut sudah raib ketika draf final sampai ke mejanya.

Belakangan, terkuak bahwa politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ribka Tjiptaning, menjadi motor penghilangan pasal tersebut. Kasus ini sempat dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Tapi Badan Kehormatan DPR lebih dulu mengusut persoalan itu. Pada April 2012, Badan Kehormatan memutuskan Ribka tak boleh memimpin panitia kerja atau panitia khusus.

Anggota Badan Legislasi DPR, Firman Soebagyo, bercerita, aturan mengenai tembakau di omnibus law kesehatan merupakan usulan pemerintah. Dalam rapat di Badan Legislasi, Firman meminta pasal tersebut dicabut dari draf karena bernilai ekonomi tinggi. “Kenapa hanya rokok yang diubek-ubek? Apa gula tak berisiko?” kata politikus Partai Golkar itu pada Kamis, 25 Mei lalu.

Firman melaporkan pembahasan omnibus law kesehatan kepada Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Menurut Firman, bosnya meminta RUU Kesehatan membicarakan masalah kesehatan secara umum dan tak memasukkan pasal tentang komoditas seperti tembakau. “Beliau juga memonitor pembahasan,” tuturnya. 



Ia mengaku beberapa kali berkomunikasi dengan petani tembakau. Antara lain, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Jawa Tengah Nurtantio Wisnu Broto dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Petani Tembakau Indonesia Agus Parmuji. Dalam pembicaraan itu, Firman menuturkan bahwa aturan tersebut bakal mempengaruhi kehidupan para petani tembakau. 

Enggan berkomentar ihwal pertemuan tersebut, Wisnu Broto meminta Tempo menghubungi Agus. Tapi Agus tak merespons pertanyaan yang dikirim ke nomor telepon selulernya.

Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) juga menolak pasal tembakau. Pada Selasa, 16 Mei lalu, Gappri mengirimkan surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo. Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Gappri, Henry Najoan dan Willem Petrus Riwu, tak merespons ketika ditanyai tentang persoalan itu.

Berhadapan dengan kelompok pendukung tembakau, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan bahwa ia bersama lembaga lain bergerilya dengan menggelar dialog terbuka ataupun bertemu dengan pejabat Kementerian Kesehatan dan politikus Senayan. 

Kepada para pejabat yang ditemui, mereka meminta pasal tembakau dicantumkan dan diperketat dalam RUU Kesehatan. “Sejarah ayat tembakau hilang jangan sampai terulang,” kata Tulus.

Penghilangan aturan tentang tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan bisa berdampak panjang. Julius Ibrani dari Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau Indonesia mengatakan, nanti pemerintah tak lagi bertanggung jawab membiayai penyakit yang disebabkan oleh tembakau dan produk turunan seperti rokok dalam program Jaminan Kesehatan Nasional.



Asisten Deputi Komunikasi Publik dan Hubungan Masyarakat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Agustian Fardianto memilih irit berkomentar. “Kami tak berpendapat,” ujarnya di kantornya, Jumat, 26 Mei lalu. Menurut dia, selama ini BPJS Kesehatan menanggung biaya penyakit yang muncul dari produk tembakau. 

Adapun anggota Komisi Kesehatan dari Fraksi Gerindra, Putih Sari, mengaku pernah berdiskusi dengan beberapa kalangan yang mendukung pasal tembakau tetap ada di omnibus law kesehatan. “Aspirasi mereka menjadi pertimbangan,” katanya, Kamis, 25 Mei lalu.

MULAI awal April lalu, pembahasan Rancangan Undang-Undang kesehatan beralih dari Badan Legislasi ke Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat. Pembahasan rancangan itu pun digeber setelah Komisi Kesehatan dan pemerintah membentuk panitia kerja. Draf tersebut juga dibahas saat parlemen memasuki masa reses, yakni pada 14 April-15 Mei lalu.

Anggota panitia kerja dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Kurniasih Mufidayati, mengatakan pembahasan RUU Kesehatan digelar maraton dari Senin hingga Jumat mulai pukul 10 pagi hingga 10 malam. “Drafnya tebal banget. Kalau ditumpuk bisa jadi bantal,” ujarnya ketika dihubungi, Selasa, 23 Mei lalu.

Sistem kebut pembahasan RUU Kesehatan diam-diam juga dijalankan di luar DPR. Tempatnya kerap berpindah-pindah dari satu hotel ke tempat lain. Itu pun hanya anggota panitia kerja dan staf Komisi Kesehatan yang boleh masuk ke ruang rapat. Menjelang akhir Mei, Komisi Kesehatan tak memiliki jadwal bersidang di gedung DPR meskipun reses telah berakhir. 

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (tengah) mengikuti rapat kerja pembahasan Rancangan Undang Undang tentang Kesehatan dengan Komisi IX DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 5 April 2023. Antara/Galih Pradipta

Mufidayati membantah kabar bahwa rapat digelar rahasia di luar gedung DPR. Ia berkilah ruang Komisi Kesehatan tak bisa menampung semua peserta rapat. Adapun anggota panitia kerja lain, Putih Sari, membenarkan kabar bahwa rapat digelar di Hotel Sheraton, Jakarta Selatan, saat reses. Namun pembahasan kini berjalan lambat karena DPR sedang menggodok Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024.

Menurut Mufidayati, rapat yang digelar pada Senin, 22 Mei lalu, membahas sanksi pidana dalam RUU Kesehatan. Anggota panitia kerja menyesuaikan sanksi tersebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Januari lalu. 

Mufidayati menyatakan pasal tembakau belum dibahas oleh anggota panitia kerja. Namun, dalam pembicaraan informal, ada dorongan untuk tetap mempertahankan pasal tersebut. Usul lain, pasal tersebut tak disejajarkan dengan pasal narkotik dan zat adiktif lain.

Dua politikus pendukung pemerintah, seorang anggota Komisi Kesehatan, dan seorang pejabat pemerintah bercerita, pembahasan RUU Kesehatan diperkirakan rampung pada Juni mendatang. Namun Mufidayati menampik informasi tersebut karena masih banyak pasal yang harus dibahas. “Kami harus hati-hati,” katanya.

HUSSEIN ABRI DONGORAN, FRANCISCA CHRISTY ROSANA, FAJAR PEBRIANTO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Francisa Christy Rosana dan Fajar Pebrianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Pasang-Surut Pasal Tembakau"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus