EMBER plastik, rantang, berbagai pecah belah, bahkan ayam dan
sangkar burung turut berjejal. Sehingga temperatur 26 derajat
Celsius yang disetel persis seperti kesejukan udara di kawasan
Gunung Kerinci, Sum-Bar, nama yang dikenakan untuk kapal mewah
itu -- tetap saja memancing keringat para penumpang. Antre dan
saling sikut, dengan bawaan masing-masing yang hampir tak
terpegang oleh kedua tangan pemiliknya.
Dan pemeriksaan para penumpang untuk pelayaran perdana KM
Kerinci Jakarta-Ujungpandang pekan lalu itu macet total.
Pemandangan di "hotel berbintang tiga" yang terapung itu pun tak
ubahnya seperti kapal-kapal penumpang "yang tak berbintang".
Sebagian besar penumpang rupanya tak mau tahu atau memang tak
sadar, mereka sedang diuji untuk menyesuaikan diri dengan
berbagai fasilitas yang dimiliki kendaraan yang mereka naiki.
Rantang dan pecah-belah itu misalnya dibawa untuk persiapan
berebut ransum dalam pelayaran kelak. Dan ember plastik, selain
untuk mencuci pecah-belah itu setelah digunakan, juga untuk
rebutan air mandi. Agaknya mereka tak tahu, KM Kerinci yang
diresmikan pemakaiannya 20 Agustus lalu tak mengenal
tetek-bengek serupa itu. Keadaan itu segera mereka sadari
setelah berada di atas kapal -- dan pelayaran dimulai setelah
tertunda hampir satu jam.
Tetapi kemacetan arus penumpang terjadi lagi untuk menentukan
kamar masing-masing. Bagi penumpang kelas I dan II yang tiap
kamar masing-masing terdiri dari dua dan empat tempat tidur,
pengaturan tidak jelimet benar. Kemacetan mulai terlihat ketika
pengaturan penumpang kelas III sampai ekonomi. Di kelas III tiap
kamar diisi enam orang, kelas IV ada delapan orang.
Membagi penumpang melalui ruang informasi ini ternyata tidak
mudah. Petugas harus mengamati dulu karcis penumpang melihat
identitasnya. Agar setiap kamar dihuni penumpang sejenis, laki
atau perempuan. "Saya terpaksa pisah dengan ibu saya padahal ibu
saya tua, perlu diawasi," keluh Kopda Indarlepo, salah seorang
penumpang. Selama dua jam ia berdiri mengurus kamar, sebagai
penumpang kelas IV. "Kalau tahu begini, saya tak mau naik kapal
ini," gerutu anggota Arhanud yang mau cuti ke Palopo ini.
Celakanya, selain berpisah dengan ibunya, Kopda Indarlepo
ternyata mendapatkan kamar yang salah, berada satu kamar bersama
tujuh penumpang wanita.
Kebingungan seperti ini terjadi karena adanya sistem check in
ketika penumpang di atas kapal untuk memperoleh kunci kamar.
Itu berarti setiap penumpang yang jumlahnya lebih seribu orang
itu harus diteliti satu-satu. Seorang pejabat yang mengikuti
pelayaran ini dengan status undangan, menyebutkan macetnya
pengurusan kamar "karena sistem check in ini baru pertama kali
diterapkan Pelni."
Setelah kapal mulai mengarungi lautan, agaknya para penumpang
baru menyadari keadaan kapal yang mereka naiki. Penumpang kelas
I, langsung bisa tidur-tiduran sambil menikmati acara hiburan
lewat video. Semua kamar kelas I (ada 50 kamar) dilengkapi
pesawat televisi. Juga kamar mandi yang serba wah. Tinggal
membaringkan tubuh dan memilih tombol air panas atau dingin.
Di kamar kelas II, III, dan IV memang tak tersedia televisi,
kecuali di ruang makan yang dikhususkan bagi penumpang
kelas-kelas ini. Di ruang kelas ekonomi, justru disediakan
pesawat televisi agar mereka tidak keluyuran. Ruang ekonomi
terbuka tanpa kamar-kamar dan penumpang bebas menggelar tikar di
atas balai-balai.
Pelayanan makan tergolong lumayan. Agar tak kalah dengan
fasilitas hotel mewah di darat, 60 pelayan dengan celana hitam
strip putih melayani penumpang, ditambah dua staf senior PT HII
sebagai konsultan.
Uji coba keselamatan penumpang dilakukan setelah sehari
berlayar. Pengeras suara menyerukan agar penumpang segera
mengenakan pelampung dan berkumpul di dek atas. Penumpang yang
terlena dengan hiburan lewat video dan tak tahu seluk beluk uji
coba itu hiruk-pikuk, bahkan banyak yang memanggil-manggil
anggota rombongannya. Apalagi pengeras suara mengumumkan, saat
itu kapal berada di perairan Masalembo, tempat terkuburnya
Tampomas II, dua tahun lalu.
Ketika sirene berhenti berbunyi dan tanda bahaya dinyatakan
telah lewat, semua penumpang memakai pelampung. Lalu sepuluh
sekoci penyelamat siap diturunkan, begitu pula rakit-rakit
penolong. Ini berarti, semua sarana keselamatan berfungsi baik,
pelampung tercukupi, sekoci tidak macet. Kapal yang berbobot
mati 2.400 ton dengan kecepatan 20 mil per jam -- 5 mil lebih
cepat dibandingkan Tampomas II -- hampir tanpa cacat. Walau
begitu, kapal yang digerakkan mesin ganda berkekuatan 17.000 PK
dan meminum 57.000 liter solar sehari, tak luput dari kritikan
penumpang.
Kopda Indarlepo, yang terpisah kamar dengan Ibunya itu,
menyatakan pelayanan tak seimbang dengan kemewahan kapal.
Pembagian makan di kelas IV dan ekonomi terlambat, karena
pelayan lebih memprioritaskan kelas I, II dan III. "Terus terang
saja saya kecewa," katanya. Apalagi ia membeli karcis Kerinci
ini dengan catutan, Rp 2.000 lebih mahal.
Perry Sasabone, 36 tahun, juga membeli karcis catutan untuk
kelas ekonomi. Cuma, koresponden harian Berita Baru,
Ujungpandang ini, memuji KM Kerinci, "lebih sejuk dibandingkan
Tampomas II." Yang agak buruk, "suara getaran di kapal ini jauh
lebih keras ketimbang Tampomas II," katanya. Kebisingan kapal
rata-rata dikeluhkan banyak penumpang, termasuk para anggota
Komisi V DPR RI yang diundang. Ini disebabkan Kerinci lebih
banyak memakai pelat baja, sedang Tampomas II memakai kayu jati
yang dinilai lebih dapat meredam suara. Pemakaian pelat baja
tentu saja dengan pertimbangan agar tidak mudah dimakan api.
Yang dikhawatirkan banyak orang tentu saja perawatan kapal,
termasuk menjaga kenyamanan yang ditawarkan sejak awal. Para
undangan yang terdiri dari anggota Komisi V DPR RI, para pejabat
teras Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dan sejumlah
wartawan, khawatir para penumpang tak cepat menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang serba mewah. Misalnya, ada keran yang
lupa ditutup sehingga air mengucur terus. Kebersihan kamar mandi
tak terawat. Puntung rokok dibuang di pot bunga. Bahkan di
sebuah kamar, seorang pemuda membuat coretan di ranjangnya
dengan spidol biru. Ketika berlabuh di Ujungpandang, seorang
pria tertangkap mencuri handuk yang disediakan di kamar kelas
II.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, J.E. Habibie
yang menyertai pelayaran perdana ini mengakui masalah kecil
seperti itu perlu penanganan. "Kalau perlu akan ditunjuk
pengawas di masing-masing kamar," ujar Habibie. "Pengawas itu
yang bertanggung jawab jika ada barang hilang di kamar."
Habibie adalah pejabat yang paling sibuk dalam pelayaran ini. Ia
mengawasi sistem check in di ruang informasi, memimpin latihan
penyelamatan, hilir mudik melihat tingkah laku penumpang,
mengumpulkan wartawan untuk dimintai saran-saran. Bahkan, di
malam hari, sehabis makan, Habibie muncul di ruang restoran.
Restoran ini dilengkapi sebuah band, berhadapan dengan ruang
dansa yang cukup luas. Di antara undangan yang melantai tampak
bekas direktur utama Pelni, Husseyn Umar berpasangan dengan
istrinya.
Adalah Habibie pula yang memimpin upacara "tabur bunga" di
perairan Masalembo, tempat Tampomas II tenggelam. Seorang
penumpang diminta berdoa.
Yang pasti dengan KM Kerinci, pelayaran Jakarta-Ujungpandang dan
Jakarta-Padang terasa hidup kembali. Tinggal sekarang
menghidupkan jalur-jalur lain -- yang meskipun tak kalah ramai,
tampaknya masih harus menunggu. Sebab satu dari tiga buah kapal
penumpang sejenis Kerinci yang sudah dipesan pemerintah, baru
akan melaut tahun depan. Dan dengan kapal-kapal mewah itu kelak,
paling tidak seperti kata Habibie, "akan memanusiakan" para
penumpang yang selama ini harus berebut dengan ternak selama
pelayaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini