Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini 88 tahun yang lalu, tepatnya pada 25 Juni 1936, Bacharuddin Jusuf Habibie, yang lebih dikenal sebagai BJ Habibie, lahir. Kiprahnya tidak hanya meninggalkan jejak di bidang teknologi dan industri penerbangan, tetapi juga memberikan kontribusi penting dalam membangun fondasi demokrasi serta perkembangan sosial ekonomi negara ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari fahum.umsu.ac.id, BJ Habibie memasuki dunia politik setelah dilantik sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi pada 1978. Pada 1998, saat terjadi gejolak politik dan tuntutan reformasi, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, dan Habibie kemudian terpilih sebagai presiden penggantinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masa pemerintahan Habibie diwarnai oleh berbagai tantangan, termasuk tuntutan reformasi dan krisis ekonomi yang melanda Asia pada saat itu. Meski masa kepemimpinannya relatif singkat, Habibie berhasil menerapkan berbagai reformasi dan membuka ruang yang lebih luas bagi kebebasan berpendapat.
Kebebasan Pers, Reformasi Hukum, Zakat dan UU HAM pada masa BJ Habibie
Dilansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, saat menjabat sebagai Presiden, Habibie memberikan ruang yang luas untuk hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. Terkait HAM, terdapat tiga kebijakan utama yang diberlakukan: kebebasan pers, kebebasan berpendapat di muka umum, dan pembebasan tahanan politik.
Kebebasan pers didukung dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. UU tersebut membawakan perubahan besar bagi dunia pers Indonesia. Pada masa Orde Baru jumlah media cetak sebanyak 289 dan 996 radio swasta. Setelah reformasi, jumlah media cetak menjadi 1.398 dan penyiaran swasta berjumlah 74 stasiun.
Terkait dengan kebebasan berpendapat, Presiden BJ Habibie mengeluarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1999, yang mengatur dan menjamin kebebasan berpendapat serta mendorong lahirnya berbagai kekuatan sosial politik di masyarakat dan pendirian berbagai asosiasi profesi.
Untuk menangani berbagai masalah HAM di Indonesia, terutama di Aceh, Habibie juga membentuk Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan. Selain itu, Habibie menggantikan Undang-Undang Subversif dengan Undang-Undang No. 26 tahun 1999 tentang HAM. Untuk perlindungan perempuan, BJ Habibie membentuk Komisi Nasional Perlindungan Perempuan pada Oktober 1998.
Di bidang reformasi hukum, BJ Habibie menerbitkan sebanyak 68 undang-undang dalam 16 bulan, sebuah prestasi yang membantu Indonesia keluar dari krisis ekonomi.
Dilansir dari baznas.go.id, BJ Habibie juga merupakan presiden yang pertama kali menandatangani pengesahan UU Zakat No 38/99 pada 23 September 1999 yang pertama kali memasukkan zakat sebagai bagian yang penting sehingga diatur oleh negara.
UU yang ditandatangani Presiden BJ Habibie ini juga melahirkan BAZNAS sebagai sebuah lembaga zakat yang dikelola Negara dan mengukuhkan LAZ sebagai gerakan masyarakat dalam pengelolaan zakat.
Kebijakan Pelepasan Timor Timur oleh BJ Habibie
Dilansir dari Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, pergolakan di Timor Timur sudah berlangsung lama sebelum BJ Habibie menjadi presiden. Setelah lama berada di bawah kekuasaan Portugal, pada 17 Juli 1976, Timor Timur secara resmi menjadi provinsi ke-27 Indonesia.
Namun, integrasi tersebut tidak menyelesaikan masalah karena banyak pihak yang menentangnya. Selain berbagai kelompok di Timor Timur, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menolak penyatuan ini.
Tekanan semakin meningkat ketika negara-negara yang awalnya mendukung integrasi mulai mengubah sikapnya. Hingga 1999, PBB terus mengusulkan diadakannya jajak pendapat di Timor Timur, yang akhirnya dilaksanakan oleh Presiden Habibie.
Habibie mengambil kebijakan untuk mengadakan referendum atau jajak pendapat. Pada 27 Januari 1999, pemerintahannya menawarkan dua pilihan: otonomi khusus atau kemerdekaan.
Hasil referendum diumumkan di New York dan Dili pada 4 September 1999, menunjukkan bahwa hampir 78,5 persen penduduk Timor Timur memilih merdeka, menolak tawaran otonomi khusus dari Indonesia.
Dengan hasil tersebut, MPR RI dalam Sidang Umum MPR pada 1999 mencabut TAP MPR No. VI/1978 dan mengembalikan status Timor Timur seperti pada 1975. Sejak saat itu, Timor Timur lepas dari Indonesia dan diakui secara internasional sebagai negara merdeka dengan nama Timor Leste pada 20 Mei 2002.