Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IDA Budhiati tiba di aula lantai dua gedung Komisi Pemilihan Umum ketika semua anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal KPU sudah meriung. Belum lama anggota KPU itu duduk, Wakil Kepala Biro Hukum Teuku Saiful Bahri berdiri. "Kalau Ibu Ida tak ke luar ruangan, saya yang keluar," katanya. Rapat Rabu siang, 24 Oktober, itu sesaat hening.
Melihat Ida tak beranjak dari tempat duduknya, Saiful meninggalkan ruangan. Dalam suasana serba kikuk itu, seorang pegawai bernama Andi menyambar mikrofon. "Pemimpin kami adalah Sekjen," ujarnya. "Kalau Pak Sekjen ke luar ruangan, kami juga keluar." Sekretaris Jenderal KPU Suripto Bambang Setyadi bertahan di ruangan sampai rapat ditutup 10 menit kemudian tanpa kesimpulan.
"Saat itu saya emosional," kata Saiful Bahri belakangan kepada Tempo. Adapun Ida Budhiati menyatakan tak mau berpolemik lagi. Namun, dalam sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum pada Jumat dua pekan lalu, Ida mengatakan ada pejabat Sekretariat Jenderal yang mencoba mengusirnya dari ruang rapat.
Rapat tersebut diadakan semula untuk mencari jalan keluar dari persoalan yang melingkupi proses verifikasi administrasi partai politik. Sehari sebelumnya, pada 23 Oktober, verifikasi yang bertempat di Hotel Borobudur, Jakarta, mandek di tengah jalan. Para verifikator—pegawai Sekretariat Jenderal KPU—menghentikan pekerjaannya setelah mendengar keluhan anggota KPU kepada Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat dengar pendapat hari itu.
Di Dewan Perwakilan Rakyat, KPU ditanyai persoalan seputar proses verifikasi. Anggota KPU menjelaskan bahwa mereka sedang mengecek daftar anggota partai politik, yang merupakan salah satu syarat dalam pendaftaran peserta pemilihan umum. Waktu itu, data keanggotaan partai politik belum sepenuhnya masuk Sistem Informasi Partai Politik atau Sipol—rumah data berbasis teknologi informasi yang dirancang KPU untuk memudahkan proses verifikasi.
Dalam verifikasi keanggotaan, KPU tadinya hendak mengecek silang antara data yang di-input partai politik lewat Sistem Informasi dan data manual yang dilampirkan pada saat pendaftaran. Namun banyak partai gagal memasukkan data keanggotaan ke Sistem Informasi. Menjelang hari pengumuman hasil verifikasi administrasi, data manual masih tercecer. Kepada Dewan Perwakilan Rakyat, KPU berkeluh-kesah bahwa Kelompok Kerja Pendaftaran Partai Politik tak bekerja optimal.
Anggota KPU juga menyampaikan bahwa upaya mereka mempercepat proses verifikasi digembosi "orang dalam". Sejak 16 Oktober lalu, mereka meminta Sekretariat Jenderal menambah jumlah personel Kelompok Kerja, yang bertugas memverifikasi dokumen partai calon peserta pemilihan umum. Didesak waktu, jumlah personel Kelompok Kerja, yang sekitar 170 orang, perlu ditambah 68 lagi.
Jauh dari harapan, Sekretariat Jenderal hanya menyediakan lima orang. "Padahal ada sekitar 400 pegawai di Sekretariat Jenderal," kata seorang sumber. Menyiasati kekurangan orang, anggota KPU meminta bantuan Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta. Namun KPU Jakarta hanya bisa mengirimkan sedikit personel.
Merasa tak didukung Sekretariat Jenderal, di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada 23 Oktober itu, anggota KPU menyatakan Sekretariat telah membangkang. Sepulang rapat di Senayan, Ida Budhiati mampir ke Hotel Borobudur untuk melihat verifikasi. Betapa kagetnya dia karena yang tampak bekerja kurang dari 10 orang. Para verifikator ternyata mogok kerja. "Yang lain tak tahu ke mana," kata Ida.
Entah bagaimana ceritanya, pernyataan anggota KPU di Dewan Perwakilan Rakyat rupanya sampai ke telinga orang-orang Sekretariat Jenderal. Menurut Saiful Bahri, yang juga Ketua Kelompok Kerja Pendaftaran Partai Politik, pegawai Sekretariat Jenderal tersinggung. "Kami kecewa. Semestinya pernyataan anggota KPU tak disampaikan kepada publik," ujar Saiful. "Akhirnya, kami jadi tak bersemangat kerja."
Saiful mengungkapkan pegawai Sekretariat Jenderal juga merasa kurang dihargai. Anggota KPU meminta mereka memeriksa ulang berkas persyaratan pendaftaran. "Kami sudah sebulan memeriksa. Berkasnya banyak yang sudah disimpan sehingga harus dibongkar-bongkar lagi," katanya. Menurut Saiful, semua dokumen, termasuk data yang harus dimasukkan ke portal Sistem Informasi Partai Politik, sudah selesai dihitung dan siap diumumkan.
Merasa diboikot, anggota KPU kemudian mengajak Sekretariat Jenderal berbicara. Keesokan harinya, mereka meriung di aula lantai 2 gedung KPU di Jalan Imam Bonjol. Jalan keluar tak ditemukan, justru perseteruan makin panas.
Akibat masalah tersebut, pengumuman siapa-siapa yang lolos menjadi peserta pemilu mundur dari semestinya, yakni 25 Oktober 2012. Pimpinan KPU lalu menggelar rapat maraton pada 25-28 Oktober. Keputusannya, verifikasi administrasi keanggotaan akan dilakukan bersamaan dengan pengecekan faktual. Pada 28 Oktober malam, Komisi Pemilihan menyatakan 16 partai lolos ke tahap verifikasi faktual dan 18 partai gugur.
Dua belas dari 16 partai yang tak lolos kemudian mengadu ke Badan Pengawas Pemilihan Umum. Pada 3 November, Badan Pengawas menyurati Komisi Pemilihan meminta 12 partai diloloskan ke tahap verifikasi faktual. Alasannya, Komisi Pemilihan diduga melanggar administrasi pemilihan umum karena, salah satunya, menunda mengumumkan hasil verifikasi administrasi.
Pada 6 November, Badan Pengawas berjanji menyerahkan data terperinci pelanggaran yang dilakukan KPU dalam waktu enam hari. Selama sepekan pula, Komisi Pemilihan melakukan verifikasi ulang berkas 12 partai yang dinyatakan gagal lolos. Senin malam pekan lalu, Komisi Pemilihan secara resmi menyatakan 12 partai tersebut tetap tak lolos. Sampai tenggat lewat, Badan Pengawas tak kunjung mengirimkan data pelanggaran oleh Komisi Pemilihan.
Badan Pengawas juga melaporkan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum pada akhir Oktober. Pada Jumat dua pekan lalu, anggota KPU mulai diadili. Di hadapan Dewan Kehormatan itulah Ida Budhiati menumpahkan unek-uneknya mengapa pengumuman hasil verifikasi administrasi mulur. "Ada pembusukan di organisasi KPU," ujarnya waktu itu. Di arena yang sama, secara terbuka, kata-kata Ida dibalas orang Sekretariat Jenderal.
Hadar Nafis Gumay, anggota KPU yang lain, juga merasakan Sekretariat Jenderal tak mendukung anggota KPU. Suatu waktu, Hadar datang ke Hotel Borobudur untuk melihat kemajuan proses verifikasi. Seorang pejabat Sekretariat Jenderal malah mempertanyakan kedatangannya. "Pak Hadar ngapain terus-terusan minta upÂdate proses verifikasi setiap hari?" kata pejabat itu.
Gara-gara Hadar terus-menerus mengawasi proses verifikasi, berembus isu di Sekretariat Jenderal bahwa ia datang mewakili kepentingan partai. "Tanggung jawab saya ini mengawasi," ujar Hadar. "Kok, dibilang mewakili partai?" Sekretaris Jenderal KPU Suripto Bambang Setyadi menyanggah tak bekerja maksimal, termasuk soal permintaan tambahan 68 personel. "Yang diminta ke Sekjen hanya tambahan 10 orang untuk tim IT dan 10 orang untuk supervisi."
Belum tahu kapan konflik tersebut akan surut, anggota Komisi Pemerintahan DPR, Nurul Arifin, menduga hal itu terjadi karena sejumlah pejabat Sekretariat Jenderal terlalu lama duduk di posisinya. "Anggota KPU dianggap orang baru. ‘Siapa lu? Baru masuk sudah ngatur-ngatur’."
Anton Septian, Ananda Badudu, Subkhan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo