Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAAT mengumumkan diri sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat pada 8 November lalu, Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki kompak memakai kemeja putih. Kata Rieke, putih simbol bersih, sebagaimana slogan mereka, yang akan mengubah provinsi ini menjadi bebas korupsi.
Tapi baju putih bukan monopoli mereka. Dua hari berikutnya, Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar juga memakai warna serupa saat mendeklarasikan diri. Irianto M.S. Syafiuddin dan Tatang Farhanul Hakim ikut memakai kemeja putih ketika mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Barat di Bandung, sehari kemudian. "Akhirnya, atas saran Jokowi, kami memakai baju kotak-kotak saat ke KPU," ujar Rieke, anggota Komisi Tenaga Kerja Dewan Perwakilan Rakyat.
Jokowi adalah Joko Widodo, Wali Kota Solo yang September lalu memenangi pemilihan Gubernur Jakarta. Sewaktu kampanye, pasangan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama terkenal dengan ciri khas baju kotak-kotak hitam-merah. Syahdan, dua hari setelah pengumuman, Rieke-Teten dipanggil Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta.
Di sana, Jokowi sudah menunggu. Setelah ngobrol tentang peluang-peluang pemilihan, Jokowi menyarankan Rieke-Teten punya ciri khas yang gampang diingat pemilih. "Pakai saja kotak-kotak lagi. Sisa kemarin masih banyak," kata Jokowi, seperti ditirukan Rieke. Bintang sinetron itu setuju karena alasan praktis. "Lagi pula kami ingin meneruskan semangat perubahan Jokowi," ujarnya. "Semangat kotak-kotak."
Rieke tak ambil pusing dituduh mengekor sukses Jokowi. "Saya harus punya panutan," katanya. Lagi pula, setelah berkeliling ke beberapa kota yang dekat dengan Jakarta, ia tahu relawan Jokowi-Basuki banyak. Mereka buruh pabrik di Bekasi, juga karyawan kantoran di Depok dan Bogor, yang menyumbang dan membeli kemeja kotak-kotak hitam-merah ala Jokowi. "Mereka calon potensial pemilih yang harus kami garap," ujarnya.
Karena itu, Rieke kini lebih banyak tinggal di Bandung. Sepanjang libur panjang akhir pekan lalu, ia terlihat wira-wiri di kantor PDIP Jawa Barat. Rieke, pemeran Oneng dalam sinetron komedi Bajaj Bajuri, gesit menyusun strategi pemenangan. Ia punya waktu tiga bulan sebelum hari pencoblosan pada 24 Februari 2013.
Waktu kampanye sempit, kata Rieke, karena partainya berulang kali memverifikasi dan mewawancarainya. Dua tahun lalu, ia diminta Ketua PDIP Jawa Barat, yang kala itu masih dijabat Rudy Harsa Tanaya, agar mendaftar sebagai calon Wakil Gubernur Jawa Barat dalam seleksi internal partai. Mereka yang mendaftar akan diseleksi dalam Rapat Kerja Nasional PDIP di Surabaya, 12-14 Oktober 2012. Rudy sendiri berminat jadi calon gubernur.
Ada beberapa bupati yang mendaftar: Bupati Kuningan Aang Hamid Suganda, Bupati Sumedang Don Murdono, bahkan Bupati Subang Eep Hidayat, yang terjerat kasus korupsi. Setelah mendaftar, Rieke mulai unjuk muka dengan memasang poster di beberapa kabupaten. Waktu itu, karena pemilihan belum hangat, ia memasang foto dengan seruan menolak rencana kenaikan harga bahan bakar minyak yang heboh sepanjang Juli lalu. "Tapi pembicaraannya masih wakil gubernur," ujarnya.
PDIP menyewa lembaga survei untuk menjajaki nama-nama yang populer dari partainya. Nama Rieke selalu di urutan teratas. Sejak itulah Rieke digadang-gadang menjadi calon gubernur. Tubagus Hasanuddin, pengganti Rudy, lalu menjodohkan Teten menjadi wakil Rieke. Soalnya, waktu itu, secara tersirat Megawati sudah setuju dengan Rieke, yang telah bergerilya melobi elite dan sesepuh PDIP. "Untuk Jawa Barat sebaiknya perempuan," kata Hasanuddin menirukan Mega.
Pertarungan di dalam tubuh PDIP bukan tak ada. Yusuf Macan Effendi, calon wakil gubernur yang digadang-gadang Partai Demokrat, beberapa kali bertemu dengan Taufiq Kiemas, suami Megawati, yang menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai. Yusuf berniat berkoalisi dengan PDIP.
Ia bersedia digandengkan dengan bupati yang namanya masuk daftar calon Partai Banteng itu. Aang Suganda bahkan membuat pernyataan terbuka bahwa semua bupati akan mendukung Dede. Karena itu, Dede optimistis bisa menggandeng wakil dari partai ini. Namun, setelah melihat survei, elite PDIP lebih sreg jalan sendiri. Dengan 17 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat, partai ini bisa mengusung calon sendiri tanpa berkoalisi dengan partai lain.
Teten juga tak lepas dari proses seleksi oleh petinggi PDIP. "Tapi Kang Teten cuma setengah jam. Saya diwawancarai sampai tiga jam," ujar Rieke. Dalam verifikasi sepekan sebelum pengumuman, Rieke-Teten diminta menemui Megawati. Rieke menuturkan, Mega merestui keduanya maju dalam pemilihan. "Saya tahu kalian tak punya uang. Coba dipikirkan bagaimana cara mendapatkannya," kata Mega seperti ditirukan Rieke.
Agar hemat, Rieke dan Teten berbagi peran dalam waktu yang singkat ini. Rieke akan berfokus menggarap pemilih lewat jalur partai. Modalnya sudah ada. Delapan dari 18 kabupaten plus sembilan kota madya di Jawa Barat dipimpin kader PDI Perjuangan. Sedangkan Teten bergerilya di kalangan aktivis. Jaringan Teten sebagai penggerak antikorupsi dan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia memudahkannya berhubungan dengan lembaga-lembaga swadaya.
Taktik dua kaki ini akan berporos di tim sukses yang dipimpin Tubagus Hasanuddin. "Strategi kami akan sama dengan strategi saat memenangkan Jokowi-Ahok," kata mayor jenderal purnawirawan bekas sekretaris militer Presiden Megawati ini.
Namun, karena pemilih Jawa Barat enam kali lebih banyak daripada pemilih Jakarta, yang akan menggarap pemilih tak hanya elite partai. "Semua yang punya kartu anggota PDIP akan turun," ujarnya. Karena itu, dalam tim pemenangan, selain bupati dan ketua PDIP daerah, elite PDIP pusat masuk struktur.
Soal masih minimnya pengalaman birokrasi Rieke-Teten, yang akan menurunkan keterpilihan, tak dicemaskan Hasanuddin. Hasil survei PDIP, kata dia, menunjukkan pemilih ingin gubernur yang bersih dan membawa Jawa Barat keluar dari stigma provinsi paling korup. "Karena itu, mereka pasangan yang pas. Soal menata birokrasi, banyak ahli dan akademikus yang bisa diminta membantu," ujarnya.
Efek Jokowi, yang mengandalkan popularitas dan citra bersih, tak hanya akan disalin pasangan Rieke-Teten. Ahmad Heryawan, calon inkumben dari Partai Keadilan Sejahtera, menggandeng aktor Deddy Mizwar untuk menggalang suara. Deddy juga memakai jasa Eep Saefulloh Fatah, Direktur Polmark Indonesia, konsultan politik yang juga membantu Jokowi.
Masuknya Deddy menjadikan pemilihan Gubernur Jawa Barat diikuti tiga artis tenar. "Aher pinter, Deddy sedang laris sebagai bintang iklan," kata Iwan Sulandjana, Ketua Partai Demokrat Jawa Barat.
Demokrat mengusung Yusuf Macan Effendi atau Dede Yusuf. Politikus yang disokong Partai Amanat Nasional di pemilihan 2008 ini loncat ke Demokrat setelah berniat menjadi Jabar-1. Menurut Iwan, survei internal Demokrat menunjukkan keterpilihan Dede dalam pemilihan 2013 mencapai 57 persen.
Karena itu, dalam rapat majelis tinggi yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 Oktober, ia menyisihkan para kandidat lain di Demokrat: Iwan Sulandjana, anggota DPR Daday Hudaya, Wali Kota Bandung Dada Rosada, penyanyi dangdut Teddy Suratmadji, dan Rektor Universitas Langlangbuana Brigadir Jenderal Nana Rukmana.
Dede kemudian dibebaskan memilih wakilnya. Karena ia sudah populer sebagai aktor film laga, ketenaran tak dijadikan ukuran utama dalam menjaring calon pendamping. Syarat utamanya adalah birokrat tulen. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Demokrat Saan Mustopa, tiga kali Dede berunding dengan Yudhoyono untuk memilih wakilnya. Ada dua nama yang mencuat: Ketua Partai Amanat Nasional Jawa Barat Edi Darnadi dan Sekretaris Daerah Provinsi Lex Laksamana.
Meski cukup kursi di parlemen Jawa Barat, 28 wakil, Demokrat sejak awal membuka koalisi dengan partai lain. Alasannya, kata Saan, Jawa Barat terlalu luas untuk digarap sendiri. Maka Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan belakangan Gerindra, yang gagal berkoalisi dengan PDIP, menyatakan bergabung. Beberapa nama bupati yang dianggap berhasil sempat diajukan menjadi calon pasangan Dede—kebanyakan berasal dari PDIP.
Mereka antara lain Bupati Sumedang Don Murdono dan Bupati Kuningan Aang Suganda. Karena itu, upaya menggabungkan Demokrat dan PDIP sempat mencuat. Taufiq Kiemas bahkan setuju mengusung Dede sebagai calon gubernur dan wakilnya dari PDIP. Tapi Dede mesti menjalani babak penyisihan di partainya lebih dulu. Setelah melihat survei, nama Rieke merambat naik, elite PDIP lebih sreg jalan sendiri.
Maka munculnya nama Lex dan Edi, kata Iwan Sulandjana, tak lepas dari kegagalan koalisi dua partai terbesar di Jawa Barat ini. Dengan melihat calonnya, koalisi dengan PDIP jadi terasa janggal. "Dengan Rieke, masak artis sama artis? Bakal ribet. Sedangkan Aang itu paman Dede, tidak baik," kata Iwan.
Dede kemudian memilih Lex, setelah ada rekomendasi dari Ketua Umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa, yang juga besan Yudhoyono. Hubungan Lex dan Hatta dekat karena sama-sama aktif di Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung. Kepada elite Demokrat, Dede juga mengaku lebih sreg bersanding dengan Lex karena keluarga masing-masing sudah dekat. Sebagai wakil gubernur yang belum berpengalaman, Dede banyak belajar birokrasi dari Lex.
Ini pula pertimbangan Majelis Tinggi Demokrat menyetujui pilihan Dede. Hitungannya, Lex bisa mengendalikan birokrasi Jawa Barat karena sejak 1977 menjadi pegawai negeri di pemerintahan provinsi. Sebagai sekretaris daerah sejak 2006, ia juga paham program pemerintahan di masa Dede Yusuf. "Pak Lex popularitasnya kecil, tapi kemampuan birokrasinya sudah mumpuni," kata Dede.
Saan menganggap koalisi di Jawa Barat, yang luas, mutlak diperlukan. Popularitas Dede dianggap bisa menambah suara Demokrat, yang membukukan 30 persen suara dalam Pemilu 2009. Modalnya dinilai cukup. Jabatan bupati dan wali kota di Jawa Barat—selain ditempati para kader PDIP—diisi kader-kader Demokrat. Kabupaten Bekasi, Karawang, Bandung Raya, Sukabumi, Cianjur, dan Garut adalah kantong-kantong massa partai ini.
Tiga bulan ke depan, satu dari lima pasangan itu akan menjadi penguasa tanah Pasundan.
Bagja Hidayat, Widiarsi Agustina, Ahmad Fikri, Anwar Siswadi (Bandung)
Sepuluh di Bumi Parahyangan
LIMA pasangan calon gubernur-wakil gubernur mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Barat. Empat pasang didukung oleh partai dan satu calon perseorangan. Mereka punya tiga bulan untuk kampanye sebelum hari pemilihan pada 24 Februari 2013.
Jumlah pemilih: 37 juta
Jumlah kabupaten: 18
Jumlah kota: 9
RIEKE DIAH PITALOKA-TETEN MASDUKI
Partai pendukung: PDI Perjuangan (17 kursi DPRD Jawa Barat)
Kepala daerah PDIP: Sumedang, Kuningan, Majalengka, Subang, Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Bekasi, Bandung Barat
Rieke Diah Pitaloka
Teten Masduki
DIKDIK MULYANA A.M.-CECEP N.S. THOYIB
Partai pendukung: Perseorangan
Dikdik Mulyana A.M.
Cecep N.S. Thoyib
YUSUF MACAN EFFENDI-LEX LAKSAMANA ZAENAL LAN
Partai pendukung: Partai Demokrat (23 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (2 kursi), Partai Amanat Nasional (5 kursi), Partai Gerakan Indonesia Raya (8 kursi)
Kepala daerah partai koalisi: Kota Bandung, Cianjur, Karawang, Kota Sukabumi
Yusuf Macan Effendi
Lex Laksamana
AHMAD HERYAWAN-DEDDY MIZWAR
Partai pendukung: Partai Keadilan Sejahtera (14 kursi), Partai Persatuan Pembangunan (8 kursi), Partai Hati Nurani Rakyat (3 kursi)
Kepala daerah partai koalisi: Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Tasikmalaya, Sukabumi, Depok
Ahmad Heryawan
Deddy Mizwar
IRIANTO M.S. SYAFIUDDIN-TATANG FARHANUL HAKIM
Partai pendukung: Partai Golkar (16 kursi)
Kepala daerah: Indramayu, Purwakarta, Banjar, Ciamis, Cimahi, Bandung, Tasikmalaya
Irianto M.S. Syafiuddin
Tatang Farhanul
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo