Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEWAN Perwakilan Rakyat dan pemerintah berencana segera mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP paling lambat pada Juli mendatang. Kendati RUU KUHP memuat sejumlah pasal bermasalah, DPR dan pemerintah memberi gelagat bahwa draf aturan itu tak akan dibahas ulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arteria Dahlan, mengklaim DPR periode lalu telah membahas RUU KUHP secara intensif dan komprehensif. “Pada prinsipnya kami menerima apa pun yang sudah disahkan pemerintah dan DPR periode kemarin,” kata Arteria, Senin, 30 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelagat Dewan bakal mengegolkan RUU KUHP tanpa pembahasan ulang mencuat dalam rapat Komisi Hukum, Rabu, 25 Mei lalu. Sebagian besar anggota parlemen menyatakan RUU KUHP tak perlu dibahas dari awal lantaran telah diketok dalam pembahasan tingkat I DPR periode 2014-2019. RUU itu batal disahkan dalam rapat paripurna DPR lantaran derasnya penolakan publik.
Mulfachri Harahap, anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Amanat Nasional, mengklaim kelompok masyarakat yang diundang pemerintah dalam rangkaian sosialisasi juga menyatakan RUU KUHP bisa dilanjutkan. “Audiens sepakat ini hasil paling maksimal yang bisa dicapai,” ujar Mulfachri, yang menjadi Ketua Panitia Kerja RUU KUHP di DPR periode 2014-2019.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan Komisi Hukum tak bisa sekonyong-konyong mengetuk palu untuk membawa rumusan itu ke rapat paripurna. “Kalau ini yang terjadi, berarti DPR dan pemerintah berlaku inkonstitusional,” ucap Bivitri.
Merujuk pada Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Tata Tertib DPR, pembahasan undang-undang carry over dilakukan seperti undang-undang lain selama telah masuk program legislasi nasional, yakni dengan adanya pembicaraan substansial.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendesak DPR membahas ulang semua pasal bermasalah, bukan cuma secara parsial. Mereka mencatat setidaknya ada 24 isu problematis dalam draf tersebut.
KPK Tahan Bekas Wali Kota Yogya
Walikota Yogyakarta periode 2012-2016 dan 2017-2022, Haryadi Suyuti, resmi memakai rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan pasca terjaring Operasi Tangkap Tangan KPK, di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 3 Juni 2022. TEMPO/Imam Sukamto
KOMISI Pemberantasan Korupsi menahan bekas Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, mulai Jumat, 3 Juni lalu. Haryadi, yang baru lengser dari jabatannya pada 22 Mei lalu, menjadi tersangka kasus dugaan suap pengurusan izin mendirikan bangunan apartemen Royal Kedhaton.
“Perizinan menjadi salah satu modus korupsi tertinggi yang ditangani KPK,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Haryadi ditangkap dengan barang bukti duit US$ 27.258 yang dikemas dalam goodie bag. KPK menduga Haryadi sudah menerima Rp 50 juta sebelum pemberian itu.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Yogyakarta Nurwidhihartana dan sekretaris pribadi Haryadi, Triyanto Budi Yuwono, juga menjadi tersangka penerima suap. Adapun Vice President Real Estate PT Summarecon Tbk Oon Nusihono disangka sebagai pemberi suap.
Kapolri Tak Copot Polisi Koruptor
KEPOLISIAN Republik Indonesia tak mencopot Ajun Komisaris Besar Raden Brotoseno, bekas narapidana korupsi. “Kalau sidang etik mengatakan tidak dipecat, ya tidak dipecat,” kata Asisten Kepala Polri Bidang Sumber Daya Manusia Inspektur Wahyu Widada di Markas Besar Polri, Senin, 30 Mei lalu.
Pada 14 Juni 2017, Brotoseno divonis lima tahun penjara dan denda Rp 300 juta karena menerima suap dalam penanganan perkara korupsi cetak sawah pada 2012-2014. Belakangan, Brotoseno diketahui masih aktif sebagai penyidik madya Direktorat Tindak Pidana Siber. Wahyu Widada menyatakan Brotoseno bertugas sebagai anggota staf di Divisi Teknologi, Informasi, dan Komunikasi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mempertanyakan alasan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mempertahankan Brotoseno. “Ini momentum untuk menanyakan kembali komitmen antikorupsi Kapolri.”
Kritik Pernikahan Ketua MK-Adik Jokowi
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kiri) dan Idayati, adik Presiden Joko Widodo. Tangkapan Layar Youtube.com/Pengantin Production
SEJUMLAH pihak mendesak Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mundur untuk menghindari konflik kepentingan karena telah menikah dengan adik Presiden Joko Widodo, Idayati. Sebab, dalam pengujian undang-undang ke MK, presiden adalah pihak yang bertentangan dengan kepentingan pemohon.
“Hubungan kekeluargaan ini tentu bermasalah baik dari segi etika profesi dan perilaku hakim,” kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Julius Ibrani, yang membuat petisi mendesak Anwar mundur dari jabatannya lewat situs Change.org, Kamis, 2 Juni lalu.
Mantan Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, juga berpendapat Anwar perlu mundur. “Suatu kehormatan moral jika Ketua MK berjiwa besar mengundurkan diri secepatnya,” ujar Busyro. Anwar sebelum menikahi Idayati berjanji tetap bersikap independen.
Ongkos Ibadah Haji Naik
MENTERI Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta tambahan anggaran biaya penyelenggaraan ibadah haji sebesar Rp 1,5 triliun, lima hari sebelum keberangkatan kelompok terbang pertama. Kenaikan itu merespons keputusan Arab Saudi menaikkan ongkos sistem paket layanan masyair senilai 5.656,87 riyal atau sekitar Rp 21 juta per anggota jemaah.
“Ini berlaku untuk seluruh dunia, bukan Indonesia saja,” kata Yaqut dalam rapat dengan Komisi Agama Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 30 Mei lalu. Komisi Agama menyetujui penambahan anggaran yang bersumber dari dana manfaat Penyelenggara Ibadah Haji Khusus, bukan dibebankan kepada anggota jemaah yang akan berangkat.
Ketua Komisi Nasional Haji dan Umrah Mustolih Siradj memprediksi biaya haji bakal naik tahun depan. “Tahun ini setidaknya bisa menjadi acuan tahun berikutnya,” ucap Mustolih.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo