Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pergulatan Rekening Sang Jaksa Agung

Para pengusaha bermasalah mengaku diminta menyetor ratusan juta rupiah ke rekening pribadi Jaksa Agung Andi Ghalib. Berbagai kejanggalan menyembul dari skandal berbau korupsi ini.

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAU korupsi menyengat dari Kejaksaan Agung. Sumbernya adalah rekening pribadi sang Jaksa Agung, Letnan Jenderal TNI Andi Muhammad Ghalib, di Bank Lippo Cabang Melawai, Jakarta Selatan. Tudingan gawat ini datang dari Indonesian Corruption Watch (ICW). Temuan LSM pengusut korupsi ini menunjukkan Ghalib telah menerima ''upeti" dari sejumlah pengusaha. Melalui 11 kali transfer (total Rp 1,84 miliar), menyembul dua nama konglomerat bermasalah: Prajogo Pangestu dan The Ning King. Prajogo pernah dipanggil kepolisian, September tahun lalu, dalam kasus pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) di Bank Andromeda, miliknya. Raja kayu dari Grup Barito Pasifik ini juga diperiksa kejaksaan, akhir Mei lalu, dalam kaitan setorannya sejumlah US$ 225 juta ke Yayasan Dharmais, Supersemar, dan Dakab, yang diketuai Soeharto. Sementara itu, The—pemilik Grup Argo Manunggal—adalah salah satu tersangka dalam kasus pelanggaran BMPK Rp 570 miliar di BRI. Sejak Februari lalu, ia dicekal atas permintaan kejaksaan. Tak pelak lagi, skandal ini makin menguatkan dugaan praktek pemerasan di lembaga penegak hukum itu. Kepada TEMPO, bos Grup Gemala, Sofjan Wanandi, mengaku pernah dicoba diperas aparat kejaksaan. Menurut seorang karibnya, jumlahnya mencapai US$ 1 juta. Jika ia bersedia menyetor, persoalan kredit macetnya tak akan diutak-atik. Sofjan menolaknya. Pengakuan gamblang bahkan datang dari kalangan dalam instansi itu. Seorang jaksa senior mengungkapkan, Gedung Bundar (gedung di kejaksaan tempat pemeriksaan kasus korupsi) telah menjadi neraka para pengusaha. ''Penyuapan dan pemerasan di sana sudah kelewatan," katanya lagi. Seorang mantan petinggi kejaksaan juga terbahak mendengar transfer duit ke rekening Ghalib itu. ''Ha-ha-ha.… Itu informasi gawat," katanya. Menurut dia, sudah lama santer terdengar rumor soal setoran uang dari beberapa pengusaha kepada Ghalib. Hanya, selama ini hal itu tidak dapat dibuktikan. ''Sekarang terbukti," katanya. Ia lalu menyatakan bahwa sepak terjang Ghalib itu—menurut Undang-Undang Antikorupsi Nomor 3/1971—jelas-jelas tergolong tindak korupsi. Ia lantas mengungkap ''rahasia" lain. Ghalib rupanya punya kebiasaan memasukkan duit dinas ke rekening pribadinya. Selain urusan Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI) itu, hal yang sama dilakukannya pada dana operasional kejaksaan dan pembangunan Masjid Baitul Adil di Kejaksaan Agung. Sang Nyonya, Andi Murniati, sami mawon. Rekening keuangan Dharma Wanita Kejaksaan juga tercatat atas namanya. Praktek ini, kata bekas petinggi kejaksaan itu lagi, jelas-jelas merupakan penyimpangan. Kepentingan dinas jadi campur aduk dengan kekayaan pribadi. Semula, Kepala Humas Kejaksaan, Soehandoyo—ternyata juga Kepala Humas PGSI, tempat Ghalib menjadi ketua umum—mati-matian membantah. Belakangan, ia terbukti membual. Ghalib, yang terpojok, mengakui temuan ICW itu sebagai rekening miliknya, meski ia lalu berdalih bahwa dana itu adalah sumbangan untuk PGSI. Para penyetor juga mengaku telah mentransfer sejumlah uang ke rekening pribadi Ghalib. Alasannya satu suara: diminta menyumbang PGSI. Kepada TEMPO, The Ning King dan kuasa hukumnya, Denny Kailimang, membenarkan telah mengirimkan Rp 200 juta via Bank Exim ke rekening tabungan No. 502-30-80470-0 atas nama A. Muh. Ghalib, S.H. ''Tapi itu sumbangan untuk PGSI," katanya. Ghalib meminta kepada The Ning King melalui Tahir—pemilik Bank Mayapada dan Bendahara PGSI. Nomor AC Ghalib itu jelas-jelas tertera pada faksimile permohonan transfer berkop Mayapada Group tertanggal 31 Maret 1999. Cuma, soal sumbangan untuk PGSI sama sekali tak disinggung. Denny membantah kliennya telah melakukan penyuapan. Buktinya, kata Denny lagi, pemeriksaan The Ning King di kejaksaan toh masih terus berlangsung. ''Kalau memang suap, seharusnya perkara Pak The Ning King sudah selesai," kata pengacara Soeharto itu. Denny menjelaskan hal serupa dalam kasus setoran Prajogo Pangestu. Dalam rekening Ghalib itu, tertera nama Tanti M.K. yang melakukan transfer atas nama Prajogo. Dari penelusuran TEMPO, yang dimaksud adalah Tanti Magdalena, staf keuangan pribadi sang raja kayu. Nomor rekening Ghalib diterimanya dari Tahir via faksimile tertanggal 9 April 1999. Penyetor lain adalah Husain Djojonegoro, Direktur Utama International Chemical Industries Co. Ltd. (InterCallin). Kepada Arif Zulkifli dari TEMPO, sesaat sebelum terbang ke Eropa akhir pekan lalu, bos baterai ABC ini juga mengiyakannya. Ia mengatakan telah empat kali mengirimkan uang ke rekening itu. Dalam data bank, tiga sumbangan itu memang jelas tertera. Transfer sejumlah Rp 15 juta pada 3 Juni belum tercatat. Menurut sekretaris Husain, Monika, dua sumbangan terakhir dikumpulkan Husain dari para agen penyalur ABC. Kisah keterkaitan Husain dimulai dua bulan lalu. Sebelum Ghalib diangkat sebagai Ketua PGSI, Tahir mengontaknya. Ia diminta menjadi Wakil Bendahara PGSI. Semula, Husain menolak dengan alasan sibuk mengelola bisnisnya. Tapi ia terus didesak. Tahir bilang, Ghaliblah yang langsung menunjuknya. ''Saya sendiri bingung. Saya tidak kenal Ghalib dan tidak punya pengalaman berorganisasi," katanya lagi. Pendek kata, setengah terpaksa, Husain pun ikut dilantik. Setelah itu, alur ceritanya sama dengan pengalaman The dan Prajogo. Melalui Tahir, Ghalib meminta Husain menggerojoki rekening pribadinya atas nama pembinaan gulat. Husain sempat bertanya kenapa uangnya harus ditransfer ke rekening pribadi Ghalib. Ia tak bisa berbuat banyak setelah mendengar jawaban Tahir, ''Itu keinginan Pak Ghalib." Husain pun mengambil langkah pengamanan. Seusai transfer, ia selalu mengirimkan pemberitahuan ke PGSI dan minta tanda terima. Anehnya, kata Monika, sampai sekarang pihaknya tidak pernah mendapat secarik pun bukti penerimaan. Sayang, Tahir tidak bisa dihubungi. Ia sudah terbang ke Amerika sebelum skandal ini meledak. Dalih soal ''pergulatan" itu jelas memendam banyak kejanggalan. Ghalib, misalnya, baru dilantik sebagai Ketua PGSI pada 13 April lalu. Padahal, sejak pertengahan Februari sampai waktu pelantikannya itu, sudah ada tiga transfer ke rekening pribadinya. (Lihat infografik.) Kok, bisa? ''Ya, karena saat itu ssu... sudah ada aktivitas," kata Soehandoyo terbata-bata. Tercatat ada dua kali pengiriman dana atas nama Ganda, Direktur PT Tri Ekasapta. Yang dimaksud adalah Eka Ganda Handria, mantan pemilik Bank Sanho, yang baru dilikuidasi. Kepada Wens Manggut dari TEMPO, melalui salah seorang kawan dekatnya, Tasril Jamal, Ganda membantah hal itu. Tapi seorang sumber mengonfirmasikan bahwa Ganda memang telah menyetor Rp 275 juta. Penelusuran TEMPO juga membuktikan bahwa alamat yang tertera di data transfer itu adalah alamat kantornya. Berbeda dengan The Ning King, Prajogo, atau Husain, Ganda ternyata mentransfernya ke nomor rekening yang berbeda. Kali ini ke nomor 502-10-52221-1, juga atas nama A. Muh. Ghalib, S.H., di bank yang sama. Padahal, menurut sumber itu, Ganda juga menyetornya untuk kepentingan gulat. Yang menjadi masalah, dari rekening inilah kartu kredit Ghalib dan istrinya, Andi Murniati, didebit. Dan data bank memperlihatkan betapa pasangan pejabat tinggi negara ini punya daya belanja yang luar biasa dahsyat. Sekali gesek, Ghalib pernah sekaligus menyedot Rp 61 juta dari pundi-pundi gemuknya itu. Bukan cuma itu. Pada 1 April lalu, misalnya, Ghalib tercatat pernah mentransfer Rp 495 juta ke rekening Hugeng Sugiono. Dari hasil pelacakan TEMPO, Hugeng adalah pemilik Toko Emas Pulau Bali di Pasar Cikini, Jakarta. Menurut petugas satuan pengamanan (satpam) di sana, juragan perhiasan mewah ini memang punya banyak pelanggan dari kalangan artis dan anak pejabat tinggi Republik. Nah, jika duit seabrek-abrek itu dipakai untuk membeli emas—jangan kaget—artinya Ghalib telah memborong 6 kilogram emas! Seorang pengurus teras Dharma Wanita Kejaksaan tak begitu heran mendengarnya. Katanya, Nyonya Ghalib memang selalu tampak gemerlapan. Ke mana-mana ia selalu tampil dengan perhiasan emas dan berlian yang amat mencolok mata. Jika skandal ini terbukti, Ghalib boleh jadi menyesali pernyataannya di depan wartawan sewaktu dilantik sebagai Ketua PGSI. Ketika itu, ia ditanya, apa alasannya bersedia memimpin organisasi olahraga tersebut. Dengan gagah dan senyum mengembang, Ghalib bilang, ''Karena saya harus bergulat melawan korupsi." Rupanya, itu termasuk bergulat dengan tudingan korupsi yang kini menghantamnya. Karaniya Dharmasaputra, Ali Nur Yasin, Dewi Rina Cahyani, Edy Budiyarso, Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus