Lama tampaknya Jaksa Agung Andi Ghalib menyiapkan 3 Juni 1999 sebagai salah satu hari ulang tahunnya yang istimewa. Sebuah buku telah siap dia luncurkan untuk merayakan genap 53 tahun usianya itu. Berjudul Kiat Andi Muhammad Ghalib Memeriksa KKN Soeharto, Keluarga, dan Kroninya, buku itu mewakili salah satu era paling gemilang dalam sejarah hidupnya: menyidik perkara korupsi mantan presiden Soeharto?sebuah buku yang ingin memotretnya sebagai pahlawan.
Andi Ghalib yang malang. Dia tak bisa hadir dalam acara penting itu?Ghalib sedang berada di Austria untuk melacak keberadaan rekening Soeharto yang diributkan majalah Time. Lebih malang lagi: sebuah "bom" meledak di tengah pesta itu, yang membuat Ghalib lebih mirip seorang badut ketimbang pahlawan.
Pagi hari sebelum pesta, Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch (ICW) melaporkan Ghalib ke Pusat Polisi Militer ABRI atas tuduhan menerima suap dari sejumlah pengusaha, antara lain The Ning King dan Prajogo Pangestu, yang belakangan terbebas dari penyidikan kejaksaan. Dalam konferensi persnya, Teten juga membeberkan isi sejumlah rekening pribadi Ghalib serta istrinya, senilai tak kurang dari Rp 9 miliar. Gaji Ghalib sebagai Jaksa Agung tak lebih dari Rp 7 juta.
Dan suap, jika benar terjadi, adalah bentuk korupsi pula.
Teten mengaku memperoleh data-data itu (lihat Pundi-Pundi `Sang Penuntut' Soeharto dan Pergulatan Rekening Sang Jaksa Agung) dari "orang dalam" perbankan. Melalui beberapa teknik, pihak ICW memastikan bahwa rekening itu benar adanya. TEMPO, yang melakukan pengecekan ulang ke lapangan, juga berhasil mengonfirmasi, misalnya, kebenaran rekening atas nama Andi Murniati?istri Ghalib?yang saldo terakhirnya per 4 Juni 1999 sebesar Rp 161 juta.
Toko Emas "Pulau Bali", yang oleh Teten disebut menerima transfer uang senilai Rp 495 juta dari keluarga Ghalib pada 1 April 1999, juga tidak fiktif. Toko itu, yang dikenal menjadi pelanggan banyak artis dan anak pejabat, terletak di bilangan Bendungan Hilir, Jakarta, dan benar milik keluarga Hugeng Sugiana?nama penerima transfer.
Kepala Humas Kejaksaan Agung Suhandoyo membantah tudingan ICW. "Ini fitnah," katanya dengan nada marah kepada wartawan. Seperti dalam kasus Soeharto versus Time, Suhandoyo juga menduga ada motif politik di belakangnya?dilakukan "menjelang pemilu" dan "saat kita sedang deras-derasnya menangani soal KKN".
Anehnya, Ghalib sendiri membenarkan adanya rekening itu. Dia berniat menuntut Bank Lippo tempatnya menabung, yang menurut dia telah melanggar kerahasiaan nasabah. Namun, seperti Soeharto, Ghalib membantah punya uang pribadi sebanyak yang diduga orang. Uang tadi, kata dia, merupakan sumbangan untuk Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI) yang dipimpinnya. Denny Kailimang, pengacara The Ning King dan Prajogo Pangestu, memang membenarkan adanya pengiriman uang ke PGSI lewat rekening Ghalib itu.
Namun, tidak seluruh keterangan Ghalib benar. Beberapa transfer dalam jumlah besar terjadi sebelum dia menjabat ketua PGSI. Sumbangan itu juga terasa sangat besar. Sebagai perbandingan, anggaran pemerintah untuk kepentingan Pelatnas SEA Games XX di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, hanya Rp 5,5 miliar, dan itu pun harus dibagi-bagi untuk hampir 20 cabang olahraga. Lebih menarik, gulat bukanlah cabang olahraga yang ikut dipertandingkan dalam SEA Games mendatang.
Lebih dari itu, bolehkah rekening organisasi bercampur-baur dengan rekening pribadi? Menurut sebuah sumber TEMPO di Kejaksaan Agung, Ghalib telah terbiasa melakukannya: menyimpan dana operasional kantornya dalam rekening pribadi, seperti istrinya sama memperlakukan dana Dharma Wanita yang dipimpinnya.
Dan tidakkah konflik kepentingan telah terjadi di situ: Ghalib sebagai jaksa pemeriksa dan Ghalib sebagai penerima dana dari pengusaha yang sama? Bagaimana Kejaksaan Agung bisa memeriksa secara fair para tersangka jika pihaknya menerima sumbangan dari mereka? Pertanyaan berikutnya: jika Ghalib bisa dibeli oleh dua pengusaha itu, mutahilkah dia dibeli oleh Soeharto (Denny Kailimang adalah salah satu pengacara Soeharto pula)?
Soeharto tidak perlu membelinya dengan rekening. Karir dan riwayat hidup Ghalib sendiri adalah bagian tak terhindarkan dari sistem Soeharto (dan Habibie).
Lahir di Bone, Sulawesi Selatan, ayak empat anak dan kakek empat cucu ini lulus sebagai sarjana hukum dari Akademi Hukum Militer dan Perguruan Tinggi Hukum Militer, Jakarta, pada 1972. Namun, banyak temannya sendiri meragukan kemampuan Ghalib sebagai Jaksa Agung.
Menurut seorang teman dekatnya di akademi itu, Ghalib tidak meniti karir di lingkungan peradilan militer, baik sebagai oditur (jaksa) maupun hakim. "Ghalib tidak pernah menangani satu kasus pun. Dia bukan orang lapangan dalam peradilan militer. Karirnya lebih banyak dihabiskan di dunia intelijen," kata sang teman kepada TEMPO.
Selesai pendidikan, Ghalib memang ditempatkan di Badan Intelijen Strategis (Bais) di bawah komando Jenderal Benny Moerdani, hingga 1977. Diselingi tugas lainnya?dua tahun sebagai atase militer di Singapura dan satu tahun sebagai Wakil Kepala Hukum Kostrad?Ghalib bertugas di Bais hingga 1988.
Ghalib memang sempat menjabat Kepala Hukum Kodam Bukit Barisan, Medan, dan Kodam Jaya, Jakarta, sebelum menjadi Kepala Oditur Jenderal ABRI (1995-1998). Namun, menurut sang teman, "Dia tak pernah menjabat oditur, melainkan hanya sebagai penasihat Pangdam untuk masalah hukum".
Jabatan terakhirnya sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung secara dramatis adalah Kepala Badan Pembinaan Hukum ABRI (1997-1998). Secara dramatis dan mendadak. Dikenal dekat dengan Presiden B.J. Habibie dan Ketua Dewan Pertimbangan Agung A.A. Baramuli, Ghalib dilantik pada 17 Juni 1998, hanya dua hari setelah pendahulunya?Jaksa Agung Soedjono Chanafiah Atmonegoro?dicopot karena melaporkan data korupsi Soeharto yang menyertakan nama Habibie di dalamnya.
Majalah Time yang menggemparkan itu mengutip sebuah sumber di Kejaksaan Agung yang menyatakan bahwa "Ghalib memang dipasang untuk melindungi Soeharto." Benarkah? Kepada TEMPO, seorang teman Ghalib memang menyangsikan keseriusannya mengusut Soeharto. Dalam acara serah-terima jabatan Kepala Badan Pembina Hukum itu, menurut cerita sang teman, Ghalib sempat mengatakan bahwa berkat Soehartolah dia punya bintang di pundaknya.
Tak hanya berutang jasa pada Soeharto. Menurut teman itu, karakter Ghalib yang "sejak dulu rakus kalau sudah menyangkut uang" juga sulit punya kredibilitas sebagai penyidik. "Orang intelijen sudah biasa melakukan pemerasan," kata sang teman, yang selama sepuluh tahun menjadi hakim militer dan mengaku berpengalaman menyidangkan kasus pemerasan oknum intelijen. "Kalau sekarang Ghalib melakukannya, itu juga bukan hal yang aneh," tambahnya.
Rp 9 miliar bukanlah jumlah yang besar untuk ukuran korupsi di Indonesia?salah satu negeri paling korup sedunia. Tidak fantastis pula jika Ghalib kini tengah membangun sebuah rumah baru di Ujungpandang dengan nilai Rp 1 miliar. Dan "wajar" belaka jika nun di luar negeri sana, keluarga ini bisa berbelanja mewah.
"Saya tahu gaya hidup Andi Ghalib sewaktu dia datang ke Washington D.C. pada Maret 1999," kata seorang warga Indonesia yang lama bermukim di ibu kota Amerika Serikat itu, dan sering memandu belanja para pejabat Indonesia yang berkunjung. Saat itu Ghalib datang mewakili pemerintah Indonesia dalam seminar tentang korupsi yang diselenggarakan Wakil Presiden Al Gore. Seusai seminar, tempat belanja yang dipilihnya adalah Tyson Corner, sebuah mal yang biasa didatangi orang-orang berkelas di kota itu. Ghalib menghabiskan US$ 43.000 (Rp 300 juta lebih) hanya untuk memborong cenderamata dan pakaian.
Wajar? Misteri rekening dan gaya hidup Ghalib menumpukkan satu lagi rasa frustrasi besar negeri ini dalam memberantas korupsi: pejabat yang paling diharapkan mampu menyeret biang koruptor justru ternyata tak menampakkan diri bisa dipercaya.
Episode ini juga menggarisbawahi rusak parahnya sistem peradilan yang muaranya jelas: hanya ada kekerasan yang senantiasa mengintai di balik kelambu hukum yang tercabik-cabik.
Farid Gaban, Wenseslaus Manggut, Setiyardi, Ali Nur Yasin, Hardy R. Hermawan, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini