Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Peringatan G30S, Ini Profil 10 Pahlawan Revolusi Indonesia

Mengenal 10 sosok Pahlawan Revolusi yang gugur dalam tragedi G30S/PKI. Ada Jenderal Ahmad Yani hingga Kapten Pierre Tendean.

30 September 2024 | 13.59 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas saat melihat sumur maut lubang buaya di Monumen Kesaktian Pancasila, Jakarta, Selasa, 29 September 2020. Tempat tersebut nantinya akan dijadikan lokasi upacara untuk peringatan Hari Kesaktian Pancasila sekaligus mengenang korban dalam peristiwa G30S/PKI khususnya tujuh pahlawan revolusi pada 1 Oktober mendatang. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pahlawan Revolusi Indonesia merupakan para pahlawan yang gugur dalam mempertahankan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 saat peristiwa Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam peristiwa itu, terdapat sembilan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan satu anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang menjadi korban. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Pahlawan Revolusi juga diakui sebagai Pahlawan Nasional. Lantas, siapa saja 10 Pahlawan Revolusi Indonesia? 

Daftar 10 Pahlawan Revolusi Indonesia

Melansir Ensiklopedia Pahlawan Nasional, Sub-Direktorat Sejarah, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan 1995, berikut profil 10 Pahlawan Revolusi

1. Jenderal Anumerta Ahmad Yani (1922-1965)

Ahmad Yani lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada 19 Juni 1922. Pada masa pendudukan Jepang, dia mengikuti pendidikan Heiho di Magelang, Jawa Tengah dan pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor, Jawa Barat 

Pada 1958, dia diangkat sebagai Komandan Komando Operasi 17 Agustus di Padang, Sumatra Barat untuk menumpas pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Kemudian, pada 1 Oktober 1965, dia diculik oleh gerombolan PKI dan jenazahnya ditemukan di daerah Lubang Buaya, Jakarta. 

2. Letjen Anumerta Suprapto (1920-1965)

Suprapto lahir di Purwokerto, Jawa Tengah pada 20 Juni 1920. Pendidikan militernya dimulai dari Akademi Militer (Akmil) Kerajaan di Bandung, Jawa Barat, tetapi sempat terputus lantaran pendudukan tentara Jepang di Indonesia. 

Pada awal kemerdekaan Indonesia, Suprapto aktif dalam usaha perebutan senjata pasukan Jepang di Cilacap, Jawa Tengah. Dalam karier kemiliterannya, dia pernah bertugas sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorium IV Diponegoro di Semarang, Jawa Tengah hingga Deputi  II Menteri/Panglima Angkatan Darat di Jakarta. 

3. Letjen Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono (1924-1965)

MT Haryono lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 20 Januari 1924. Pada masa kekuasaan Jepang, dia menempuh pendidikan di Ika Dai Gaku (Sekolah Kedokteran) di Jakarta, sedangkan pada masa proklamasi kemerdekaan, dia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan memiliki pangkat mayor. 

MT Haryono dikenal cakap berbahasa Belanda, Inggris, dan Jerman, sehingga dia ikut dalam berbagai perundingan antara Indonesia, Belanda, dan Inggris. Dia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Delegasi RI, Sekretaris Dewan Pertahanan Negara, Wakil Tetap di Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. 

4. Letjen Anumerta Siswondo Parman (1918-1965)

S Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah pada 4 Agustus 1918. Pada era kekuasaan Jepang, dia bekerja di Jawatan Kenpeitai. Dia juga sempat ditangkap karena dicurigai, tetapi dilepas kembali dan dikirim ke Jepang untuk mempelajari ilmu intelijen di Kenpei Kasya Butai. 

Usai proklamasi kemerdekaan, S Parman masuk TKR dan diangkat sebagai Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara di Yogyakarta. Pada Desember 1949, dia ditunjuk sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya, lalu menjadi Atase Militer RI di London pada 1959. 

5. Mayjen Anumerta Donald Ignatius Pandjaitan (1925-1965)

DI Pandjaitan lahir di Balige, Tapanuli, Sumatra Utara pada 9 Juni 1925. Pada era pendudukan Jepang, dia menempuh pendidikan militer Gyugun, lalu ditempatkan di Pekanbaru, Riau hingga proklamasi kemerdekaan. 

DI Pandjaitan ikut mendirikan TKR dan terpilih sebagai Komandan Batalyon. Dia kemudian menduduki beberapa jabatan, seperti Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi (1948), Kepala Staf Umum IV Komandan Tentara Sumatra, dan Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada Agresi Militer Belanda II. 

6. Mayjen Anumerta Sutoyo Siswomiharjo (1922-1965)

Sutoyo lahir di Kebumen, Jawa Tengah pada 28 Agustus 1922. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dia menjadi anggota Korps Polisi Militer, kemudian menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto serta Kepala Bagian Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo. 

Setelah itu, Sutoyo menjabat sebagai Kepala Korps Polisi Militer Yogyakarta, Komandan Korps Polisi Militer Detasemen III Surakarta, Kepala Staf Markas Besar Polisi Militer, dan Asisten Atase Militer RI untuk Inggris. Dia diculik dan dibunuh oleh pemberontak PKI karena tidak setuju dengan pembentukan Angkatan Kelima. 

7. Kapten Anumerta Pierre Tendean (1939-1965)

Pierre Tendean lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939. Selesai mengikuti pendidikan di Akademi Militer dengan jurusan teknik pada 1962, dia diangkat menjadi Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan, Sumatra Utara. 

Pada 1965, Pierre Tendean terpilih menjadi ajudan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan atau Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution. Pada 1 Oktober 1965 dini hari, gerombolan pemberontak PKI mengepung rumah Jenderal AH Nasution, Pierre ditangkap dan dibunuh. 

8. AIP Anumerta Karel Satsuit Tubun (1928-1965)

Karel Satsuit Tubun lahir di Tual, Maluku Tenggara pada 14 Oktober 1928. Dia tamat dari Sekolah Polisi Negara di Ambon dan terpilih sebagai Agen Polisi Tingkat II serta bertugas di kesatuan Brigade Mobil (Brimob) di Ambon. 

Saat pemberontakan PKI, Karel sedang bertugas sebagai pengawal di rumah Dr. Johannes Leimena yang bersebelahan dengan kediaman Jenderal AH Nasution. Dia melawan dan terjadi pergulatan, tetapi dia ditembak hingga gugur. 

9. Brigjen Anumerta Katamso (1923-1965)

Katamso lahir di Sragen, Jawa Tengah pada 5 Februari 1923. Dia pernah mengikuti pendidikan militer Peta di Bogor saat masa pendudukan Jepang. Kemudian, dia diangkat menjadi Shodanco Peta di Surakarta. 

Ketika menduduki jabatan Komandan Resor Militer atau Korem 072 Komando Daerah Militer VII Diponegoro di Yogyakarta, Katamso diculik dan dibunuh. Mayatnya ditemukan pada 22 Oktober 1965 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. 

10. Kolonel Anumerta Sugiyono (1926-1965)

Sugiyono lahir di Desa Gedaren, Gunungkidul, Yogyakarta pada 12 Agustus 1926. Pada masa kemerdekaan, dia masuk TKR dan bertugas sebagai Komandan Seksi di Yogyakarta. 

Pada 1947, dia diangkat menjadi ajudan Komandan Brigade 10 di bawah kepemimpinan Letnan Kolonel Soeharto dan ikut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. 

Pada 1 Oktober 1965, Sugiyono yang baru kembali dari Pekalongan, Jawa Tengah ditangkap gerombolan PKI di Markas Korem 072. Dia dibunuh di Kentungan, sebelah utara Yogyakarta dan jenazahnya ditemukan pada 22 Oktober 1965. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus