PENDUDUK Desa Pelabuhan Ratu, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Sukabumi
(Ja-Bar) tidak dapat lagi menangkap siaran TVRI. Tapi mereka
terus saja berlomba-lomba membeli pesawat televisi. Karena
ternyata barang itu merupakan simbol status di desa nelayan
tersebut.
Pada mulanya pesawat tv di desa ini dapat menangkap siaran TVRI
Pusat secara baik melalui stasiun relay di Bukit Cibogo, 6
kilometer dari Pelabuhan Ratu. Stasiun yang didirikan sejak 1973
itu adalah milik Samudera Beach Hotel yang memasang pesawat
televisi di beberapa kamar suite-nya. Penduduk Desa Pelabuhan
Ratu memanfaatkan stasiun itu, sehingga dalam waktu dekat sudah
banyak pesawat tv di desa itu.
Tapi karena letak stasiun relay tadi cukup jauh, 6 kilometer,
kemudian pihak hotel merasa repot mengontrolnya. Lebih-lebih
karena stasiun itu menggunakan tenaga aki. Semula pihak hotel
meminta kepada Tripida Pelabuhan Ratu agar turut merawat stasiun
itu. Namun karena permintaan itu tidak mendapat sambutan, pada
1976 akhirnya pengurus hotel memindahkan stasiun itu tanpa tiang
ke dekat hotel.
Melihat itu penduduk ribut, karena pesawat mereka tak dapat
menangkap siaran lagi. Apalagi sejak stasiun itu disambar
geledek Maret lalu. Di warung-warung, di surau dan di pasar
semua orang bicara tentang siaran TVRI Jakarta yang tidak lagi
dapat ditangkap. Di Cibadak, 60 kilometer dari Pelabuhan Ratu,
sebenarnya juga ada stasiun, tapi alat tersebut hanya mampu
merelay siaran TVRI untuk kawasan Sukabumi dan sekitarnya.
Gerimis
Akhirnya, Juni lalu, Tripida Pelabuhan Ratu bersama
pemuka-pemuka masyarakat minta agar stasiun pemancar milik
Samudera Beach Hotel dikembalikan ke Bukit Cibogo. Pihak hotel
tidak keberatan, asal "mereka bersedia menanggung biaya
perawatannya secara bersama," seperti kata asisten manajer
pemasaran hotel itu, Juddi Haryono Tahar. Nyatanya penduduk
masih sulit memenuhi persyaratan itu.
Tapi sementara itu para pemilik pesawat televisi tak mau
menyerah begitu saja. Pesawat diutak-atik agar dapat menangkap
siaran. Antena dipasang setinggi 15 hingga 20 meter, bahkan
lebih dari 100 meter lalu diputar-putar mencari gambar.
Hasilnya: gambar "hujan gerimis" atau gepeng yang terkadang
hilang samasekali.
Kalau terdengar seorang pemilik pesawat berhasil menampilkan
gambar yang agak bagus ke layar tv-nya, penduduk yang lain pun
ramai-ramai meniru arah antenanya - Bahkan ada pula yang
samasekali memindahkan tiang antenanya ke dekat antena yang
bergambar agak bagus tadi.
Ada pula yang memancangkan tiang antena di tengah sawah. Kalau
siaran masih juga terganggu antena dipindah lagi. Ke mana? "Ke
mana saja asal siaran dapat ditangkap, " kata seorang penduduk.
Pemindahan antena itu tentu main reka-reka saja. "Untuk
mendapatkan lokasi antena yang baik, ada pula yang minta
pertolongan dukun," ungkap penduduk tadi. Tapi hasilnya tetap,
gambar darl suara tak muncul.
Pesawat ukuran 14 inci, entah mengapa, ternyata lebih mampu
menangkap siaran. Akibatnya penduduk yang sempat memiliki tv
ukuran lebih besar, beramai-ramai melegonya, atau menukarnya
dengan pesawat berukuran 14 inci. Mereka membeli atau menukar
pesawat di Sukabumi atau Bandung.
Meskipun pesawat-pesawat itu tidak juga menampilkan gambar dan
suara seperti diharapkan, barang itu tetap dipelihara dengan
baik oleh pemiliknya. Bahkan selalu terpajang dengan menyolok di
ruang tamu rumah. Sebab di desa yang sebagian besar (dari 22.000
jiwa) penduduknya adalah nelayan itu, pesawat televisi telah
menjadi lambang status sosial suatu keluarga. Mungkin karena itu
pula jumlah pesawat televisi di sana meningkat setiap tahun.
Menurut Kepala Kantor Pos Pelabuhan Ratu, Nurhaedi, pada 1977
jumlah tv di sana masih beberapa buah saja. Dua tahun kemudian
telah tercatat 306 buah, tahun berikutnya sudah lebih dari 700
buah. Dari jumlah tersebut ada dua di antaranya tv berwarna.
"Itu jumlah yang resmi, belum yang liar. Tetapi yang resmi tetap
setia membayar iuran," kata Nurhaedi.
Peningkatan jumlah pesawat tv tersebut ada kaitannya dengan
besarnya penghasilan penduduk desa dari hasil laut, maupun dari
kebun cengkih. Di Pelabuhan Ratu terdapat kebun cengkih seluas
300 ha. Belum lagi setiap kk rata-rata punya 25 batang cengkih
di pekarangan rumah. Bisa dimaklumi kalau sekarang mereka
sepakat akan menyumbang pembangunan sebuah stasiun relay asal
peralatan itu dibangun sendiri oleh Pemda Sukabumi.
Tapi stasiun yang menurut perhitungan akan memakan biaya sekitar
Rp 50 juta itu, belum lagi jelas kapan dibangun. Yang pasti,
karena tak ada hiburan tv, sekarang kebanyakan penduduk tidur
sore-sore. Menurut Kepala Desa Pelabuhan Ratu, ini merupakan
ancaman bagi kelancaran program KB di sana.
Bekerja sama dengan KNPI setempat, untuk hiburan penduduk pihak
desa kini menyelenggarakan pemutaran film dua kali seminggu di
balai desa. Selain hasilnya lumayan -- uang karcisnya akan
dipergunakan membuat lapangan bola - diharapkan penduduk tidak
akan cepat-cepat naik ke tempat tidur sehingga mengancam
program KB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini