Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Perlombaan Mencari Gambar

Karena stasiun relay di bukit Cibogo dipindahkan oleh pemiliknya (Samudra Beach Hotel) maka televisi penduduk Pelabuhan Ratu tidak dapat lagi menangkap siaran TVRI Pusat.

22 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK Desa Pelabuhan Ratu, Kecamatan Pelabuhan Ratu, Sukabumi (Ja-Bar) tidak dapat lagi menangkap siaran TVRI. Tapi mereka terus saja berlomba-lomba membeli pesawat televisi. Karena ternyata barang itu merupakan simbol status di desa nelayan tersebut. Pada mulanya pesawat tv di desa ini dapat menangkap siaran TVRI Pusat secara baik melalui stasiun relay di Bukit Cibogo, 6 kilometer dari Pelabuhan Ratu. Stasiun yang didirikan sejak 1973 itu adalah milik Samudera Beach Hotel yang memasang pesawat televisi di beberapa kamar suite-nya. Penduduk Desa Pelabuhan Ratu memanfaatkan stasiun itu, sehingga dalam waktu dekat sudah banyak pesawat tv di desa itu. Tapi karena letak stasiun relay tadi cukup jauh, 6 kilometer, kemudian pihak hotel merasa repot mengontrolnya. Lebih-lebih karena stasiun itu menggunakan tenaga aki. Semula pihak hotel meminta kepada Tripida Pelabuhan Ratu agar turut merawat stasiun itu. Namun karena permintaan itu tidak mendapat sambutan, pada 1976 akhirnya pengurus hotel memindahkan stasiun itu tanpa tiang ke dekat hotel. Melihat itu penduduk ribut, karena pesawat mereka tak dapat menangkap siaran lagi. Apalagi sejak stasiun itu disambar geledek Maret lalu. Di warung-warung, di surau dan di pasar semua orang bicara tentang siaran TVRI Jakarta yang tidak lagi dapat ditangkap. Di Cibadak, 60 kilometer dari Pelabuhan Ratu, sebenarnya juga ada stasiun, tapi alat tersebut hanya mampu merelay siaran TVRI untuk kawasan Sukabumi dan sekitarnya. Gerimis Akhirnya, Juni lalu, Tripida Pelabuhan Ratu bersama pemuka-pemuka masyarakat minta agar stasiun pemancar milik Samudera Beach Hotel dikembalikan ke Bukit Cibogo. Pihak hotel tidak keberatan, asal "mereka bersedia menanggung biaya perawatannya secara bersama," seperti kata asisten manajer pemasaran hotel itu, Juddi Haryono Tahar. Nyatanya penduduk masih sulit memenuhi persyaratan itu. Tapi sementara itu para pemilik pesawat televisi tak mau menyerah begitu saja. Pesawat diutak-atik agar dapat menangkap siaran. Antena dipasang setinggi 15 hingga 20 meter, bahkan lebih dari 100 meter lalu diputar-putar mencari gambar. Hasilnya: gambar "hujan gerimis" atau gepeng yang terkadang hilang samasekali. Kalau terdengar seorang pemilik pesawat berhasil menampilkan gambar yang agak bagus ke layar tv-nya, penduduk yang lain pun ramai-ramai meniru arah antenanya - Bahkan ada pula yang samasekali memindahkan tiang antenanya ke dekat antena yang bergambar agak bagus tadi. Ada pula yang memancangkan tiang antena di tengah sawah. Kalau siaran masih juga terganggu antena dipindah lagi. Ke mana? "Ke mana saja asal siaran dapat ditangkap, " kata seorang penduduk. Pemindahan antena itu tentu main reka-reka saja. "Untuk mendapatkan lokasi antena yang baik, ada pula yang minta pertolongan dukun," ungkap penduduk tadi. Tapi hasilnya tetap, gambar darl suara tak muncul. Pesawat ukuran 14 inci, entah mengapa, ternyata lebih mampu menangkap siaran. Akibatnya penduduk yang sempat memiliki tv ukuran lebih besar, beramai-ramai melegonya, atau menukarnya dengan pesawat berukuran 14 inci. Mereka membeli atau menukar pesawat di Sukabumi atau Bandung. Meskipun pesawat-pesawat itu tidak juga menampilkan gambar dan suara seperti diharapkan, barang itu tetap dipelihara dengan baik oleh pemiliknya. Bahkan selalu terpajang dengan menyolok di ruang tamu rumah. Sebab di desa yang sebagian besar (dari 22.000 jiwa) penduduknya adalah nelayan itu, pesawat televisi telah menjadi lambang status sosial suatu keluarga. Mungkin karena itu pula jumlah pesawat televisi di sana meningkat setiap tahun. Menurut Kepala Kantor Pos Pelabuhan Ratu, Nurhaedi, pada 1977 jumlah tv di sana masih beberapa buah saja. Dua tahun kemudian telah tercatat 306 buah, tahun berikutnya sudah lebih dari 700 buah. Dari jumlah tersebut ada dua di antaranya tv berwarna. "Itu jumlah yang resmi, belum yang liar. Tetapi yang resmi tetap setia membayar iuran," kata Nurhaedi. Peningkatan jumlah pesawat tv tersebut ada kaitannya dengan besarnya penghasilan penduduk desa dari hasil laut, maupun dari kebun cengkih. Di Pelabuhan Ratu terdapat kebun cengkih seluas 300 ha. Belum lagi setiap kk rata-rata punya 25 batang cengkih di pekarangan rumah. Bisa dimaklumi kalau sekarang mereka sepakat akan menyumbang pembangunan sebuah stasiun relay asal peralatan itu dibangun sendiri oleh Pemda Sukabumi. Tapi stasiun yang menurut perhitungan akan memakan biaya sekitar Rp 50 juta itu, belum lagi jelas kapan dibangun. Yang pasti, karena tak ada hiburan tv, sekarang kebanyakan penduduk tidur sore-sore. Menurut Kepala Desa Pelabuhan Ratu, ini merupakan ancaman bagi kelancaran program KB di sana. Bekerja sama dengan KNPI setempat, untuk hiburan penduduk pihak desa kini menyelenggarakan pemutaran film dua kali seminggu di balai desa. Selain hasilnya lumayan -- uang karcisnya akan dipergunakan membuat lapangan bola - diharapkan penduduk tidak akan cepat-cepat naik ke tempat tidur sehingga mengancam program KB.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus