MUSIKALISASI atau memusikkan puisi, bukan barang baru. Tapi yang
dilakukan Slamet Abdul Sjukur dengan Parentheses V-nya di TIM,
Kamis pekan lalu, berbeda macam. Ia tidak memberikan ilustrasi
atau yang semacarn itu pada sajak Chairil Anwar, Cerita Buat
Dien Tamaela, melainkan menafsirkannya dan kemudian
mengungkapkannya kembali dalam bentuk musik.
Dan yang kemudian terdengar -- lewat 4 buah cello dan vokal
Samuelina Tahija Lubbert -- adalah sejumlah suara 'aneh' yang
ternyata sangat penuh perhitungan. Komponis brewokan -- yang
pernah pula mementaskan komposisinya terdahulu, Parentheses I-II
(1977) dan IV (1978) antara lain bersama pelukis cilik Lini-
itu, memang "mencari kemungkinan baru" dari musik.
Musik tidak hanya terdiri dari permainan naik turunnya nada,
katanya, karena ada juga warna. Hal itu ditunjukkannya lewat
cara memperlakukan alat-alat musik. Tempo hari misalnya, piano
hanya digaruk-garuk dan cello dikitik-kitik. Sekali ini,
cello-nya tak hanya digesek pada senarnya, tapi juga di bagian
lain. Di tangkai besi kakinya, misalnya. Bunyi yang meringkik
atau melenguh pada bagian tersebut, itulah sang warna.
Sedangkan nyanyian yang keluar dari mulut Samuelina, sama sekali
tak merdu merayu sebagaimana suara lin Parlina. Pernah mendengar
igauan atau erangan orang sakit panas 40ø C.? Nah, macam itu
kira-kira.
Slamet Abdul Sjukur, pemusik yang tahun 50-an belajar di Sekolah
Musik Indonesia di Yogyakarta dan kemudian melanjutkannya di
Prancis sampai 1976 itu, memang orang pertama yang memainkan
musik macam begituan di sini. Ia juga, kecuali bisa
mempertanggungjawabkan karyanya secara ilmiah, nampak punya
gairah besar untuk memasarkannya.
Tamu Asing
Malam itu misalnya, dengan bersemangat ia lantas memberikan
penjelasan panjang lebar kepada penonton. Tentang bagaimana ia
memilah-milah bunyi dan membagikannya pada keempat cello,
bagaimana ia mengiris-iris vokal/sajak secara tebal-tipis, dan
seterusnya. Sehingga -- lepas dari kesan bahwa ia sok menggurui
-- musiknya yang semula terasa ruwet dan asing itu, tiba-tiba
menjadi kelihatan sangat sederhana.
Namun, dengan atau tanpa pemahaman ilmiah, bunyi-bunyi yang
disusun Slamet itu memang mengasyikkan. Meski ia masih tetap
bagaikan tamu asing yang mengetuk-ngetuk telinga dengan lucu.
Semuanya meluncur, melompat atau melayang lewat
isyarat-isyarat Slamet sendiri, yang memimpin pertunjukan.
Misalnya, ia mengarahkan dua jarinya ke matanya sendiri. Lalu
mengarahkan telunjuknya yang mengangguk-angguk kepada para
pemain secara bergantian. Satu anggukan berarti sepotong bunyi.
Vokal, pada gilirannya menyusupkan kalimat-kalimat sajak ke
kancah bunyi tersebut. Sebuah "nyanyian" dengan melodi tak
teraba. Suara terkadang bagai pembacaan puisi biasa, tapi
kemudian ia menjauh, menipis, diselingi beberapa hentakan
meninggi seperti "tif, tif, tif" atau "dup, dup, dup" untuk
kemudian pipih dan lirih kembali.
Suara Samuelina memang boleh. Meskipun sesungguhnya ia adalah
pianis dan penata tari -- yang kini bekerja di grup balet Teater
Negara, K”ln, Jerman Barat.
Akhirnya, pada Slamet, sajak memang berubah menjadi bunyi
warna-warni. Kata- kata jadi tak berfungsi sebagai bagian dari
kalimat. Kata diucapkan, atau lebih tepat dibunyikan, hanya
jika diperlukan. Itu pun sesudah ia diletakkan di sembarang
tempat, tergantung pada maunya sang musikus.
Dan tiba-tiba, sajak Chairil itu terdengar seperti sajak-sajak
"mantera" Sutardji Calzoum Bachri. Setidak-tidaknya karena sajak
tersebut memiliki suasana mistis-magis sebagaimana sajak-sajak
karya Si Penyair Bir. Suasana itu, memang muncul dengan kuat
lewat seluruh bunyi alat-alat gesek dan vokal si cewek, selama
sekitar 45 menit.
Dan dengarlah penutupnya. Dengung 4 cello yang digesek, makin
pelan, dan kemudian lenyap. Bagaikan lenyapnya sebuah perahu
yang makin menghilang ke tengah laut, menuju entah ke mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini