Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah sajak yang digesek

Slamet abdul syukur melakukan musikalisasi (memusikkan puisi) dengan nama parenthese v di tim. diciptakan berdasarkan sajak chairil anwar. dilengkapi dengan vokal samuelina.

22 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIKALISASI atau memusikkan puisi, bukan barang baru. Tapi yang dilakukan Slamet Abdul Sjukur dengan Parentheses V-nya di TIM, Kamis pekan lalu, berbeda macam. Ia tidak memberikan ilustrasi atau yang semacarn itu pada sajak Chairil Anwar, Cerita Buat Dien Tamaela, melainkan menafsirkannya dan kemudian mengungkapkannya kembali dalam bentuk musik. Dan yang kemudian terdengar -- lewat 4 buah cello dan vokal Samuelina Tahija Lubbert -- adalah sejumlah suara 'aneh' yang ternyata sangat penuh perhitungan. Komponis brewokan -- yang pernah pula mementaskan komposisinya terdahulu, Parentheses I-II (1977) dan IV (1978) antara lain bersama pelukis cilik Lini- itu, memang "mencari kemungkinan baru" dari musik. Musik tidak hanya terdiri dari permainan naik turunnya nada, katanya, karena ada juga warna. Hal itu ditunjukkannya lewat cara memperlakukan alat-alat musik. Tempo hari misalnya, piano hanya digaruk-garuk dan cello dikitik-kitik. Sekali ini, cello-nya tak hanya digesek pada senarnya, tapi juga di bagian lain. Di tangkai besi kakinya, misalnya. Bunyi yang meringkik atau melenguh pada bagian tersebut, itulah sang warna. Sedangkan nyanyian yang keluar dari mulut Samuelina, sama sekali tak merdu merayu sebagaimana suara lin Parlina. Pernah mendengar igauan atau erangan orang sakit panas 40ø C.? Nah, macam itu kira-kira. Slamet Abdul Sjukur, pemusik yang tahun 50-an belajar di Sekolah Musik Indonesia di Yogyakarta dan kemudian melanjutkannya di Prancis sampai 1976 itu, memang orang pertama yang memainkan musik macam begituan di sini. Ia juga, kecuali bisa mempertanggungjawabkan karyanya secara ilmiah, nampak punya gairah besar untuk memasarkannya. Tamu Asing Malam itu misalnya, dengan bersemangat ia lantas memberikan penjelasan panjang lebar kepada penonton. Tentang bagaimana ia memilah-milah bunyi dan membagikannya pada keempat cello, bagaimana ia mengiris-iris vokal/sajak secara tebal-tipis, dan seterusnya. Sehingga -- lepas dari kesan bahwa ia sok menggurui -- musiknya yang semula terasa ruwet dan asing itu, tiba-tiba menjadi kelihatan sangat sederhana. Namun, dengan atau tanpa pemahaman ilmiah, bunyi-bunyi yang disusun Slamet itu memang mengasyikkan. Meski ia masih tetap bagaikan tamu asing yang mengetuk-ngetuk telinga dengan lucu. Semuanya meluncur, melompat atau melayang lewat isyarat-isyarat Slamet sendiri, yang memimpin pertunjukan. Misalnya, ia mengarahkan dua jarinya ke matanya sendiri. Lalu mengarahkan telunjuknya yang mengangguk-angguk kepada para pemain secara bergantian. Satu anggukan berarti sepotong bunyi. Vokal, pada gilirannya menyusupkan kalimat-kalimat sajak ke kancah bunyi tersebut. Sebuah "nyanyian" dengan melodi tak teraba. Suara terkadang bagai pembacaan puisi biasa, tapi kemudian ia menjauh, menipis, diselingi beberapa hentakan meninggi seperti "tif, tif, tif" atau "dup, dup, dup" untuk kemudian pipih dan lirih kembali. Suara Samuelina memang boleh. Meskipun sesungguhnya ia adalah pianis dan penata tari -- yang kini bekerja di grup balet Teater Negara, K”ln, Jerman Barat. Akhirnya, pada Slamet, sajak memang berubah menjadi bunyi warna-warni. Kata- kata jadi tak berfungsi sebagai bagian dari kalimat. Kata diucapkan, atau lebih tepat dibunyikan, hanya jika diperlukan. Itu pun sesudah ia diletakkan di sembarang tempat, tergantung pada maunya sang musikus. Dan tiba-tiba, sajak Chairil itu terdengar seperti sajak-sajak "mantera" Sutardji Calzoum Bachri. Setidak-tidaknya karena sajak tersebut memiliki suasana mistis-magis sebagaimana sajak-sajak karya Si Penyair Bir. Suasana itu, memang muncul dengan kuat lewat seluruh bunyi alat-alat gesek dan vokal si cewek, selama sekitar 45 menit. Dan dengarlah penutupnya. Dengung 4 cello yang digesek, makin pelan, dan kemudian lenyap. Bagaikan lenyapnya sebuah perahu yang makin menghilang ke tengah laut, menuju entah ke mana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus