Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Petani-petani Pintar Metropolitan

Di Surabaya, tumbuh gerakan bertanam bahan pangan sehat. Dikhawatirkan hanya tren sesaat.

24 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lahan seluas 600 meter persegi di Jalan Raya Ketintang Selatan, Surabaya, itu bukan sembarang kebun meski berbagai sayuran ditanam di situ. "Ta­namannya enggak pakai tanah," kata Imam Syafii kepada istrinya.

Pasangan asal Sidoarjo itu adalah salah satu pengunjung, yang membuat lahan pertanian di tengah kota itu tak pernah sepi. Kebunsayur—demikian nama kebun milik Venta Agustri yang dikelola bersama istrinya, Gina Novilla, dan keponakannya, Mehdy Riza, tersebut—menggunakan air sebagai media bercocok tanam.

Bertanam sejak Mei 2014, Kebunsayur panen pertama pada Juli lalu. Sayur yang dihasilkan leaf lettuce, oakleaf lettuce, butterhead, endive, kailan, bayam merah, arugula, ruchetta, dan cos romaine. Ada pula tomat cherry dan beef tomato. Sayuran lokalnya: bayam dan kangkung.

Dalam sehari, produksi rata-rata sayur hidroponik mencapai 20-25 kilogram. Harganya Rp 50 ribu per kilogram, kecuali arugula yang Rp 150 ribu per kilogram dengan pembelian minimum 2 kilogram. "BEP-nya lebih cepat. Apalagi ini organik, yang pasarnya memang super," ujar Mehdy, manajer kebun itu, Selasa dua pekan lalu.

Venta, Gina, dan Mehdy bukan petani atau sarjana pertanian. Venta alumnus teknik sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) dan mantan pekerja perusahaan tambang, sedangkan Mehdy sarjana manajemen. Mereka berkebun setelah mengikuti pelatihan selama lima hari di Jakarta.

Toh, Kebunsayur terbilang sukses. Meski pemain baru, mereka bisa memasok kafe, restoran, dan hotel hingga ke Batam dan Papua. Hasil produksinya juga untuk restoran milik Venta sendiri.

Kebun sayur di tengah kota juga dikembangkan ITS dan Universitas Surabaya. ITS memiliki Pusat Akselerasi Program Prioritas Eco Campus, sedangkan Universitas Surabaya mempunyai kebun yang dikelola sebuah lembaga otonom, Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan (Pusdakota).

Seperti Venta, cara bercocok tanam kedua lembaga ini pun bukan seperti petani konvensional, meski menggunakan media tanah. Eco Campus memberdayakan lahan rawa seluas 300 meter persegi di sebelah kampus Jurusan Teknik Material dan Metalurgi. Kebun yang menghasilkan sayuran organik itu dibangun dengan dana hibah dari Selandia Baru sebesar Rp 150 juta pada 2013. ITS menamai produknya SayOr ITS atau sayuran bebas bahan kimia.

Pengelola SayOr ITS, M. Munif Effendi, mengatakan sayuran itu ditanam di green­ house. Semula hanya ada empat rumah kaca, masing-masing dua petak berukuran 5 x 6 meter dan dua lainnya berukuran 5 x 12 meter. Setengah tahun lalu, mereka membangun empat green house baru.

Lulusan Institut Pertanian Bogor itu awalnya sempat kesulitan karena masalah tanah. "Karena bekas rawa, tanahnya berlumpur, enggak bagus buat tanam." Tapi, setelah diuruk, tanah itu mudah ditanami.

Rumah kaca dilindungi plastik ultraviolet untuk menghindari sengatan cahaya matahari langsung. Penyiraman dilakukan dengan sprinkle. Nutrisinya dari kompos dan pupuk cair produksi sendiri. Pembasmian hama dilakukan secara manual. Jika tidak mempan, dibuatkan "pestisida" organik dengan menanam tanaman yang dibenci hama atau bio pestisida.

SayOR ITS memproduksi kangkung darat, bayam hijau dan merah, bayam lurik, baby cucumber, caisim, gambas, sawi, terung bulat, terung ungu, buncis, kacang panjang, serta pare. Sayuran impor yang ditanam adalah bayam Jepang horenzo dan pakchoi atau Brassica chinensis. "Setiap bulan selalu ada variasi sayuran baru," ucap Munif.

Masa panennya rata-rata 20-21 hari. Kecuali sawi dan pakchoi yang bisa sampai 25-28 hari. Kebun ini bisa menghasilkan 1 kilogram sayur organik per meter persegi. Harga jualnya Rp 5.000 per 250 gram. Saat ini, SayOr dijual di sekitar kampus. Masyarakat juga bisa petik, timbang, dan kemas melalui Bazar SayOr di ITS setiap Jumat pagi.

Akan halnya Pusdakota Universitas Surabaya memanfaatkan lahan 3.000 meter persegi di Jalan Rungkut Lor III, Surabaya. "Dulu ini tempat warga buang sampah," kata Wakil Direktur Pusdakota, Broto Suwarso alias Gatot.

Pusdakota menyertakan warga sekitar untuk memanfaatkan lahan sempit perkotaan. Penduduk diajari mengelola sampah dan lahan. Di bagian belakang, terdapat rumah kompos, resapan air berbentuk seperti danau mini, serta alat peraga membuat nutrisi tanah dan pengolahan sampah dengan metode tarakura untuk menghasilkan kompos.

Beragam sistem tanam ada di lahan itu. Dari vertikultur atau pertanian vertikal, semi-hidroponik, hingga tanaman hias. Segala sayuran, tanaman obat, dan buah, dari mangga sampai kenitu, ada di situ.

Pupuk dan air yang dipakai merupakan hasil produksi sendiri. Selain memproduksi kompos, Pusdakota membuat ragi untuk campuran tempe, tape, fermentasi yoghurt, dan air gula buat nutrisi tanaman.

Air diambil dari sungai di seberang Pusdakota. Sungai yang dulu dipenuhi sampah itu dibersihkan. Airnya disaring untuk menyiram tanaman, bahkan buat kolam ikan. Semua bebas dari bahan kimia. Pusdakota ingin memanfaatkan semua potensi di lingkungan itu.

Sistem tandur katresnan atau menumbuhkan kecintaan bertanam ditularkan kepada ibu-ibu, anak-anak, dan komunitas. Mereka diajak memanfaatkan lahan yang ada, lalu menularkannya kepada warga sekitar.

Cara ini, kata Gatot, efektif untuk melatih warga mengembangkan pangan sehat. Selain memenuhi kebutuhan sendiri, mereka jadi peduli pada lingkungan dan kesehatan.

Soal produksi, Pusdakota menghasilkan 35-50 kilogram sayuran organik setiap pekan. Kangkung, bayam merah dan hijau, serta sawi dijual Rp 3.000 per ikat atau setiap 1,5-2 ons. Kecuali kailan dan selada dijual Rp 5.000 per ikat.

Pusdakota juga menjual bibit, yang bisa menghasilkan Rp 7-9 juta per bulan. "Sekarang, kalau warga butuh bibit tanaman, mereka langsung ke sini."

Ketua Eco Campus ITS Haryo Dwito Armono mengakui awalnya banyak yang mempertanyakan keputusan ITS bertanam sayur. "Kampus teknik kok beralih ke pertanian?" ujar Haryo. Menurut dia, urban farming sejalan dengan program Rektor ITS Tri Yogi Yuwono, yang mencanangkan Eco Campus.

SayOR merupakan bagian dari proyek penelitian. Produksi sayuran bisa memanfaatkan semua bidang perkuliahan di ITS, dari produksi hingga pemasaran. Teknik fisika menciptakan sistem penyiraman dan pencegahan hama via ultrasonik. Jurusan biologi dilibatkan dalam uji coba rosella dan bio pestisida. Teknik industri menciptakan sistem logistik dan manajemen pasokan. Jurusan matematika dan statistika memikirkan pola urutan tanaman sehingga bisa panen setiap hari.

Sosiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, menilai fenomena urban farming sebagai gerakan di kalangan masyarakat kelas menengah. "Gaya hidup orang kota yang mulai memahami kesehatan dan lingkungan melahirkan sayur organik."

Bagong khawatir gerakan itu hanya mode yang populer sesaat lalu hilang, seperti tren gaya hidup kelas menengah masyarakat urban.

Tapi para petani modern itu sepertinya tak ingin menyerah. Gatot, misalnya, justru meluaskan sasarannya. Ia terus memberikan pelatihan dan penyadaran tentang pangan sehat. Ia berharap 80 persen keluarga menggunakan pangan organik. Akan halnya Venta Agustri menggandeng sejumlah mitra untuk bersama-sama memenuhi kebutuhan pasar. "Dengan begini, saya yakin kita bisa swasembada pangan."

Bagong menyarankan, jika ingin gerakan ini berkesinambungan, pemerintah kota harus memasukkannya ke desain perencanaan wilayah.

Endri Kurniawati, Agita Sukma Listyanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus