Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Musim Hijrah Korban Pertama Industri Tembakau

Petani tembakau di sejumlah daerah beralih ke tanaman pangan. Puluhan tahun menjadi korban pertama gurihnya bisnis rokok.

31 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petani menutup lembaran tembakau rajangan yang telah kering di Desa Dampit, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 2016. TEMPO/STR/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Petani tembakau di sejumlah daerah beralih ke budi daya tanaman pangan.

  • Industri tembakau dianggap tak memenuhi prinsip keberlanjutan.

  • Petani tembakau terjebak dalam siklus kemiskinan.

GENAP sepuluh tahun Istanto meninggalkan profesinya sebagai petani tembakau. Warga Desa Candisari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu melihat peluang tanaman pangan lebih menguntungkan ketimbang menanam Nicotiana tabacum. “Sekarang kami fokus bertani ubi jalar dan sayuran,” kata Istanto, yang kini menjadi Ketua Forum Petani Multikultur, Selasa, 30 Mei 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria berusia 62 tahun itu mengenal budi daya ubi jalar pada 2012. Saat itu, tembakau yang ditanam keluarganya dua kali gagal panen karena hujan turun hampir sepanjang tahun imbas kemarau basah. Padahal waktu terbaik menanam tembakau adalah pada musim kemarau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak mau lahannya terbengkalai karena cuaca, Istanto berusaha mencari tanaman lain yang cocok ditanam saat kemarau basah. Dia mendatangi Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Magelang untuk berkonsultasi. Di sana, ia disarankan untuk menanam ubi jalar sebagai tanaman alternatif yang bisa dibudidayakan di wilayahnya. “Sarannya menanam ubi madu. Lalu diberikan bibitnya gratis dari dinas pertanian,“ ucapnya.

Istanto langsung menyemai bibit ubi jalar di lahan yang juga masih ditumbuhi tembakau yang sudah sekarat. Awalnya, kata dia, keluarga dan petani lainnya menyangsikan usahanya. Sebab, seluruh petani di Kecamatan Windusari sudah lama bergantung pada pertanian tembakau.

Empat bulan setelah penyemaian, usahanya mulai membuahkan hasil. Dia tidak menyangka panen pertama di lahan seluas 1.500 meter persegi bisa menghasilkan 3 ton ubi jalar. Tanaman hortikultura itu laku terjual Rp 3 juta. Sebelumnya, ketika menanam tembakau di lahan yang sama, Istanto hanya menghasilkan duit paling banyak Rp 2 juta sekali panen.

Melihat hasil panen ubi jalar lebih menjanjikan, saat proses tanam kedua pada tahun berikutnya, Istanto memutuskan tidak lagi mempertahankan tembakau di kebun itu. Seluruh lahan milik keluarganya dijadikan kebun ubi. Setelah setahun, produksi ubi mengalami peningkatan karena Istanto mendapatkan pembinaan dari pemerintah untuk membudidayakan ubi. Pada 2017, kata dia, lahannya bisa meningkatkan produksi hingga tiga kali lipat di luas area yang sama karena telah mempelajari cara pengolahan lahan untuk memperbaiki unsur hara yang dibutuhkan ubi. “Sekali panen bisa mendapatkan Rp 8 juta,” ujarnya.

Melihat usaha Istanto membuahkan hasil, satu per satu petani di Desa Candisari beralih membudidayakan ubi jalar. Para petani melirik ubi jalar karena perawatannya jauh lebih efisien. Tata niaga penjualannya pun lebih mudah. “Proses tanam, perawatan, hingga penjualan tembakau panjang dan sulit,” kata Istanto. “Jualnya ke tengkulak dan harganya bisa dimainkan."

Petani memetik daun tembakau di Desa Dampit, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 2016. TEMPO/STR/Prima Mulia

Saat ini, menurut Istanto, sebanyak 17 dari 20 desa di Kecamatan Windusari telah melakukan diversifikasi total dari tembakau ke budi daya ubi jalar, sayuran, dan kopi. Mereka yang menanam ubi jalar telah menerapkan pola tanam yang bisa dipanen setiap hari dan langsung dibeli penjual. Itu sebabnya, ia hakulyakin tanaman pangan jauh lebih menguntungkan karena adanya kepastian dari pembeli.

Di sisi lain, Istanto bersyukur bisa memutus sumber penghasilan keluarganya dari bisnis tembakau yang tata niaganya ia anggap sangat merugikan petani. Saat ini, Istanto pun giat mengajak petani lain agar segera beralih dari tembakau ke tanaman hortikultura lainnya. “Berdasarkan sensus tahun lalu, sudah ada sekitar 15 ribu petani di wilayah kami yang beralih ke tanaman pangan,” ucapnya.

Di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Asnawi punya pandangan yang sama dengan Istanto. Pria berusia 44 tahun ini berhenti menanam tembakau di ladangnya sejak sewindu lalu. Sebelumnya, selama dua dekade, warga Desa Tegal Mijin, Kecamatan Grujugan, ini menjadi petani tembakau. “Saya beralih ke padi organik dan cabai yang harganya lebih stabil,” kata Asnawi. “Saya sudah kecewa terhadap tata niaga tembakau yang merugikan petani.”

Dia menjelaskan, proses tanam hingga menjual hasil tembakau sangat panjang. Setelah dipetik, tembakau mesti dikeringkan dan disortir untuk kemudian dijual ke tengkulak. Setelah sampai di tangan tengkulak, kata Asnawi, seleksi ulang pun dilakukan terhadap tembakau-tembakau yang dianggap layak untuk dibeli.

Walhasil, Asnawi, petani tembakau tidak pernah mendapatkan harga yang sesuai dari pembeli akhir tanaman mereka, yakni industri rokok. Harga tembakau di tengkulak biasanya dibanderol Rp 3,5 juta per kuintal. Padahal industri bisa membeli harga tembakau dari tengkulak hingga Rp 4,5-5,5 juta per kuintal. Petani akan lebih merana pada musim panen ketika para grader, penilai kualitas tembakau, menilai rendah hasil panen mereka. "Kadang-kadang grader juga 'bermain' dengan tengkulak,” ujarnya. “Di desa kami, sudah tidak ada yang mau membudidayakan tembakau karena tata niaganya tidak sehat.”

Menurut  Asnawi, mayoritas petani di desanya kini telah beralih membudidayakan tanaman pangan dan hortikultura. Sebagian besar petani tembakau di kampungnya hijrah ke tanaman cabai dan padi organik karena harga jual yang lebih tinggi dan menguntungkan. Sekali panen, lahan seluas 1 hektare akan menghasilkan keuntungan Rp 75 juta jika harga cabai mencapai Rp 40-45 ribu per kilogram.

Seperti di Magelang, upaya sebagian petani tembakau di Bondowoso untuk beralih ke tanaman hortikultura juga disokong oleh pemerintah daerah. Pemerintah Kabupaten Bondowoso, Asnawi mencontohkan, turut menyalurkan subsidi pupuk dan menyediakan lahan seluas 5 hektare kepada kelompok tani di Desa Mijin untuk membudidayakan cabai sebagai produk unggulan.

Tembakau Perlahan Ditinggalkan

Petani Tembakau Jadi Korban Pertama Industri Rokok

Penasihat Senior Aliansi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara (SEATCA), Mary Assunta, mengatakan bahwa pemerintah Indonesia mesti mendorong petani tembakau beralih ke tanaman pangan, seperti beras, jagung, pisang, mangga, cabai, tebu, dan singkong. Dorongan itu diperlukan atas dasar sejumlah alasan.

Pertama, menurut Mary, tanaman tembakau selama ini tidak mendukung prinsip-prinsip keberlanjutan dan mengancam lingkungan hidup. Budi daya tanaman tembakau memerlukan waktu sekitar sembilan bulan sejak penyemaian hingga pemanenan. Saat menanam tembakau, petani sulit menanam tanaman lain pada tahun yang sama karena perawatan tanaman tembakau lebih rumit.

Rumitnya perawatan itu pula yang membuat tingginya konsumsi banyak zat kimia pada pertanian tembakau. “Dari kajian kami juga menunjukkan bahwa industri tembakau membuat petani ketergantungan pada pinjaman, bibit, dan bahan kimia untuk kebutuhan mereka,” kata Mary dalam diskusi pengendalian tembakau yang diselenggarakan SEATCA di Chiang Mai, Thailand, pada 9-10 Mei lalu.

Persoalan lainnya, seperti diutarakan oleh Istanto dan Asnawi, tata niaga tembakau juga terbukti merugikan petani. Industri rokok, kata Mary, selama ini cenderung hanya memanfaatkan petani untuk menentang upaya pengendalian tembakau. Sedangkan lamanya waktu yang dibutuhkan petani untuk membudidayakan tembakau tak dibayar sepadan akibat rendahnya harga jual tembakau. "Petani tembakau terjebak dalam siklus kemiskinan," kata Mary.

Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Budaya Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, menguatkan pernyataan Mary itu. Menurut dia, pemerintah mesti mendorong peralihan petani ke tanaman pangan karena dampak negatif tembakau terhadap lingkungan. Pertanian tembakau, kata dia, berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan karena proses tanamnya membutuhkan banyak zat kimia seperti pestisida. Cara pengeringannya yang menggunakan kayu bakar juga dinilai turut andil dalam penggundulan hutan. “Bahkan petaninya berpotensi terserang green tobacco sickness,” katanya.

Green tobacco sickness adalah bentuk keracunan nikotin akut yang berisiko dialami petani tembakau. Kondisi ini disebabkan oleh absorpsi nikotin dari tembakau melalui kulit saat proses budi daya dan panen.

Petani menjemur rajangan tembakau di Desa Dampit, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 2016. TEMPO/STR/Prima Mulia

Saat ini, menurut Abdillah, sebagian petani mulai memahami dampak negatif dari budi daya tembakau. Sehingga sebagian petani mulai beralih ke tanaman lain, seperti kopi, cabai, ubi, dan produk hortikultura lainnya, yang dianggap lebih menguntungkan. “Sedangkan tata niaga tembakau selama ini cenderung merugikan petani karena mereka tidak bisa langsung menjual ke industri, melainkan lewat tengkulak,” ucapnya.

Abdillah juga menyoroti kenaikan konsumsi rokok hingga 330 miliar batang per tahun di Indonesia yang tidak berdampak pada tingkat ekonomi petani. Pasalnya, industri rokok sebenarnya juga masih bergantung pada tembakau impor karena produksi tembakau dalam negeri hanya mencapai 230 ribu ton per tahun, kurang dari kebutuhan 300 ribu ton per tahun. Di sisi lain, tak semua tembakau yang dipanen petani bisa diserap industri karena berbagai alasan. "Sehingga sekarang peralihan petani tembakau ke tanaman lain berjalan secara alami karena tembakau memang sudah tidak menguntungkan,” kata Abdillah.

Ketua Muhammadiyah Tobaco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang, Retno Rusdjijati, membenarkan soal banyaknya petani tembakau yang beralih menanam tanaman pangan disebabkan oleh buruknya tata niaga tembakau. Di sisi lain, cuaca juga turut menjadi faktornya. “Hujan saat ini sulit diprediksi karena hampir turun sepanjang tahun. Jadi, faktor cuaca juga menjadi variabel penting dari peralihan petani tembakau,” kata Retno, yang ikut membina peralihan petani tembakau ke tanaman pangan dan hortikultura, termasuk Istanto.

Menurut Retno, sebagian petani memang masih mau bertani tembakau karena menganggap tanaman tersebut telah menjadi warisan budaya mereka. Masyarakat di beberapa daerah bahkan mempercayai mitos menanam tembakau akan membawa keberkahan. “Sehingga ada yang merawat tembakau sudah seperti merawat bayi yang sepanjang hari, mulai dari awal tanam sampai panen, terus dijaga,” ujarnya.

IMAM HAMDI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus