Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Petrus, tujuh tahun lalu

Masyarakat jakarta dan kota-kota besar di indonesia sejak 1983 dikejutkan mayat misterius. penembak misterius (petrus) cara mengatasi penjahat. menlu belanda hans van den broek protes.

17 November 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI mungkin penyebabnya berbeda, munculnya mayat-mayat misterius di Aceh dan Sumatera Utara sebenarnya bukan hal baru. Tujuh tahun silam, sepanjang 1983, warga Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya di Indonesia pernah juga digegerkan oleh mayat-mayat yang terpuruk di selokan, mengambang di sungai, atau tergolek di pinggiran jalan. Mereka kemudian dikenali sebagai gali, atau para residivis kambuhan, yang dihabisi. Yang tidak jelas justru pelakunya. Ketika itu beredar isu adanya "penembak misterius" atau "pembunuh misterius" yang dikirim aparat keamanan sendiri. Dari situlah muncul istilah "petrus" (penembak misterius). Namun, Jenderal L.B. Moerdani, selaku Panglima Angkatan Bersejata/Pangkopkamtib waktu itu, membantah. "Indonesia adalah negara hukum. Penembakan hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa. Yakni, bila penjahat melawan atau mencoba melarikan diri." Mayat-mayat misterius itu, menurut Moerdani, mungkin akibat adanya perang antargeng. Toh, masyarakat tidak begitu saja percaya. Untuk menjawab berbagai hal yang masih samar-samar, pada 1984, Mulyana W. Kusumah, seorang ahli kriminologi Universitas Indonesia, membuat sebuah riset dengan judul "Penelitian tentang Aspek-Aspek Kriminologis Pemberantasan Kejahatan di Jakarta". Dari sini misteri di sekitar mayat-mayat itu sedikit terkuak. Kelahiran "petrus", kata Mulyana, merupakan lanjutan Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) di beberapa kota besar. Mula-mula dicanangkan oleh Komandan Garnisun Yogyakarta Letnan Kolonel M. Hasbi pada bulan Maret 1983, lalu diikuti daerah-daerah lain, termasuk Jakarta. Aparat keamanan menyatroni sarang penjahat, melakukan penangkapan, dan tidak mengharamkan "tembak di tempat" bila mereka melawan. Ribuan gali Jawa Tengah buru-buru menyerahkan diri, kabur ke hutan, atau tiba-tiba berubah jadi orang baik-baik. Tindakan itu, menurut Mulyana, merupakan bentuk reaksi sosial terhadap kejahatan yang sudah melewati batas, sekaligus merupakan jawaban aparat keamanan yang dinilai makin tak berwibawa. Memang, pada masa itu Yogyakarta rawan gali. Sopir-sopir kendaraan umum dibayang-bayangi para calo. Jalan-jalan umum dipenuhi jambret yang tak segan-segan membunuh. Suatu malam, seorang mahasiswi dibacok lehernya setelah tasnya dijambret. Belum lagi kasus-kasus penggarongan dan perkosaan. "Perbuatan mereka sudah keterlaluan," kata Pangdam VII Diponegoro Mayor Jenderal Ismail (waktu itu). Bahkan, Ismail mengaitkannya dengan tujuan-tujuan politis tertentu. "Tujuannya untuk memupuk dana demi kepentingan yang bersifat elitis," ujar Ismail. Maka, biang-biang gali pun diburu. Slamet Gaplek, gembong gali yang malang-melintang di Jawa Tengah, terjungkal lewat operasi ini. Umumnya masyarakat merasa lega. Maka, langkah Hasbi segera ditiru Jakarta. Pangkowilhan II Yogie Suardi ketika itu memuji OPK model Yogyakarta. "Tujuannya baik, untuk menciptakan suasana tenang dalam masyarakat," ujar Yogie. Sebenarnya, sebelum Hasbi memperkenalkan idenya, Jakarta sudah menggelar "Operasi Celurit". Namun, operasi ini terasa kepalang tanggung karena hanya berniat membersihkan jalan raya dan tempat-tempat umum dari senjata tajam. Lalu Jakarta pun digebrak. Dari sinilah mula-mula lahir istilah "petrus". Muncul pertama kali April 1983, ketika belasan mayat tak dikenal ditemukan di berbagai tempat. Gemanya segera meluas ke Medan, Jawa Tengah, Bandung, Jawa Timur, dan daerah-daerah yang dinilai rawan bandit. Disebut misterius karena identitas "petrus" memang serba gelap. Yang pasti, mereka bekerja secara berkelompok, minimal empat orang. Cara kerja mereka rapi dan terencana. Korban diculik dari rumah atau sarangnya -- biasanya malam hari -- lalu diseret ke dalam jip. Esok atau lusanya, si korban sudah tergeletak di suatu tempat. Peluru menembus bagian tubuh yang mematikan: ulu hati, jantung, atau kepala. Ahli forensik dari Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, dr. Abdul Mun'im Idries, menyimpulkan bahwa korban ditembak dari jarak sekitar dua meter. Penelitian Mulyana menemukan ciri lain. Sebelum dihabisi, korban digebuki dahulu. Bahkan ada yang lehernya dijerat dengan tali. Tak ada yang bisa memastikan berapa jumlah korban "petrus". Hingga Juli 1983 tercatat 300 orang untuk seluruh Indonesia. Angka itu, menurut L.B. Moerdani, bisa bertambah. Kabarnya, banyak mayat bandit yang hilang tanpa bekas. Mulyana memperkirakan tak kurang dari 2.000 orang. Bahkan ada yang menyebut sekitar 3.000. Pro dan kontra segera merebak, di dalam dan di luar negeri. Mulyana, misalnya, menyebutnya sebagai tindakan "ekstralegal" yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Menteri Luar Negeri Belanda Hans van den Broek, yang pada Januari 1984 mengunjungi Indonesia, secara diplomatis juga mengecamnya. "Kami mengharapkan Indonesia dapat melaksanakan konstitusi dan tertib hukum," katanya. Broek pula yang mengatakan petrus menyambar tiga ribu nyawa. Gara-gara ucapannya, Broek sempat dituding mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Presiden Soeharto sendiri, dalam otobiografi Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya pada bab 69, menyebut dunia internasional dan mereka yang mempermasalahkan "kemisteriusan" penembakan itu "tidak mengerti masalah yang sebenarnya". "Kejadian itu misterius juga tidak. Masalah yang sebenarnya adalah bahwa kejadian itu didahului ketakutan oleh rakyat." Orang-orang jahat itu, menurut Presiden, sudah bertindak melebihi batas peri kemanusiaan. "Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas," kata Presiden. Priyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus