ACEH, kata Snouck Hurgronje, adalah "sebuah negeri perompak yang sudah tua". Penduduknya fanatik pada agama Islam, "penuh tipu muslihat, benci kepada orang kafir, gemar berperang, dan sejak dulu lebih mencurahkan perhatiannya kepada perang dibandingkan dengan suku bangsa mana pun di pulau-pulau sekitarnya". Snouck, penasihat pemerintah Hindia Belanda, punya alasan untuk mendasari pernyataannya. Telah berabad-abad orang Aceh memusingkan para pedagang Eropa yang datang ke Aceh untuk mencari lada -- hasil utama Aceh saat itu. Perampokan dan pembunuhan di atas kapal asing yang berdagang di pelabuhan-pelabuhan Aceh telah menjadi ikhwal yang kronis. Aceh kemudian lebih memusingkan ketika rakyat Aceh memberontak melawan usaha Belanda untuk menjajah Aceh -- daerah terakhir di Indonesia yang belum dikuasainya. Pada 1893, waktu Perang Aceh telah berlangsung 20 tahun dan belum tampak ada tanda-tandanya akan berhenti, Snouck, yang ahli mengenai Islam dan pernah tinggal di Mekah pada 1884-1885, diminta memberikan nasihatnya. Snouck kemudian tinggal dan melakukan penelitian di Aceh. Hasilnya adalah sebuah kajian penting yang pertama kali dilakukan mengenai adat budaya Aceh, yang diharapkan bisa menjadi kunci untuk memahami Aceh, dan memadamkan perlawanan mereka. Dua bagian pertama dari laporan Snouck kemudian diterbitkan dalam buku De Atjehers (1893 dan 1894). Cukup banyak peranan studi Snouck ini dalam keberhasilan Belanda memadamkan perlawanan rakyat Aceh (1873-1942) hingga menyebabkan Snouck hingga kini dibenci masyarakat Aceh. Betapa gigihnya perlawanan rakyat Aceh bisa dilihat dari jumlah korban antara 1873 dan 1914: lebih dari dua ribu serdadu Belanda tewas, dan 10.500 meninggal karena sakit. Di pihak Aceh, 60 sampai 70 ribu tewas, dan 25 ribu tahanan meninggal. Namun, di sisi lain, studi Snouck menunjukkan betapa pentingnya pemahaman latar belakang adat istiadat dan budaya suatu masyarakat, sebelum menetapkan kebijaksanaan mengenai masyarakat tersebut. Heroisme rakyat Aceh melawan penjajah Belanda memang patut dibanggakan. Namun, yang menarik, gejolak di Aceh ternyata tak padam setelah masa kemerdekaan. Pertentangan intern dalam masyarakat Aceh melahirkan Peristiwa Cumbok. Lalu muncul Pemberontakan Darul Islam yang dipimpin Daud Beureueh (1953-1962). Setelah itu, dalam skala yang lebih kecil, masih ada gerakan Aceh Merdeka, Bantaqiah, dan kini gerombolan pengacau -- yang oleh aparat keamanan disebut sebagai GPK (Gerombolan Pengacau Keamanan). Mengapa Aceh selalu gelisah? Tampaknya, ada berbagai faktor yang bercampur di sana. Sifat masyarakat Aceh yang "keras", kebanggaan akan masa lalu, peran budaya dan agama yang sangat erat dengan kehidupan, semuanya ikut berperan. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, seorang putra Aceh, dalam bukunya Pemberontakan Kaum Republik mencatat, meski memiliki catatan yang panjang tentang perlawanan terhadap Belanda, Aceh memiliki integrasi yang minimal dengan wilayah Indonesia lainnya. Soalnya, pada masa kolonial, masyarakat Aceh hampir-hampir tidak berhubungan dengan organisasi-organisasi nasionalis di berbagai daerah lain di Indonesia. Apakah faktor-faktor itu -- termasuk keterpencilan Aceh di masa silam -- juga turut berperan dalam menumbuhkan kegelisahan rakyat Aceh? Maka, tatkala pembangunan mulai menyerbu Aceh, dan ketika ternyata masyarakat kurang disiapkan untuk menyambutnya (termasuk penyediaan tenaga trampil), lalu menyebabkan masuknya tenaga kerja pendatang, muncullah kekecewaan dan kecemburuan. Dalam kondisi seperti itu, memang amat gampang untuk mengipas rasa sentimen, apalagi bila didandani dengan bunga-bunga kebanggaan masa silam. Mungkin kita bisa belajar dari Snouck. Bukan untuk tujuan memadamkan, tapi untuk bagaimana berusaha memahami latar belakang suatu kegelisahan. Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini