Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENENTENG tas hitam dan dua bundel dokumen, Didi Irawadi tergopoh-gopoh masuk ke ruang rapat kantor ayahnya, pengacara Amir Syamsuddin, yang menjabat Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat. Di lantai 9 Menara Sudirman, Jakarta, pada Rabu siang pekan lalu itu Amir sedang menerima Tempo dan Wali Kota Samarinda Syaharie Ja'ang.
Tak peduli terhadap tamu-tamu ayahnya, juga sup dan salmon fillet yang tersaji di meja, Didi nyerocos bahwa ia datang membawa pesan Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono agar Syaharie membuat testimoni tentang tuduhan korupsi yang tengah membelitnya. "Ini pesan langsung dari Pak SBY," kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat ini.
Amir memberi kode kepada anaknya itu agar berhenti bicara. "Nanti saja setelah makan siang," ujarnya. Alih-alih menuruti, Didi terus berbicara. Ia mengalihkan pandangan kepada Syaharie yang duduk sedepa darinya. Kepadanya, Didi mengulang omongan tentang pesan Yudhoyono itu. Didi baru berhenti setelah Amir mengenalkan Tempo.
Amir mengakui Yudhoyono dan elite-elite Demokrat gusar terhadap kabar Syaharie bakal dijemput paksa oleh polisi karena dua kali mangkir dari panggilan pemeriksaan. Polisi menuduh Syaharie telah melakukan korupsi lewat Surat Keputusan Wali Kota Samarinda Nomor 551.21/083/HK-KS/II/2016 tentang Pengelola dan Struktur Tarif Parkir Pelabuhan Peti Kemas Bukuan Palaran.
Polisi memanggil Syaharie sebagai saksi untuk pemeriksaan dengan terlapor dirinya sendiri atas perkara lawas yang melibatkan Herry Susanto Gun alias Abun. Herry adalah Ketua Koperasi Serba Usaha Pemuda Demokrat Indonesia Bersatu Samarinda. Ia mendapat hak pengelolaan parkir pelabuhan melalui surat Syaharie itu.
Tim Saber Pungli Markas Besar Kepolisian RI menangkap Herry dan sekretarisnya, Noor Asriansyah, pada Maret 2017. Polisi menuduh keduanya mengutip Rp 20 ribu ongkos parkir truk tronton di pintu masuk pelabuhan. Padahal Syaharie menetapkan ongkos parkir hanya Rp 18 ribu untuk tronton dan Rp 5.000 untuk truk. Sebanyak 25 persen harus disetorkan ke kas daerah Kota Samarinda. Saat masuk pengadilan, keduanya dibebaskan hakim.
Kini polisi menyoal surat Syaharie itu dengan tuduhan memperkaya orang lain, yang melanggar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Saya membuat skema tarif itu sebagai inovasi untuk menambah pendapatan asli daerah," tutur Syaharie.
Syaharie dan Demokrat menduga tuduhan polisi itu mengada-ada setelah ia menolak pinangan Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Safaruddin untuk menjadi calon wakil gubernur mendampinginya dalam pemilihan tahun ini. Safaruddin berminat menjadi gubernur dengan mengantongi dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Syahdan, pada 24 Oktober 2017, Syaharie bertemu dengan Safaruddin di Hotel Grand Hyatt Jakarta untuk membicarakan pencalonan itu. Ia datang ditemani Sekretaris Demokrat Kalimantan Timur Edy Rusani. Syaharie dan Safaruddin sudah menjalani tes psikologi di kantor PDI Perjuangan dua bulan sebelumnya.
Dalam pertemuan di Hyatt tersebut, kata Syaharie, Safaruddin menyinggung perkara parkir pelabuhan peti kemas itu. Menurut Syaharie, Safaruddin mengatakan bahwa kasus itu tak akan diungkit lagi jika ia mau berpasangan dengannya. "Kesannya sedikit memaksa," ujar Syaharie.
Safaruddin membenarkan kabar bahwa ia bertemu dengan Syaharie di Hyatt, tapi menyangkal mengancam Syaharie dengan tuduhan korupsi pelabuhan. "Insya Allah tak ada intimidasi karena saya bicara kepada dia secara baik-baik," kata Safaruddin. Menurut dia, memakai intimidasi untuk mengajak berkoalisi dalam politik akan menjadi bumerang jika kelak keduanya jadi berpasangan.
Pertemuan di Hotel Grand Hyatt itu berakhir tanpa kesepakatan. Syaharie beralasan harus menunggu izin Majelis Tinggi Demokrat sebagai tiket ia menerima pinangan Safaruddin. Namun, tiga hari kemudian, beredar video yang menayangkan testimoni Safaruddin. Berseragam polisi, lulusan Akademi Kepolisian 1984 itu mengumumkan akan maju sebagai gubernur dengan menggandeng Syaharie Ja'ang.
Video itu sampai ke Jakarta dan dilihat elite-elite Demokrat. Syaharie, Ketua Demokrat Kalimantan Timur, dipanggil untuk mengklarifikasi kebenaran pernyataan Safaruddin. Pasalnya, Majelis Tinggi partai memberi rekomendasi Syaharie maju sebagai calon gubernur, bukan wakil. "Kami ingin mendengar langsung penjelasan Pak Syaharie," ujar Amir Syamsuddin, soal panggilan itu.
Seusai gaduh video itu, Safaruddin dan Syaharie bertemu lagi di Hotel Sheraton Jakarta pada akhir November 2017. Safaruddin menunjukkan hasil survei elektabilitas pemilihan Gubernur Kalimantan Timur. Angka Syaharie ternyata lebih tinggi. Dalam obrolan itu, Syaharie menegaskan bahwa partainya menugasi ia menjadi calon gubernur.
Safaruddin pasrah. "Saya terserah PDI Perjuangan saja karena tak bisa meminta apalagi menentukan posisi," kata Safaruddin menceritakan ulang jawabannya kepada Syaharie. Meski begitu, dalam pertemuan ini, lagi-lagi mereka tak bersepakat soal posisi dalam pemilihan.
Waktu berlalu. Tiga pekan setelah pertemuan di Hotel Sheraton, nama Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi justru menguat sebagai calon pendamping Syaharie. Tak ingin peluangnya hangus, Safaruddin terbang dari Balikpapan ke Samarinda pada 24 Desember 2017 untuk menemui Syaharie. Tapi Syaharie tak ada di rumah ataupun kantornya. "Katanya sedang dinas luar kota," ucapnya.
Safaruddin lalu menitipkan pesan kepada Kepala Kepolisian Resor Kota Samarinda Ajun Komisaris Besar Vendra Rivianto sebelum kembali ke Balikpapan. Ia meminta anak buahnya itu menemui Syaharie esoknya untuk meminta kepastian soal tawaran menjadi calon wakil gubernur.
Pada hari Natal itu, Vendra bertemu dengan Syaharie di rumahnya. Menurut Syaharie, Vendra menyampaikan pesan Safaruddin yang ingin berbicara melalui telepon. "Saya beberapa hari ini mencari Bapak karena ingin bertemu," kata Safaruddin, mengulang omongannya kepada Tempo. Syaharie mengkonfirmasinya.
"Saya baru pulang dari luar kota," jawab Syaharie.
"Bapak mau deklarasi pada 7 Januari 2018?"
"Belum ada keputusan final dari pengurus pusat Demokrat."
"Kalau keputusannya mepet, saya tak punya waktu mencari pasangan pengganti," tutur Safaruddin. "Kalau Bapak tidak bisa memutuskan, saya yang ambil keputusan. Mulai hari ini kita tak bersama-sama lagi." Panggilan telepon putus.
Kurang dari 24 jam sejak percakapan itu, Syaharie menerima surat ia dilaporkan atas tuduhan korupsi parkir di pelabuhan. Surat laporan polisi itu bernomor LP/564/XII/2017/Kaltim/Ditreskrimsus. Menurut Safaruddin, meski laporan itu masuk ke kantornya, penyidik di Mabes Polri Jakarta yang menangani perkara tersebut.
Safaruddin menolak membuka identitas pelapor terhadap Syaharie. "Kami harus melindungi identitas pelapor," ujarnya. Safaruddin menyangkal merekayasa tuduhan kepada Syaharie karena pinangannya menjadi calon wakil gubernur ditolak.
Pada hari yang sama saat laporan soal Syaharie masuk, polisi juga mengeluarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke Jaksa Agung Muda Pidana Khusus. Surat bernomor SPDP/148/XII/2017/Tipidter itu mencantumkan Syaharie sebagai terlapor.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengatakan akan mengecek SPDP itu. Adapun Kepala Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Muhammad Rum mengaku belum mengetahui surat pemberitahuan penyidikan tersebut. "Saya belum mendapat informasinya," kata Rum.
Toh, polisi mengirim panggilan kepada Syaharie pada 27 Desember 2017. Polisi meminta Syaharie datang ke Markas Kepolisian Daerah Kalimantan Timur pada 29 Desember untuk bersaksi memberi kesaksian atas tuduhan kepada dirinya sendiri.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Yenti Ganarsih, mengatakan pemeriksaan saksi untuk terlapor orang yang sama sangat tak lazim dalam pemeriksaan tindak pidana. "Ngawur administrasinya," tuturnya.
Sama seperti Safaruddin, Setyo Wasisto membantah pemanggilan Syaharie sebagai pesanan Safaruddin dan merekayasa tuduhan yang sudah ditolak pengadilan. "Kasus pelabuhan Samarinda itu sudah lama bergulir," ujarnya.
Syaharie tak datang ke kantor polisi dengan alasan sedang dinas ke luar kota Samarinda. Panggilan kedua terbit pada 2 Januari 2018. Ia mengutus pengacaranya ke kantor polisi untuk menyampaikan surat penundaan pemeriksaan. "Polisi menerima alasan saya karena akan berlaga dalam pilkada," katanya.
Masalahnya, sehari kemudian, Syaharie mendengar kabar bahwa polisi akan datang ke rumahnya untuk menjemputnya secara paksa. Kabar ini ia bawa ke Jakarta hingga membuat Susilo Bambang Yudhoyono meradang. Hari itu juga Yudhoyono menggelar rapat yang disebutnya "emergency meeting", rapat darurat, untuk membahas tuduhan kepada kadernya tersebut.
Menurut Amir Syamsuddin, dalam rapat pada Rabu malam pekan lalu itu Yudhoyono mengkonfirmasi pesan yang dibawa Didi Irawadi delapan jam sebelumnya. Presiden ke-6 ini meminta Syaharie membuat testimoni kronologi permintaan Safaruddin menjadi calon wakilnya dalam pemilihan gubernur hingga terbit surat pemeriksaan itu. "Demokrat merasa diperlakukan tidak adil," ucap Amir.
Tuduhan polisi itu membuat Demokrat kian mantap tak menerima ajakan Safaruddin. Demokrat, kata seorang politikus Demokrat, sudah menduga bakal ada kriminalisasi kepada Syaharie saat Safaruddin melakukan pendekatan. Mereka bahkan membuat simulasi apa yang terjadi jika Syaharie menjadi calon gubernur dan Safaruddin menjadi wakilnya.
Simulasi menyimpulkan Syaharie tetap akan dijerat kasus pelabuhan jikapun menang dan menjadi gubernur. Ia akan menjadi tersangka lalu masuk penjara dan Safaruddin naik menggantikannya.
"Rekomendasi partai saja belum ada kok sudah ngomong Kaltim-1, Kaltim-2?" ujar Safaruddin.
Raymundus Rikang (jakarta), Sapri Maulana (samarinda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo