SELAMA dua hari, Juli kemarin, suasana di The International House of Japan, Tokyo, telah berubah bak sebuah pojok di Jakarta. ''Kalau tak melihat siapa yang berbicara, sukar dibedakan mereka yang bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia itu datang dari negeri mana,'' kata Hasan Alwi, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P dan K. Itulah suasana simposium yang dihadiri sejumlah ahli bahasa Indonesia dari berbagai perguruan tinggi di Jepang, Korea Selatan, dan RRC. (Lihat Surat Dari Redaksi, TEMPO, 31 Juli '93). Simposium yang diprakarsai oleh Kiyoshi Mazaki, Presiden Direktur Nippindo, sebuah perusahaan patungan Indonesia-Jepang, dan Biro TEMPO di Tokyo, mengambil tema ''Perkembangan Bahasa Indonesia di kawasan Timur Jauh''. Menteri P dan K Wardiman Djojonegoro dalam sambutan tertulisnya mengatakan simposium ini dapat dilihat sebagai usaha awal untuk merealisasikan pembentukan pusat pengkajian internasional tentang bahasa Indonesia. Tampaknya memang demikian. Empat puluh peserta simposium sepakat membentuk Forum Bahasa Indonesia di Asia Timur (FBI Astim), yang akan menggalakkan tukar-menukar informasi tentang penyelenggaraan bahasa Indonesia. Kesepakatan pembentukan FBI Astim lahir setelah peserta simposium melihat peran bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu 180 juta penduduk Indonesia. Patut diketahui, bahasa Indonesia (baca: bahasa Melayu) sudah diajarkan di Jepang sejak tahun 1908. Di Tokyo saja, menurut Prof. Kazuko Ishii dari TUFS (Tokyo University of Foreign Studies), ada 13 perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah Bahasa Indonesia. Beberapa di antara perguruan tinggi itu bahkan mencamtumkan bahasa Indonesia sebagai ''bahasa asing pilihan wajib''. Di samping itu juga ada sejumlah sekolah dan lembaga swasta yang membuka kursus bahasa Indonesia. Mengapa bahasa Indonesia begitu laris? Ishii, yang pernah menyebarkan angket tentang minat mahasiswa Jepang memilih bahasa Indonesia, menjelaskan bahwa mereka yakin peran Indonesia akan kian penting. Di Cina, menurut Prof. Ju San-Yuan dari Universitas Beijing, ada empat perguruan tinggi yang mengajarkan bahasa Indonesia, di antaranya Universitas Beijing dan Institut Bahasa Asing Guangzhou. Minat masyarakat Cina belajar bahasa Indonesia, katanya lebih lanjut, meningkat setelah pulihnya hubungan diplomatik tiga tahun silam. Ada ratusan ribu orang di Cina yang menurut Ju bisa berbahasa Indonesia. Tapi Korea Selatan, menurut Prof. Chung Young-Rhim dari Universitas Hankuk, minat orang mempelajari bahasa Indonesia menurun karena kebutuhan menempatkan orang Korea yang menguasai bahasa Indonesia di Indonesia kian berkurang. Kini tinggal Universitas Hankuk dan Yongin yang masih mengajarkan bahasa Indonesia. Namun, para pakar bahasa Indonesia dari Jepang, Korea Selatan, dan Cina tidak pesimistis bahasa Indonesia kelak bisa berperan sebagai jembatan antarbangsa, khususnya di Asia Timur. Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini