Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Politik islam setelah nu

Benarkah sekarang terjadi depolitisasi islam? dengan menanggalkan kegiatan politik praktisnya, NU tampaknya akan bisa lebih luwes berkiprah. (nas)

29 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEPOLITISASI Islam. "Isu" ini mendadak mencuat, setelah Muktamar NU ke-27 usai. Banyak yang menafsirkan keputusan Muktamar yang memhehaskan warga NU untuk menyalurkan aspirasi politiknya lewat orgamisasi politik mana pun, sebagai kemunduran peranan Islam dalam politik. NU memang ormas Islam terbesar, dan dengan melepaskan baju politik praktisnya, memang bisa ditafsirkan telah terjadi depolitisasi Islam. Dilepaskannya asas Islam dan tanda gambar Ka'bah oleh PPP juga menambah anggapan itu: kini juga terjadi deislamisasi politik. Bahkan deislamisasi politik dalam PPP inilah yang dianggap mengakibatkan depolitisasi Islam. Bendera Islam tampaknya kini memang tidak lagi dikerek lewat partai. Namun apakah itu berarti Islam di Indonesia, artinya yang semula bernaung dalam PPP, sama sekali akan meninggalkan gelanggang politik? Rais am NU yang baru saja terpilih dua pekan lalu, Kiai Achmad Siddiq, tegas membantah. "Tidak ada manusia di bumi ini yang meninggalkan soal politik. Partai politik bukan satu-satunya alat perjuangan," katanya pekan lalu. Tentang penyaluran aspirasi dalam pemilu mendatang, menurut Siddiq, "Bagi NU gampang saja. Yang penting, warga NU tidak golput." Pendapat serupa dikemukakan Abdurrahman Wahid, ketua Tanfidziyah NU. "Islam adalah agama yang legal formalistis, hingga tak bisa dipisahkan dengan politik," katanya. Ia membedakan politik dalam arti partisipasi dan dalam arti fungsi. Menurut dia sekarang aspek yang berbeda itu dipisahkan sekali. "Umat Islam diminta untuk tidak terlalu berpolitik praktis. Kalaupun mau juga, jangan memakai baju Islam," katanya. Tapi fungsi politik masih dijalankan, misalnya lima tahun sekali ikut pemilu. "Dengan demikian, depolitisasi Islam bisa berarti menurunkan kadar partisipasi politik tanpa menghilangkan fungsi politik," tambahnya. Menteri Agama Munawir Sjadzali menjelaskan. "Saya belum yakin bahwa dengan ketentuan tiap parpol dan ormas harus menerapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan bernegara dan berbangsa, berarti mendepolitisasi Islam," katanya Senin pekan ini. Alasannya: Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. "Bahkan Pancasila merupakan perumusan yang sangat sistematis dari prinsip dan kode etik kenegaraan Islam." Kalau toh PPP bukan partai Islam, menurut Menteri Munawir, juga bukan berarti depolitisasi Islam. Sebagai bukti ditunjukkannya GBHN hasil sidang umum MPR 1983, yang sangat berjiwa agama. "Misalnya tujuan nasional kita yang bertujuan menciptakan manusia seutuhnya yang berimbang antara lahir dan batin. Juga, tujuan pertama pendidikan kita adalah meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan, dan baru kemudian meningkatkan kecerdasan dan keterampilan." GBHN itu disahkan sidang MPR, termasuk PPP yang membawa aspirasi Islam. "Dari sini tampak bahwa tidak ada depolitisasi Islam," ujar Munawir. Buat Ridwan Saidi, ketua Departemen Organisasi, Keanggotaan dan Pemilu PPP, tidak adanya partai Islam justru membuktikan bahwa umat Islam tidak tunapolitik. "Malah ada birokratisasi Islam di Korpri dengan adanya pengajian. Juga pemotongan gaji pegawal negeri untuk Yayasan Amal Muslimin membuktikan tidak ada deislamisasi politik maupun depolitisasi Islam," katanya. Selama ini, kadar partisipasi politik memang sering diukur dengan peranan parpol. Begitu juga partisipasi politik Islam. Sepanjang sejarah Indonesia, partisipasi ini mengalami pasang surut. Pada masa penjajahan Belanda, bendera Islam hampir selalu berkibar menentang penjajah. Sejumlah pemberontakan petani malah dipimpin oleh kiai dan ulama. Masalah-masalah umat Islam ini yang mendorong pemerintah Hindia Belanda menugasi Snouck Hurgronje meneliti peranan Islam dalam usaha melestarikan penjajahannya (Lihat: Box). Adalah juga Syarikat Islam, khususnya tatkala dipimpin H.O.S. Tjokroaminoto, yang merupakan organisasi nasional pertama yang secara terbuka menentang Belanda. Kemudian menjelang kemerdekaan, mulai tumbuh anggapan, karena mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, Islam seharusnya juga mewarnai negara RI yang akan didirikan. Itu terlihat waktu dasar negara dan undang-undang dasar dibicarakan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Waktu itu terjadi debat sengit, khususnya antara kelompok Islam, yang antara lain diwakili Muzzakir dan Ki Bagus Hadikusumo, dan golongan kebangsaan yang dipimpin Soekarno dan Hatta. Perpecahan bisa terhindar berkat semangat persatuan yang kuat. Semangat itu juga yang agaknya membuat para anggota PPKI waktu ltu menenma dasar negara Pancaslla, yang pertama kali diungkapkan oleh Bung Karno. Tatkala mengusulkan prinsip musyawarah untuk mufakat, yang disalurkan lewat suatu badan perwakilan rakyat, Bung Karno berusaha melunakkan hati kelompok Islam. "Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan Islam. Jikalau memang rakyat kita Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam," kata Bung Karno, dalam pidato Lahirnya Pancasila. Setelah Kemerdekaan, memang terjadi jorjoran (kompetisi) politik. Pada 1953 NU bahkan keluar dari Masyumi, karena merasa kurang mendapat bagian yang memadai dalam partisipasi politik di pemerimtahan. Setelah pemilu 1955 terjadi pergeseran. Masyumi, yang semula dianggap demokrat konstitusionalis, mulai beralih ke gagasan negara Islam. Ini memuncak pada pertentangan antara Pancasila dan Islam dalam sidang Konstituante, yang macet, hingga akhirnya lahir Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945. Masyumi kemudian dinyatakan sebagai partai terlarang karena keterlibatan sejumlah pimpinannya dalam PRRI. Tinggallah NU, PSII, dan Perti sebagai parpol Islam. Setelah Orba lahir, muncul "partai baru" Parmusi, yang pada 1973 berfusi bersama NU, PSII, dan Perti dalam PPP. Kelompok ini meraih sekitar 29 persen suara dalam pemilu. Sejak 1971 muncul sebagai kekuatan politik terbesar, Golkar mengklaim sekitar 90 persen pemilihnya umat Islam-suatu pernyataan yang memang beralasan. Partisipasi politik PPP sendiri mengalarhi pasang surut. Sebagai pembawa suara resmi aspirasi politik Islam, PPP sampai 1978 sangat tegar dalam mempertahankan akidah. Misalnya dalam penyusunan Undang Undang Perkawinan, juga tatkala menolak dimasukkannya aliran kepercayaan dalam GBHN, hingga mengakibatkan F-PP walk out dari sidang umum MPR 1978. Setelah itu, berangsur-angsur ketegaran politik PPP menyurut. Malah timbul keretakan akibat pertikaian intern, khususnya antara NU dan MI. Muktamar PPP Agustus lalu makin menjauhkan hubungan NU dengan PPP, dan perpisahan pun terjadi setelah Muktamar NU ke-27 melepaskan kaitan NU dengan PPP. Keharusan semua parpol dan ormas menerima asas Pancasila tampaknya merupakan usaha pemerintah menuntaskan masalah dasar negara. "Mestinya masalah ini sudah tuntas tatkala Pancasila dirumuskan oleh semua wakil golongan, termasuk wakil Islam, dulu. Tapi selama ini Pancasila selalu diotak-atik, sering tidak secara terang-terangan, misalnya, lewat isu jilbab. Masalah ini perlu segera selesai. Pemerintah tidak boleh terlalu disalahkan kalau curiga terhadap kelompok Islam. Karena tahun-tahun mendatang ini kita harus menghadapi masalah-masalah yang luar biasa besarnya," kata seorang pejabat tinggi. Pemerintah tampaknya percaya, stabilitas politik bisa terjamin bila Pancasila benar-benar telah diterima dan diterapkan menjadi asas kehidupan bernegara oleh semua orpol dan ormas. "Mau tak mau, mesti kita akui sikap Islam terhadap Pancasila ini merupakan suatu faktor yang mempengaruhi stabilitas. Jika sikapnya tidak baik, stabilitas bisa terganggu," kata pejabat tersebut. Yang diharapkan pemerintah: aspirasi agama bisa tetap tertampung lewat organisasi yang ada, tanpa menimbulkan ekstremitas. "Juga keberingasan dengan menggunakan emosi keagamaan bisa hilang," tambahnya. Peristiwa Tanjung Priok ditunjuknya sebagai contoh. Apakah harapan itu bisa terlaksana jika Islam menanggalkan baju politik praktisnya? Peta bumi Islam Indonesia sekarang ini memang telah berubah. "Perbedaan yang tradisional dan modern makin kabur. Terjadi kegoyangan pada patokan-patokan yang ada. Kriteria ulama makin bercabang. Tidak saja mereka yang menguasai llmu agama yang disebut ulama, tapi juga yang memiliki kemampuan organisasi," kata Abdurrahman Wahid. Ia juga melihat tumbuhnya elite baru Muslim yang "post Masyumi-NU". Aspirasi negara Islam tampaknya juga semakin jauh ditinggalkan. "Memang, sekarang makin banyak orang yang berpegang pada ide masyarakat Islam, bukan negara Islam. Masyarakat Islam tidak lagi menekankan pada soal kenegaraan atau politik, tapi lebih menekankan pada soal kemasyarakatan," kata Nurcholish Madjid, seorang tokoh intelektual Islam. Diakuinya, keadaan ini bisa disebut depolitisasi Islam, atau politisasi yang lebih sophisticated. "Sebab yang lebih prinsipiil adalah adanya kesadaran tentang problematik yang sangat sulit pada ide negara Islam," katanya (Lihat: Islam Punya Konsep Kenegaraan). Nurcholish juga melihat umat Islam Indonesia kini dalam proses mencari keseimbangan baru. "Hal ini dialami oleh yang modernis maupun yang tradisi. Yang modern berpikir ke tradisi, dan sebaliknya. Mereka ingin menegaskan kembali keislaman mereka. Dengan kata lain masyumisme tumbuh lagi dengan bentuk baru. Ini semua terjadi karena umat Islam masih mencari hubungan organik antara keislaman dan kemodernan," katanya. "Ini akan membawa renaissance dalam Islam, dan itu akan besar-besaran betul," katanya. Lantas apa yang bisa dilakukan umat Islam, bila kesempatan buat berpolitik praktisnya berkurang banyak? Buat Abdurrahman Wahid, hilangnya format politik Islam tidak terlalu menjadi masalah. "Asal Islam tak kehilangan aspek politiknya, sehingga tak terjadi depolitisasi Islam," katanya. Abdurrahman Wahid melihat dua hal yang bisa dikerjakan umat Islam. "Islam bisa memberikan sumbangan dalam proses pemantapan integrasi nasional," katanya. Ia melihat integrasi nasional kita masih rapuh. Contohnya sistem konsensus. "Musyawarah dan mufakat adalah bukti kelemahan suatu bangsa yang tidak bisa memenangkan suatu pihak, demi menjaga keutuhan bangsa." Sumbangan Islam, misalnya, bisa berupa sikap tidak mutlak-mutlakan, dan bisa mengakui sumbangan orang lain. Misalnya dalam masalah aliran kepercayaan yang bisa saja ditolak, meski dengan alot, yang kemudian diterima dengan segala risiko. Sebab, fakta adanya aliran itu memang ada. Entah apakah kemudian memberi catatan, bahwa tak mengusik itu dengan harapan mereka bisa kembali ke Islam atau cukup puas dengan catatan di KTP bahwa mereka beragama Islam. "Toh sikap menahan diri ini sikap yang arif yang bisa menyumbang keutuhan nasional," kata Abdurrahman. Selain itu umat Islam juga bisa memberikan sumbangan dalam usaha mencapai masyarakat yang adil. "Seluruh teori politik Islam sentral pada keadilan. Kita bisa berkiprah menciptakan keadaan dengan transformasi struktur politik kita. Harus ada batasan, pada suatu waktu akan tercapai suatu masyarakat yang bisa bicara apa adanya, tidak ada sekat-sekat, hak semua orang sama," ujar Abdurrahman. APAKAH rencana Abdurrahman Wahid terlalu muluk? Tampaknya ia menyadari masih "morat-maritnya" organisasi NU saat ini. "Rencana itu tentu saja tak akan bisa terlaksana dalam satu masa bakti. Kami akan memulai inventarisasi permasalahan. Lalu, dalam rangka integrasi nasional itu, kami akan mengarah pada pengembangan ketenagaan. Dalam lima tahun mendatang kami perlu melatih 10 sampai 15 ribu tenaga penggerak dan pengelola. Kami akan bekerja sama dengan berbagai yayasan yang sudah ada, yang terutama bergerak di pedesaan," katanya. Taufik Abdullah memperkirakan, strategi sosial NU - antara lain strategi mengembangkan manusia takwa - ini bisa berhasil karena kepemimpinannya sangat kuat. Keberhasilan muktamar NU yang merakyat menunjukkan bagaimana kuatnya kiai menancap di kalangan bawah. "Kalau kita melihat perkembangan di Asia Tenggara, sering terjadi kemajuan atau modernisasi itu berhasil jika bertolak dari tradisionalisme. Karena orang bereaksi pada tradisinya, bukan karena inspirasi dari luar," ujarnya. Nurcholish Madjid juga menganggap langkah NU sekarang sangat strategis. "NU kini akan bertindak seperti ragi, tidak kelihatan tapi kemudian merombak susunan kimiawi bahan yang ada di sekitarnya. Ia akan merembes dan lebih mewarnai kehidupan sosial kemasyarakatan dengan warna-warna Islami," kata Nurcholish. Robohnya dinding politik praktis Islam tampaknya tak akan memojokkan NU. Pengalihan kegiatan ke bidang sosial budaya, agaknya, malah akan memberikan keluwesan bergerak yang lebih besar pada organisasi yang berdiri tahun 1926 itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus