Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto mengusulkan agar pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilakukan oleh DPRD, dan partai-partai yang mendukungnya secara bertahap menyatakan persetujuan terhadap usulan tersebut. Presiden berpendapat bahwa alasan di balik usulan ini adalah tingginya biaya yang diperlukan untuk menyelenggarakan Pilkada secara langsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti, mengkritik rencana tersebut, dengan menyebutkan bahwa alasan biaya tinggi dalam pilkada merupakan argumen klasik yang sering diulang tanpa didukung oleh data yang jelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menanggapi hal ini, menurut Fikri Disyacitta, dosen politik Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) wacana kepala daerah dipilih DPRD ini menunjukkan kemunduran dalam demokrasi di Indonesia. Dalam pernyataannya, meskipun pemilu langsung memiliki kelemahan dalam mekanismenya, menjadikan efisiensi sebagai alasan untuk mengembalikan pemilu tidak langsung bukanlah tidakan yang bijak.
“Menurut saya, wacana ini menunjukkan kemunduran dalam pembangunan demokrasi kita. Memang tidak bisa dipungkiri, terdapat kelemahan dalam mekanisme pemilu langsung seperti biaya penyelenggaraan yang tinggi. Namun, pertimbangan efisiensi tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk mengembalikan pemilu tidak langsung,” ujar Fikri kepada Tempo.co, Ahad, 15 Desember 2024.
Lebih lanjut, Fikri menjelaskan bahwa sekalipun biaya pemilu ditekan dengan dikembalikannya menjadi tidak langsung melalui DPRD hal tersebut tidak menjamin bahwa biaya yang dikeluarkan akan lebih murah.
“Lagipula, tidak ada jaminan pemilu tidak langsung berbiaya murah. Risiko biaya tinggi tetap ada jika dalam proses pencalonan masih terdapat praktik mahar politik,” kata dia.
Saat pemilihan langsung ditemukan banyak dana yang dikeluarkan, khususnya untuk biaya kampanye. Meskipun demikian, pemilihan secara langsung tetap menjamin adanya keadilan bagi setiap warga negara. Pemilihan secara langsung oleh masyarakat juga memungkinkan kepala daerah yang terpilih memiliki tanggung jawab moral atas suara masyarakat yang diberikan kepadanya.
Fikri menyatakan jika pemilihan dilakukan secara tidak langsung, akuntabilitas menjadi risiko yang tidak terhindarkan. Dalam konteks ini, kepala daerah yang terpilih tidak akan memiliki ikatan dengan masyarakatnya.
“Mari kita bandingkan. Pemilihan langsung, meski berbiaya tinggi, tetap menjamin keadilan bagi segenap warga negara yang memiliki hak pilih (one person, one vote, one value). Kepala daerah terpilih juga memiliki kewajiban moral karena dipilih langsung oleh masyarakat. Sehingga, meski prosesnya panjang, pemilu langsung lebih berpeluang meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia,” jelas Fikri
Fikri menyatakan, sementara jika pemilu dilakukan secara tidak langsung, boleh jadi tidak berbiaya tinggi dalam penyelenggaraannya. Namun, akuntabilitas menjadi risikonya. Kepala daerah terpilih tidak memiliki ikatan dengan warga. Proses lobi dan negosiasi hanya terjadi di legislatif.
Fikri menegaskan bahwa pemilihan tidak langsung juga bukan merupakan solusi atas tingginya angka golput. Pernyataan Menkumham Suparman Andi Agtas yang menyebut bahwa tingginya angka golput menjadi salah satu pertimbangan untuk mengembalikan pilkada tidak langsung menurut Fikri juga mengandung lompatan berpikir. Tingginya golput seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi partai politik dan calon kepala daerah untuk bekerja ekstra meyakinkan konstituen di daerah.
Lobi dan negosiasi politik merupakan hal yang lumrah. Namun, menurut Fikri tidak semestinya hal ini terjadi di ranah publik, terutama pemilihan kepala daerah. Masyarakat berhak terlibat aktif dalam setiap prosesnya, guna mengenali siapa saja calon kepala daerah, serta ikut serta memberikan, masukan, ikut memilih, dan ikut aktif mengawal kebijakan kepala daerah terpilih.
“Partai politik harus berani menjamin bahwa mereka telah berhasil melakukan fungsi rekrutmen politik. Jika partai politik mampu menempatkan orang yang tepat dan transparan dalam mensosialisasikan calon kepala daerah yang mereka usung, menurut saya hal itu sedikit membantu menambal kekurangan pemilu tidak langsung. Namun, saya pribadi sangsi. Sebab, partai politik di Indonesia masih belum menjalankan fungsi rekrutmen politik secara optimal,” kata dia, menegaskan.