Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidatonya untuk memaafkan koruptor, Rabu, 18 Desember 2024 di hadapan mahasiswa Indonesia Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Hal ini tentu saja menuai kontroversi terhadap berbagai pihak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya dalam rangka memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat. Hei para koruptor atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan,” kata Prabowo sebagaimana dilansir Antara pada 19 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya ia juga menyebut banyak oknum yang tidak suka terhadapnya. Dalam pidato tersebut Prabowo mengatakan terkait dengan jumlah koruptor, ia baru dua bulan menjadi presiden, oleh karena itu semua masih dalam proses.
“Saudara-saudara sekalian, yang nyinyir sama saya, silakan kau duduk saja di sebelah situ, ini belum apa-apa. Nanti, 6 bulan lagi, baru saudara boleh nilai pemerintah Prabowo Subianto,” ujar Prabowo, dikutip dari tayangan YouTube Sekretariat Presiden.
Dari pidato yang disampaikan Prabowo yang disoroti media, mengundang kontroversial. Secara langsung ada yang menunjukkan penolakan atau kontra terhadap argumen yang disampaikan Prabowo. Di sisi lain, beberapa pihak justru ide Prabowo maafkan koruptor mendapat apresiasi bahkan langsung mengkaji hal tersebut.
Sampai dengan Sabtu, 21 Desember 2024, ada beberapa pihak yang mendukung Prabowo terkait kesempatan tobat untuk para koruptor. Mulai dari Menko Yusril, Habiburokhman, dan Juga MUI. Berikut ulasannya:
1. Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra: Presiden Punya Kewenangan Memberi Amnesti dan Abolisi
Menko Yusril menyampaikan pernyataan Presiden Prabowo terbaik memaafkan koruptor jika uangnya dikembalikan adalah bagian dari rencana amnesti dan abolisi. Ia mengkaitkan Konvensi PBB Melawan Korupsi dengan strategi pemberantasan korupsi yang menekankan asset recovery dalam hal ini.
Yusril mengungkapkan upaya ini adalah strategi untuk pemulihan kerugian negara. Selain itu, ia menyebut, Presiden memang memiliki kewenangan dalam memberikan amnesti dan abolisi. Hal ini tertuang dalam UUD 1945, “Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi,” jelasnya.
2. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman: Pengembalian Kerugian Negara
Masih sejalan dengan pandangan Menko Yusril, Habiburokhman menyinggung soal asset recovery yang bertujuan untuk memaksimalkan asset recovery, pengembalian kerugian keuangan negara. Ia menyebut perampasan uang negara dari koruptor dan pemulihan aset ke negara masih minim.
Habiburokhman dalam pandangannya masih banyak penindakan kasus korupsi dimana negara juga menjadi rugi. Seperti kasus Jiwa Rasa, Duta Palma, Timah, yang tidak sesuai jumlah pengembalian kekayaan negara di awal dan akhir persidangan.
Dalam penjelasannya, secara teoritis seorang yang melakukan tindak pidana kemudian mengembalikan hasil kejahatannya, tentu akan dikurangi hukumannya. Jadi tidak mungkin menurutnya Presiden Prabowo melakukan ini untuk membebaskan koruptor.
3. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa’adi: Terobosan Hukum yang Berani dan Simpatik
Berbeda dari Menko Yusril dan Habiburokhman yang menyinggung pemulihan aset negara. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Zainut Tauhid justru terang-terangan memberikan apresiasi kepada Prabowo.
Zainut menyebut langkah Prabowo adalah terobosan hukum yang berani dan simpatik. Walaupun demikian, MUI tetap mengingatkan langkah yang diambil berdasar dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Zainut menegaskan jika kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan baik, maka hukum harus diberlakukan dengan tegas.
Hendrik Khoirul Muhid, Ervana Trikarinaputri, dan Annisa Febiola berkontribusi dalam penulisan artikel ini.