Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie, menyatakan pendidikan tinggi atau jenjang kuliah bukan bagian dari program wajib belajar, namun merupakan kebutuhan tersier atau tertiary education."Sifatnya pilihan bagi masyarakat,” kata Tjitjik di Gedung D Kemendikbudristek, Jakarta, Senin 13 Mei 2024 .
Pernyataan Tjitjik ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat, terutama terkait peran pemerintah dalam memastikan akses pendidikan tinggi yang merata dan terjangkau. Bagi sebagian kalangan, pendidikan tinggi tak hanya kebutuhan tersier, namun modal penting untuk meningkatkan kualitas hidup dan karier di masa depan, sehingga memerlukan perhatian dan dukungan lebih dari pemerintah.
Tjitjik menjelaskan bahwa kebijakan perguruan tinggi menganut konsep inklusif, sehingga masyarakat yang mampu maupun tidak mampu secara ekonomi dapat menempuh pendidikan tinggi asalkan memiliki nilai akademis yang baik.
Namun, ia juga menyoroti keterbatasan pemerintah dalam memberikan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang tidak bisa menanggung semua Biaya Kuliah Tunggal (BKT) mahasiswa setiap tahunnya.
BOPTN adalah bantuan biaya dari pemerintah yang diberikan kepada perguruan tinggi negeri, sementara BKT adalah kebutuhan minimal penyelenggaraan kuliah selama satu tahun yang menjadi dasar pertimbangan kampus menentukan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
“Pendidikan tinggi ini, supaya benar-benar bermutu memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi, pemerintah tidak bisa sendiri. Perlu gotong royong dengan masyarakat,” ujar Tjitjik.
Selain itu, Tjitjik menyarankan agar perguruan tinggi meminta data-data mahasiswa sebelum menentukan UKT yang sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga. Data tersebut dapat berupa foto rumah, tagihan listrik, PDAM, dan sebagainya, agar tidak ada ketidakadilan dalam penetapan UKT.
“Jangan sampai anaknya tukang becak dikenakan UKT Rp 5 juta. Yang dimaksud dengan golongan ukuran kurang mampu itu adalah yang penghasilan orang tuanya maksimum Rp 4 juta,” tambah Tjitjik.
Profil Tjitjik Sri Tjahjandarie
Tjitjik Sri Tjahjandarie adalah akademisi dan pejabat terkemuka di bidang pendidikan tinggi Indonesia yang saat ini menjabat sebagai Plt. (Pelaksana Tugas) Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi sejak 2022.
Ia meraih gelar Sarjana Ilmu Kimia dari FMIPA, Universitas Airlangga pada 1987, Doctor of Philosophy (Ph.D) dalam bidang Kimia Organik dari University of Western Australia pada 1997, dan gelar Guru Besar Bidang Kimia Organik dari Universitas Airlangga pada 2020.
Dilansir dari situs Kemendikbud, karier Tjitjik mencakup berbagai posisi penting, antara lain Manajer Perencanaan dan Pengembangan RS Universitas Airlangga (2016-2017), Direktur Program Studi di Luar Domisili (PDD) Unair di Banyuwangi (2015-2016), dan Sekretaris Eksekutif Pengelola PDD Unair di Banyuwangi (2014).
Selain itu, Tjitjik juga pernah menjabat sebagai Direktur Eksekutif I-MHERE B2c Unair (2011-2013), Ketua Badan Perencanaan dan Pengembangan Unair (2008-2015), serta Wakil Direktur Eksekutif Program Hibah Kompetisi Unair (2007-2010).
Dengan pengalaman panjang sebagai dosen Kimia Organik di Departemen Kimia FMIPA Unair sejak 1988, Tjitjik juga telah berperan dalam pengembangan kebijakan dan manajemen pendidikan tinggi, termasuk sebagai Sekretaris Komisi I Senat Akademik Unair dan berbagai posisi eksekutif lainnya.
Keahliannya dalam bidang kimia organik dan kontribusinya dalam manajemen pendidikan membuatnya menjadi tokoh penting dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
PUTRI SAFIRA PITALOKA | YOHANES MAHARSO JOHARSOYO | HENDRIK YAPUTRA
Pilihan Editor: Unri Bantah Ada Mahasiswa Baru Mundur Akibat Tak Bisa Bayar Kuliah: Hampir 50 Persen Dapat UKT Rendah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini