SAIMIN dipanggil camatnya, dan dia datang naik sepeda. Lantas dia disuruh lari, kemudian disuruh push up, sesudah itu dia mati. Pangkal semuanya itu hanyalah absennya Saimin, 65, pada upacara bendera hari ulang tahun Korps Pegawai Negeri. Kematian kamituwo - pamong di bawah juru tulis desa - Ngraket, Kecamatan Balong, 17 kilometer di selatan Ponorogo, Jawa Timur, ini oleh keluarganya dipandang sebagai akibat kekejaman atasan terhadap bawahan. Mereka menuntut agar pengusutan kejadian itu diteruskan, dan orang yang harus bertanggung jawab tak hanya sekadar dialihtugaskan. Maka, Laminem, 62, janda Saimin, mengadu kepada Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, Mayor Jenderal Soedarmadji, di Surabaya Selasa pekan lampau "Hatiku sudah plong. Lega," katanya, setelah menerima janji Soedarmadji untuk menyelesaikan perkara itu. Tragedi Saimin ada sangkut pautnya dengan HUT Korpri 29 November lalu. HUT itu oleh camat Balong, Winarto, B.A., 38 diperingati dengan upacara bendera di kantornya. Segenap pamong disuruh hadir, tapi lebih dari 20 orang mangkir, termasuk Saimin. Hujan yang sudah lama ditunggu, dan turun pada hari itu, membuat dia lebih suka mengambil bajak serta bekerja di sawah ketimbang ikut upacara. Semua yang absen - kebanyakan karena hari itu bekerja di sawah - pada apel bendera ini menerima surat panggilan dari Winarto sore harinya. Isinya: esoknya harus berkumpul di kantor camat. Esok harinya, Saimin ayah delapan anak dan kakek 19 cucu ini tiba di kantor itu, 2 kilometer dari rumahnya. "Ketika berangkat, wajahnya seperti sangat ketakutan," kata istrinya mengenang. Mungkin Saimin kian takut ketika disuruh berbaris bersama 22 pamong lainnya di bawah terik matahari, di lapangan di depan kantor kecamatan yang luasnya sama dengan lapangan sepak bola itu. Apalagi setelah muncul mantri pollsi - wakil camat - Muhadi, 39. Mantri polisi ini menyuruh para pamong itu lari mengelilingi lapangan sepuluh kali. Setelah itu, masih ditambah lagi lima kali, bahkan dengan posisi kedua tangan di tengkuk masing-masing. "Napas kami bagaikan putus," ujar Surat, 40, satu di antara para "terhukum" menceritakan pengalamannya. Mereka yang diganjar ini kebetulan rata-rata berusia di atas 40 tahun. Tapi pemberian hukuman lari mengelilingi lapangan 15 kali rupanya belum dianggap cukup oleh Muhadi. Disuruhnya lagi orang-orang itu push up lima kali. Saimin, yang sudah loyo, melakukannya dengan dikelilingi kawan-kawannya yang menghitung beramai-ramai. Dan hitungan baru sampai tiga ketika Saimin ambruk dan pingsan. Dia diangkut ke puskesmas dan ketika siuman, masih sempat bertanya, "Kenapa saya di sini?" Sesaat kemudian, maut datang merenggutnya. Dari puskesmas, jenazah Saimin diankut ke Rumah Sakit Ponorogo. Setelah itu, baru dibawa ke rumahnya, tanpa visum dari dokter. Rumah sakit menolak memeriksa mayat itu karena para pengantarnya tak dapat menyediakan biaya Rp 150.000. Sampai Saimin dikuburkan, sama sekali tak ada keterangan dokter yang menyebutkan penyebab kematiannya. Winarto dan Muhadi tak turut mengantar korban, baik ke puskesmas maupun ke rumah sakit. Tapi sesudah peristiwa itu, Winarto dicopot dari kedudukannya sebagai camat Balong dan ditarik ke Inspektorat Wilayah Kabupaten Ponorogo. Muhadi dipindahkan sebagai mantri polisi ke Kecamatan Bangkal sesudah diperiksa Kepolisian Resort (Polres) Balon. Winarto, selain oleh Polres Balon juga diperiksa oleh Inspektur Wilayah dan Sekretaris Wilayah Daerah Kabupaten Ponorogo. Kedua-duanya kemudian bekerja di tempat yang baru. Itu yang menyebabkan keluarga Saimin penasaran. "Dengan hanya memindahkan mereka, hukuman yang diberikan belum setimpal," kata Paniran, anak keempat Saimin. Adiknya, Suprapti, guru SD, menyebut, "Kami orang kecil. Tapi jangan dikira kami tak bisa menuntut." Hanya saja, tuntutan itulah kini yang terhalang. Perkara ini belum dapat disidangkan. Karena tak ada visum dokter, jaksa menolak laporan polisi. Untuk itu, keluarga Almarhum bersedia menggali makam Saimin agar pemeriksaan mayat dapat dilakukan. Kepastiannya belum jelas. Yang sudah jelas, alasan Camat menghukum para pamong itu karena mereka dianggap tak berdisiplin: tak ikut apel bendera. Tapi dia mengatakan, Muhadi sebenarnya hanya diperintah menghukum orang-orang itu dengan olah raga jantung sehat serta menulis Sapta-Prasetya Korpri tiga halaman folio. "Rupanya, mereka disuruh push up segala," katanya, bagaikan menyalahkan Muhadi. Tapi tuduhan atasannya itu dibantah Muhadi. "Winarto mau menang sendiri," ujar Muhadi membela diri. "Dia perintahkan melakukan hukuman dengan olah raga. Tapi jenis olah raganya diserahkan kepada saya," katanya lagi. "Olah raga" inilah yang membuat Saimin pingsan dan kemudian meninggal. Menurut Winarto, "Saimin menderita penyakit jantung. Tanpa push up toh akan mati juga." Tapi anak-anak Saimin membantah ayahnya mengidap penyakit itu. Kini visum yang dapat menjelaskan penyebab kematian itulah yang tak ada. Walaupun demikian, Soedarmadji berjanji akan membereskan semua yang menjadi urusan polisi. Kalau itu selesai, perkara kematian yang bersangkut paut dengan HUT Korpri ini tentu akan jadi urusan jaksa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini