Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Ragam Reaksi terhadap Keinginan Indonesia Bergabung dengan BRICS

Ekonom berpendapat Indonesia juga dapat mengambil skenario terbaik dengan bergabung ke forum BRICS maupun OECD sekaligus.

28 Oktober 2024 | 07.19 WIB

Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Sugiono tiba di Kazan untuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus, di Kazan, Rusia, Kamis 24 Oktober 2024. ANTARA/HO-Photohost agency brics-russia2024.ru
material-symbols:fullscreenPerbesar
Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Sugiono tiba di Kazan untuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus, di Kazan, Rusia, Kamis 24 Oktober 2024. ANTARA/HO-Photohost agency brics-russia2024.ru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia menyampaikan keinginan bergabung dengan BRICS dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia, 23-24 Oktober 2024. Dalam keterangan pers Kementerian Luar Negeri RI pada Jumat, 25 Oktober 2024, Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono membeberkan alasan Indonesia ingin bergabung menjadi anggota BRICS.

“Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif. Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum,” kata Sugiono.

Sugiono juga melihat prioritas BRICS selaras dengan program kerja Kabinet Merah Putih, antara lain terkait ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan ataupun pemajuan sumber daya manusia. Lewat BRICS, Indonesia ingin mengangkat kepentingan bersama negara-negara berkembang atau Global South.

BRICS adalah kelompok informal yang awalnya beranggotakan Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan. Kelompok ini pertama kali diinisiasi pada 2006 untuk membahas isu-isu terkini global. Keanggotaannya diperluas pada 2023 dengan bergabungnya Ethiopia, Iran, Mesir, dan Uni Emirat Arab.

Keinginan Indonesia bergabung dengan BRICS itu mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. 

Anggota DPR RI Fraksi PKS Sukamta: BRICS Memberikan Peluang Besar

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta mendukung langkah pemerintah Indonesia untuk bergabung dengan BRICS. Dia menuturkan upaya tersebut sejalan dengan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, sekaligus memperkuat posisi Indonesia di panggung ekonomi global.

“Indonesia harus terus memperluas kerja sama internasional dan memperkuat posisinya dalam berbagai forum ekonomi dunia. BRICS memberikan peluang besar, namun Indonesia juga harus tetap menjaga keseimbangan dalam hubungan dengan mitra-mitra tradisional di Barat, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Ini penting agar kita bisa mengoptimalkan manfaat dari berbagai kerja sama yang ada,” ujar dia dalam keterangannya di Jakarta, Ahad, 27 Oktober 2024 seperti dikutip dari Antara.

Menurut dia, BRICS menawarkan berbagai peluang strategis bagi Indonesia yang diharapkan memberikan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan aliran investasi asing, terutama dari negara-negara seperti Cina dan India.

“Ini juga membuka jalan bagi transfer teknologi dan inovasi yang bisa mendukung pembangunan infrastruktur dan industri dalam negeri,” kata dia.

Sukamta menyebutkan BRICS mewakili pasar-pasar ekonomi yang berkembang pesat. Dengan bergabung dengan BRICS, Indonesia akan memiliki akses yang lebih luas ke pasar-pasar nontradisional seperti Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan. Diversifikasi ini penting untuk mengurangi ketergantungan pada pasar-pasar utama di Barat.

BRICS, kata dia, memiliki lembaga keuangan seperti New Development Bank (NDB) yang bisa menjadi sumber pendanaan alternatif bagi proyek-proyek besar di Indonesia, termasuk infrastruktur, energi, dan pembangunan berkelanjutan. Melalui keanggotaan tersebut, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada pembiayaan dari lembaga keuangan internasional yang didominasi Barat.

Sebagai anggota BRICS, Indonesia juga akan memiliki kesempatan lebih besar untuk berperan dalam penyusunan kebijakan global. Bagi Indonesia, keanggotaan BRICS tidak hanya tentang keuntungan ekonomi, tetapi juga geopolitik. Di tengah ketegangan geopolitik global dan kompetisi ekonomi antara negara-negara besar, Indonesia perlu menjaga keseimbangan. 

Namun Sukamta juga menyoroti tantangan yang perlu diantisipasi. “BRICS terdiri dari negara-negara dengan latar belakang ekonomi dan politik yang sangat beragam. Perbedaan kepentingan dan visi di antara anggota bisa menjadi hambatan dalam mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak," ujarnya.

Ekonom CELIOS: Urgensi Indonesia Bergabung dengan OECD Jauh Lebih Tinggi

Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Yeta Purnama menilai langkah Indonesia bergabung dengan BRICS berpotensi mempengaruhi proses aksesi Indonesia ke Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). 

Peluang Indonesia untuk bermitra dengan grup tersebut akan semakin mengecil mengingat energi dan fokus pemerintahan yang akan sangat mahal apabila harus bergabung dalam banyak kerja sama multilateral.

“Dibandingkan BRICS, urgensi Indonesia untuk bergabung dengan OECD jauh lebih tinggi, sejalan dengan upaya Indonesia menuju negara maju. Selain itu, mengingat grup OECD memiliki anggota yang lebih besar sehingga dirasa lebih penting karena Indonesia perlu mendiversifikasi mitra yang lebih luas selain dari Cina,” kata Yeta dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu, 26 Oktober 2024.

Karena itu, menurut Yeta, akan jauh lebih efektif jika pemerintah hanya berfokus pada satu proses kerja sama multilateral atau kemitraan yang sudah ada.

Adapun, menurut Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira, pendaftaran resmi Indonesia ke dalam BRICS semakin menegaskan ketergantungan Indonesia pada Cina.

“Padahal tanpa BRICS dari sisi investasi dan perdagangan Indonesia, porsi Cina sudah sangat besar. Impor Indonesia dari Cina melonjak 112,6 persen dalam 9 tahun terakhir, dari 29,2 miliar dolar AS di 2015 menjadi 62,1 miliar dolar AS pada 2023. Sementara investasi dari Cina melonjak 11 kali di periode yang sama,” ujar Bhima.

Adapun Direktur China-Indonesia Desk CELIOS Muhammad Zulfikar Rakhmat memberikan catatan lain bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS dikhawatirkan akan mempengaruhi independensi Indonesia dalam bersikap di berbagai isu politik luar negeri yang krusial.

“Salah satunya merespons manuver Cina di kawasan Laut Cina Selatan,” tutur Zulfikar.

Adapun hal lain yang perlu menjadi perhatian yaitu negara anggota BRICS seperti Cina dan India memiliki konfrontasi yang intens di tiga wilayah perbatasan kedua negara, meliputi Himachal Pradesh, Uttarakhand, dan Arunachal Pradesh.

Menurut Zulfikar, konflik tersebut berpotensi mengganggu stabilitas hubungan Cina dan India dan secara bersamaan juga akan mempengaruhi kemitraan dalam aliansi BRICS.

Ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin: Indonesia Juga Bergabung dengan OECD

Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, berpendapat Indonesia dapat mengambil skenario terbaik yang dapat diambil, yaitu dengan bergabung ke forum BRICS maupun ke Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Hal itu, kata Wijayanto, dapat mendongkrak profil internasional serta meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata global.

The best scenario adalah bergabung dengan keduanya seperti yang coba dilakukan Thailand dan Turki,” kata Wijayanto dalam keterangan tertulis seperti dikutip Sabtu, 26 Oktober 2024.

Dia menuturkan tidak ada ketentuan formal yang menghalangi Indonesia untuk dapat menjadi anggota dalam kedua forum tersebut sekaligus. Menjadi anggota BRICS tidak harus diartikan menjaga jarak dengan European Union (EU) dan Amerika Serikat yang merupakan anggota OECD. Sebaliknya, menjadi anggota OECD tidak berarti menjaga jarak dengan negara-negara BRICS, terutama Cina dan Rusia.

“OECD dan BRICS bukanlah blok yang rigid, masing-masing anggota tetap bebas melakukan kerja sama,” ucapnya.

Namun, bila nantinya Indonesia harus memilih salah satu forum saja untuk diikuti, harus ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan Indonesia. Dalam hal ini, mana yang lebih memberikan keuntungan bagi Indonesia itulah yang harus dipilih. Perlu juga dipertimbangkan forum mana yang lebih menghargai posisi Indonesia, sehingga keanggotaan Indonesia bisa dieksekusi lebih cepat.

Wijayanto menegaskan Indonesia sebaiknya tidak menghabiskan waktu terlalu lama untuk memilih. Menurutnya, bila Indonesia terlalu lama menghabiskan waktu untuk memilih, hal tersebut hanya akan menghasilkan skenario terburuk bagi Indonesia.

The worst scenario adalah kita dalam posisi digantung. Tidak menjadi bagian dari keduanya adalah akibat kita ragu menentukan sikap,” ucapnya.

VEDRO IMANUEL G | FACHRI HAMZAH | ANTARA

Pilihan editor: Respons Para Menteri setelah Ikut Retreat Kabinet Merah Putih di Akmil Magelang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus