TANYALAH kepada seorang siswa sekolah menengah atas: setelah
lulus SMA, mau ke mana. Jawabnya sudah bisa ditebak: mau masuk
perguruan tinggi dan kalau bisa perguruan tinggi proyek perintis
(PP) I. Maka pekan lalu hampir 240.000 pemegang ijazah SMA
mengikuti tes PP I. Padahal daya tampung 10 perguruan tinggi PP
I lebih kurang cuma 16.000 -- kurang dari 17% dari jumlah
peserta tes.
Itulah yang membuat Menteri P&K Prof. Dr. Nugroho Notosusanto,
mencetuskan gagasannya untuk menampung 10 siswa terbaik dari
tiap SMA tanpa tes di PP I. Gagasan itu mengundang tanggapan.
Sebab, dengan belum meratanya mutu SMA, ide Nugroho bisa
mengacaukan kualitas lulusan itu sendiri. Sepuluh terbaik dari
sebuah SMA di sebuah kota kecil, mungkin mutunya lebih rendah
dengan 10 terbaik di sekolah yang maju di kota besar.
"Gagasan saya itu hanya mencoba menghubungkan antara EBTA
(evaluasi belajar tahap akhir) di SMA dan tes PP I," kata
Menteri menjelaskan. Selama ini hubungan antara proses
belajar-mengajar di SMA dan perkuliahan di perguruan tinggi,
menurut Nugroho, yang ditemui TEMPO sehabis memimpin sidang
promosi doktor di Ui Sabtu lalu, kurang tampak. Ia memang tak
mengatakan, bahwa tes PP I bisa bersifat untung-untungan. Tapi
seorang yang pintar di SMA-nya, bisa tak lulus tes hanya karena,
misalnya, sedang tak enak badan.
Dan untuk mengatasi mutu yang belum merata itu, Menteri P&K itu
punya resep. Saya merencanakan EBTA yang seragam di tingkat
nasional, hingga nilai yang diperoleh seorang siswa di sebuah
sekolah sama dengan nilai di sekolah yang lain," katanya.
Sedangkan yang tidak termasuk 10 terbaik dipersilakan mengikuti
tes seperti selama ini berlangsung.
Sesungguhnya bahwa perguruan tinggi tak mampu menampung semua
lulusan SMA, "sudah terjadi sejak dulu, dan terjadi di mana
saja," kata Ditjen Pendidikan Tinggi Prof Dr. Doddy Tisna
Amidjaja. Tapi kemudlan ledakan penduduk, melebarkan
perbandingan antara lulusan SMA dan daya tampung perguruan
tinggi.
Sebabnya, menurut Doddy, mendirikan SD hingga SMTA, jauh lebih
mudah dibanding membuka sebuah perguruan tinggi. "Praktis, bila
ada dana dan pemerintah memutuskan boleh berdiri, sekolah bisa
diadakan," kata Doddy. "Tapi untuk sebuah perguruan tinggi
masalahnya kompleks. Soal bidang ilmu apa yang mau dikuliahkan,
bagaimana mencari dosen, tidak gampang diputuskan.
Maka berdasarkan komposisi usia penduduk, pada 1978 dimulailah
ledakan lulusan SMA itu. Tahun itu ada 250.000 lulusan. Lima
tahun kemudian, 1983, jumlah itu menjadi 350.000. Dan menurut
perkiraan Departemen P&K, grafik lulusan SMA itu akan tetap
menanjak menjelang akhir abad ke-20, sebelum mencapai garis
mendatar. Pada 1995, misalnya, diperkirakan akan lahir lebih
dari 950.000 pemegang STTBA SMA baru.
Jadi, apa daya? Dua tahun belakangan ini berbagai usaha dicoba.
Misalnya dengan menggunakan televisi sirkuit dan radio untuk
memberikan kuliah -- hingga mahasiswa yang ikut kuliah bisa
banyak. Sejak beberapa tahun lalu di samping jalur pendidikan
yang langsung menghasilkan sarjana, juga dibuka jalur diploma
atau nongelar. Dan yang kini sedang direncanakan oleh perguruan
tinggi di Indonesia Timur, ialah kuliah bersama lewat satelit
Palapa. Tujuannya, menghemat dosen dan memperbesar daya tampung.
Selain itu, menurut Sidharto Pramoetadi direktur Pembinaan
Sarana Akademis Departemen P&K, akan diadakan pembatasan peserta
tes proyek perintis, dengan cara memprioritaskan siswa yang baru
lulus dan bukan siswa pemegang STTB tahun-tahun sebelumnya.
"Selama ini rata-rata 25% peserta tes proyek perintis berijazah
tahun lampau," katanya. Pendapat ini didukung Rektor IPB, Andi
Hakim Nasution. Bahkan Andi, salah seorang pencetus PP II --
penerimaan mahasiswa lewat panduan bakat -- menambahkan,
sebaiknya yang boleh ikut tes yang rapornya di atas nilai
minimal.
Ada pula usul dari pihak perguruan tmggi swasta. Ialah, agar
siswa dari keluarga mampu memilih perguruan tinggi swasta, untuk
memberi kesempatan yang tak mampu masuk yang negeri. Konon usul
ini secara terperinci telah dikirimkan oleh Sekjen Majelis
Rektor Universitas dan Institut Swasta selndonesia kepada
Departemen P&K.
Namun dari usaha-usaha itu belum bisa dihitung seberapa besar
daya tampung perguruan tinggi bisa diperbesar. Program nongelar,
misalnya, kini rata-rata hanya menampung 10.000 siswa per tahun.
Sementara eksperimen kuliah jarak jauh, baru menampung lebih
dari seribu mahasiswa -- dan mereka adalah para guru SMP, bukan
lulusan SMA. Kuliah dengan televisi dan kaset baru bisa
menghemat dosen, tapi belum mampu menaikkan daya tampung.
Sementara universitas terbuka menurut Doddy, masih jauh
realisasinya.
Dilihat dari contoh itu gambaran suram agaknya tak bisa terusir
dengan cepat. Apalagi ada hal lain. Ialah, berbondong-bondongnya
siswa SMA masuk perguruan tinggi ternyata sasarannya hanya pada
jurusan dan universitas tertentu. Misalnya, mereka yang telah
duduk di perguruan tinggi swasta, banyak yang mendaftar kembali
ke tes proyek perintis. Dan, tahun lalu di Unpad, Bandung, lebih
dari 250 peserta tes yang diterima ternyata tidak muncul. Diduga
karena mereka tidak diterima di jurusan pilihan utama, tapi di
jurusan pilihan kedua.
Semua itu menunjukkan, "masyarakat kita masih meletakkan
pendidikan formal sebagai gengsi," kata Dr. Munandir, dari IKIP
Malang. "Apalagi kalau sampai mendapat gelar, terutama gelar
dokter atau insinyur." Dan itu bukan hanya pendapat Munandir.
Juga pendapat para guru dan kepala sekolah yang sudah
bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia pendidikan. "Semua orang
ingin menjadi sarjana," kata Wirasto, ahli matematika yang
menulis buku Matematika untuk Orangtua Murid dan Guru itu.
Pun Pater Drost mendapat kesan kuat bahwa siswa-siswanya, "dari
kecil sudah dituntut orangtuanya agar mengejar ijazah ketimbang
prestasi." Dulu, katanya, para siswanya di kelas terakhir selalu
minta nasihat, apakah mereka sebaiknya meneruskan ke perguruan
tinggi, atau ke jurusan lain. Diskusi yang kemudian terjadi,
kenyataan-kenyataan yang kemudian dituturkan Drost, ternyata tak
menggerakkan anak-anak untuk berpaling dari sekolah yang
menjanjikan gelar itu. "Sekarang kalau ada anak minta nasihat
tidak saya tanggapi," kata Pater. "Mereka ternyata cuma minte
dukungan buat niatnya ke universitas. Bukan minta nasihat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini