Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ramai-Ramai Mengejar Gengsi

Masalah daya tampung perguruan tinggi. hanya 17% dari peserta tes yang diterima di p.t tahun ini. ada usul dari Menteri P & K, Nugroho Notosusanto, agar hanya 10 terbaik tiap SMA boleh masuk PPI. (pdk)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANYALAH kepada seorang siswa sekolah menengah atas: setelah lulus SMA, mau ke mana. Jawabnya sudah bisa ditebak: mau masuk perguruan tinggi dan kalau bisa perguruan tinggi proyek perintis (PP) I. Maka pekan lalu hampir 240.000 pemegang ijazah SMA mengikuti tes PP I. Padahal daya tampung 10 perguruan tinggi PP I lebih kurang cuma 16.000 -- kurang dari 17% dari jumlah peserta tes. Itulah yang membuat Menteri P&K Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, mencetuskan gagasannya untuk menampung 10 siswa terbaik dari tiap SMA tanpa tes di PP I. Gagasan itu mengundang tanggapan. Sebab, dengan belum meratanya mutu SMA, ide Nugroho bisa mengacaukan kualitas lulusan itu sendiri. Sepuluh terbaik dari sebuah SMA di sebuah kota kecil, mungkin mutunya lebih rendah dengan 10 terbaik di sekolah yang maju di kota besar. "Gagasan saya itu hanya mencoba menghubungkan antara EBTA (evaluasi belajar tahap akhir) di SMA dan tes PP I," kata Menteri menjelaskan. Selama ini hubungan antara proses belajar-mengajar di SMA dan perkuliahan di perguruan tinggi, menurut Nugroho, yang ditemui TEMPO sehabis memimpin sidang promosi doktor di Ui Sabtu lalu, kurang tampak. Ia memang tak mengatakan, bahwa tes PP I bisa bersifat untung-untungan. Tapi seorang yang pintar di SMA-nya, bisa tak lulus tes hanya karena, misalnya, sedang tak enak badan. Dan untuk mengatasi mutu yang belum merata itu, Menteri P&K itu punya resep. Saya merencanakan EBTA yang seragam di tingkat nasional, hingga nilai yang diperoleh seorang siswa di sebuah sekolah sama dengan nilai di sekolah yang lain," katanya. Sedangkan yang tidak termasuk 10 terbaik dipersilakan mengikuti tes seperti selama ini berlangsung. Sesungguhnya bahwa perguruan tinggi tak mampu menampung semua lulusan SMA, "sudah terjadi sejak dulu, dan terjadi di mana saja," kata Ditjen Pendidikan Tinggi Prof Dr. Doddy Tisna Amidjaja. Tapi kemudlan ledakan penduduk, melebarkan perbandingan antara lulusan SMA dan daya tampung perguruan tinggi. Sebabnya, menurut Doddy, mendirikan SD hingga SMTA, jauh lebih mudah dibanding membuka sebuah perguruan tinggi. "Praktis, bila ada dana dan pemerintah memutuskan boleh berdiri, sekolah bisa diadakan," kata Doddy. "Tapi untuk sebuah perguruan tinggi masalahnya kompleks. Soal bidang ilmu apa yang mau dikuliahkan, bagaimana mencari dosen, tidak gampang diputuskan. Maka berdasarkan komposisi usia penduduk, pada 1978 dimulailah ledakan lulusan SMA itu. Tahun itu ada 250.000 lulusan. Lima tahun kemudian, 1983, jumlah itu menjadi 350.000. Dan menurut perkiraan Departemen P&K, grafik lulusan SMA itu akan tetap menanjak menjelang akhir abad ke-20, sebelum mencapai garis mendatar. Pada 1995, misalnya, diperkirakan akan lahir lebih dari 950.000 pemegang STTBA SMA baru. Jadi, apa daya? Dua tahun belakangan ini berbagai usaha dicoba. Misalnya dengan menggunakan televisi sirkuit dan radio untuk memberikan kuliah -- hingga mahasiswa yang ikut kuliah bisa banyak. Sejak beberapa tahun lalu di samping jalur pendidikan yang langsung menghasilkan sarjana, juga dibuka jalur diploma atau nongelar. Dan yang kini sedang direncanakan oleh perguruan tinggi di Indonesia Timur, ialah kuliah bersama lewat satelit Palapa. Tujuannya, menghemat dosen dan memperbesar daya tampung. Selain itu, menurut Sidharto Pramoetadi direktur Pembinaan Sarana Akademis Departemen P&K, akan diadakan pembatasan peserta tes proyek perintis, dengan cara memprioritaskan siswa yang baru lulus dan bukan siswa pemegang STTB tahun-tahun sebelumnya. "Selama ini rata-rata 25% peserta tes proyek perintis berijazah tahun lampau," katanya. Pendapat ini didukung Rektor IPB, Andi Hakim Nasution. Bahkan Andi, salah seorang pencetus PP II -- penerimaan mahasiswa lewat panduan bakat -- menambahkan, sebaiknya yang boleh ikut tes yang rapornya di atas nilai minimal. Ada pula usul dari pihak perguruan tmggi swasta. Ialah, agar siswa dari keluarga mampu memilih perguruan tinggi swasta, untuk memberi kesempatan yang tak mampu masuk yang negeri. Konon usul ini secara terperinci telah dikirimkan oleh Sekjen Majelis Rektor Universitas dan Institut Swasta selndonesia kepada Departemen P&K. Namun dari usaha-usaha itu belum bisa dihitung seberapa besar daya tampung perguruan tinggi bisa diperbesar. Program nongelar, misalnya, kini rata-rata hanya menampung 10.000 siswa per tahun. Sementara eksperimen kuliah jarak jauh, baru menampung lebih dari seribu mahasiswa -- dan mereka adalah para guru SMP, bukan lulusan SMA. Kuliah dengan televisi dan kaset baru bisa menghemat dosen, tapi belum mampu menaikkan daya tampung. Sementara universitas terbuka menurut Doddy, masih jauh realisasinya. Dilihat dari contoh itu gambaran suram agaknya tak bisa terusir dengan cepat. Apalagi ada hal lain. Ialah, berbondong-bondongnya siswa SMA masuk perguruan tinggi ternyata sasarannya hanya pada jurusan dan universitas tertentu. Misalnya, mereka yang telah duduk di perguruan tinggi swasta, banyak yang mendaftar kembali ke tes proyek perintis. Dan, tahun lalu di Unpad, Bandung, lebih dari 250 peserta tes yang diterima ternyata tidak muncul. Diduga karena mereka tidak diterima di jurusan pilihan utama, tapi di jurusan pilihan kedua. Semua itu menunjukkan, "masyarakat kita masih meletakkan pendidikan formal sebagai gengsi," kata Dr. Munandir, dari IKIP Malang. "Apalagi kalau sampai mendapat gelar, terutama gelar dokter atau insinyur." Dan itu bukan hanya pendapat Munandir. Juga pendapat para guru dan kepala sekolah yang sudah bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia pendidikan. "Semua orang ingin menjadi sarjana," kata Wirasto, ahli matematika yang menulis buku Matematika untuk Orangtua Murid dan Guru itu. Pun Pater Drost mendapat kesan kuat bahwa siswa-siswanya, "dari kecil sudah dituntut orangtuanya agar mengejar ijazah ketimbang prestasi." Dulu, katanya, para siswanya di kelas terakhir selalu minta nasihat, apakah mereka sebaiknya meneruskan ke perguruan tinggi, atau ke jurusan lain. Diskusi yang kemudian terjadi, kenyataan-kenyataan yang kemudian dituturkan Drost, ternyata tak menggerakkan anak-anak untuk berpaling dari sekolah yang menjanjikan gelar itu. "Sekarang kalau ada anak minta nasihat tidak saya tanggapi," kata Pater. "Mereka ternyata cuma minte dukungan buat niatnya ke universitas. Bukan minta nasihat."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus