PELUHNYA membasahi seragam kausnya yang berwarna kuning.
Celananya yang digulung sebatas dengkul, merah kecipratan tanah.
Sambil mengayunkan cangkul, Endi Sahri, pemuda itu
sebentar-sebentar menyibakkan rambutnya yang tertutup topi
pandan, menyeka keringat. "Beginilah kami kerja, seperti kerja
bakti saja," katanya.
Endi Sahri adalah salah satu dari 75 pemuda yang tengah
melaksanakan proyek padat karya, membangun jalan baru sepanjang
2,5 km di Kelurahan Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Proyek yang
untuk pertama kali buruhnya seluruhnya lulusan SMA itu, Senin
pekan lalu diresmikan Menteri Tenaga Kerja Sudomo. "Agar lulusan
sekolah menengah sejak dini sudah siap mental untuk bekerja
kasar," katanya.
Proyek padat karya -- biasanya mempekerjakan buruh dengan latar
belakang pendidikan macam-macam -- itu memang merupakan proyek
rintisan penggunaan tenaga lulusan sekolah menengah. Menurut
Sudomo, proyek padat karya gaya baru itu dimaksudkan untuk
menyediakan lapangan kerja bagi lulusan SMA yang semakin hari
semakin bengkak. Banyak di antaranya yang tak kebagian bangku
kuliah, dan tak bekerja. "Kalau tak ditampung segera, bisa
berkembang menjadi masalah kejahatan," kata bekas Pangkopkamtib
itu.
Dengan honor hanya Rp 800 per hari yang dibayarkan setiap
minggu, proyek yang memang mengutamakan tenaga kerja lebih
banyak daripada modalnya itu berhasil mengumpulkan ke-75 tamatan
SMA tadi. Bekerja setiap hari selama 5 jam, para lulusan SMA
antara tahun 1977-1983 itu -- di antaranya ada yang sudah di
perguruan tinggi tingkat III -- harus menyelesaikan proyek yang
akan makan waktu 4 bulan.
Selama ini mereka memang tidak menjalani program sekolah. "Kami
hanya diberi alat cangkul, parang, kapak, dan gergaji, langsung
bikin jalan. Dan kami dianggap sudah bisa menggunakan alat-alat
itu," ucap Endi Sahri yang lulus SMA tahun 1980 dan dua kali
gagal tes proyek perintis.
Lantas apa yang menarik tamatan SMA itu dari proyek padat karya
ini? "Mengisi kesibukan, meringankan beban orangtua dan
mudah-mudahan menambah keterampilan," kata pemuda berumur 21
tahun itu yang lamaran kerjanya ke berbagai kantor belum satu
pun berhasil. Alasan serupa juga datang dari Suyati Samian, satu
dari dua wanita yang bekerja di proyek itu. Lulusan SMA tahun
lalu yang berumur 22 tahun itu malah mengaku turut proyek ini
karena dorongan orangtua. "Mereka menganjurkan saya bekerja di
sini," katanya.
Anak guru SD yang beradik delapan itu tidak keberatan bekerja
kasar. Sebab mencari lowongan di perusahaan, katanya, perlu
pengalaman kerja. "Untuk kerja saja susah bagaimana saya cari
pengalamannya," ujar Suyati lagi, "karena itu di sini saya tidak
cari uang".
Sekalipun begitu, Suyati tidak berharap banyak dari proyek yang
honornya kecil itu. "Saya sendiri belum jelas mau diapakan
nantinya setelah proyek ini selesai," katanya. Depnaker sendiri
memang tidak menjanjikan apa-apa. Kecuali seperti yang dikatakan
Sudomo, akan memberi prioritas untuk masuk Balai Latihan
Keterampilan (BLK). Soal nanti dapat pekerjaan atau tidak, tetap
tergantung kepada usaha para pemuda itu masing-masing. "Proyek
ini memang tidak memberi pekerjaan, tapi sekadar mempersiapkan
mental dan sedikit keterampilan," kata I Wayan Oka dari proyek
padat karya Ditjen Bina Guna, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini