Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DPR mengesahkan revisi Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani pada Kamis, 20 Maret 2025. Revisi UU TNI disahkan setelah semua fraksi di Komisi I DPR sepakat membawa RUU tersebut ke tingkat II atau paripurna.
Pengesahan revisi UU TNI oleh DPR dilakukan di tengah gelombang penolakan masyarakat sipil. Sejumlah kelompok masyarakat sipil menganggap proses pembahasan RUU TNI terburu-buru dan minim keterlibatan partisipasi publik. Mereka juga khawatir tentara dapat menduduki jabatan sipil, sehingga meminta TNI tetap di barak.
Koalisi Masyarakat Sipil menggagas petisi bertajuk “Tolak Kembalinya Dwifungsi Militer melalui RUU TNI”. Berdasarkan data per Kamis, 20 Maret pukul 15.20 WIB, sebanyak 36.187 orang menandatangani petisi tersebut.
Penolakan terhadap pengesahan UU TNI terus bergulir dari berbagai kalangan, termasuk dari kalangan mahasiswa.
Mahasiswa Universitas Indonesia akan Gugat Revisi UU TNI
Sejumlah mahasiswa Universitas Indonesia (UI) akan menggugat revisi UU TNI yang baru saja disahkan DPR RI dalam paripurna pada Kamis. Tujuh mahasiswa Fakultas Hukum UI akan mendaftarkan gugatan uji materi hasil revisi tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) besok, Jumat, 21 Maret 2025, pukul 10.00 WIB.
Pemohon utama gugatan itu, Abu Rizal Biladina, mengatakan permohonan gugatan diajukan karena mereka menganggap proses revisi UU TNI inkonstitusional. “Kami akan memohon pengujian formil UU TNI karena tata cara pembentukan UU-nya menyalahi regulasi yang ada (tidak masuk Program Legislasi Nasional) dan tidak meaningful participation (pelibatan masyarakat dalam pembentukan undang-undang),” kata Rizal kepada Tempo, Kamis.
UU TNI baru saja disahkan DPR, tetapi belum diundangkan dan ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto. Rizal mengatakan memang ada dua mazhab yang menyebutkan undang-undang bisa digugat setelah disahkan atau digugat setelah diundangkan.
Koalisi FOINI bakal Adukan Anggota Panja RUU TNI ke MKD
Koalisi Freedom Information Network Indonesia atau FOINI akan melaporkan anggota Panja RUU TNI DPR ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Koalisi FOINI terdiri dari Indonesian Parliamentary Center (IPC); Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA); Forest Watch Indonesia (FWI); Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK); Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD); Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA); Gemawan.
Kemudian, YASMIB Sulawesi; Indonesia Corruption Watch (ICW); Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi Nusa Tenggara Barat (SOMASI-NTB); Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO); serta Komite Pemantau Legislatif (Kopel).
Peneliti FITRA, Gunardi Ridwan, mengatakan rencananya aduan didaftarkan hari ini (Kamis). Namun akses masuk DPR dibatasi karena ada demonstrasi menentang pengesahan RUU TNI. Sehingga, koalisi masih menunggu kompleks parlemen dibuka kembali untuk mendaftarkan aduan ke MKD.
Gunardi mengatakan aduan ini dilayangkan karena Panja RUU TNI melanggar kode etik dalam proses pembahasan revisi tersebut. Dia menilai proses pembuatan revisi UU TNI kurang transparan karena tidak masuk dalam Prolegnas. Koalisi juga menganggap penyusunan RUU TNI terburu-buru dan dilakukan di luar DPR. “Ini menguatkan dasar aduan kami bahwa ada pelanggaran Tata Tertib DPR,” kata Gunardi saat dihubungi Tempo, Kamis.
FOINI menilai pelanggaran yang dilakukan anggota panja mencakup tidak dipatuhinya prosedur legislasi sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR RI, khususnya terkait transparansi, partisipasi publik, dan mekanisme pembahasan yang semestinya dilakukan sesuai prosedur waktu yang telah ditetapkan.
Menurut Gunardi, pembahasan revisi UU TNI dilakukan tanpa keterbukaan yang memadai dan bertentangan dengan Pasal 5 Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib yang mengatur prinsip transparansi dalam legislasi. Pembahasan RUU TNI juga dilakukan tidak sesuai prosedur waktu yang telah ditetapkan dalam Pasal 254 Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib.
Kemudian, tidak adanya konsultasi publik yang memadai sebagaimana diatur dalam Pasal 96 UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. “Draf revisi UU TNI juga dibahas dalam kanal resmi yang tidak terbuka untuk publik, bertentangan dengan ketentuan rapat-rapat DPR yang seharusnya dapat diakses oleh masyarakat,” ujarnya.
Gunardi berpendapat Anggota DPR yang terlibat dalam pembahasan RUU TNI melanggar kode etik karena diduga tidak menjunjung tinggi kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepentingan kelompok tertentu. Tindakan itu, kata dia, bertentangan dengan Pasal 3 Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib yang mengatur bahwa anggota DPR wajib menjalankan tugas secara transparan, jujur, dan akuntabel.
FOINI juga meminta MKD memanggil anggota DPR dan menjatuhkan sanksi kepada legislator yang melanggar kode etik dalam proses legislasi ini.
YLBHI Kecam Pengesahan Revisi UU TNI
Adapun Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam pengesahan revisi UU TNI. Menurut Ketua YLBHI Muhamad Isnur, DPR dan pemerintah tak lagi menoleransi perbedaan dan kritik dari rakyat. “Pengesahan ini pola yang sudah terlihat di DPR sejak revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba, hingga UU BUMN. DPR bersama pemerintah telah menjadi tirani, di mana tak menoleransi perbedaan dan kritik," ujar Isnur dalam keterangan tertulisnya pada Kamis.
Menurut dia, berbagai partai melalui fraksi yang masuk ke DPR dan pemerintah hanya menjadi kerbau dicucuk hidung. Artinya, mereka hanya mengikuti selera para penguasa tanpa mendengar suara rakyat untuk membuat suatu kebijakan. “YLBHI melihat bahwa suara dan kegelisahan rakyat tak lagi menjadi pedoman dan acuan dalam membuat undang-undang,” kata dia.
Isnur mengatakan pengesahan revisi UU TNI membuktikan Undang-Undang Dasar 1945 tak lagi menjadi dasar demokrasi. Dia berujar pengesahan regulasi itu hanya untuk menyalurkan kepentingan para perwira militer. “Bahkan suara Mahkamah Konstitusi yang berulang menegur praktik penyusunan undang-undang yang inkonstitusional juga tak didengar,” ucapnya.
Pengesahan revisi UU TNI hari ini, kata dia, bakal membuat rakyat harus berhadapan dengan militer. Masyarakat pun melihat rumah rakyat, yaitu DPR, telah dipenuhi anggota TNI dan Polri. Mereka ingin menghalau rakyat dalam menyampaikan protes pengesahan RUU TNI kepada para penguasa.
“Pintu-pintu dan pagar dipasang penghalang beton agar semakin sulit rakyat bersuara. Kami juga menyaksikan kembali pengerahan para militer dilakukan dengan terstruktur dan sistematis, dengan tujuan konflik horizontal kembali dilakukan," ujarnya.
Amnesty International: DPR Terlalu Terburu-buru Mengesahkan Revisi UU TNI
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai Komisi I DPR terlalu terburu-buru mengesahkan revisi UU TNI. Usman berharap revisi UU TNI seharusnya dibahas lebih mendalam. “Amnesty masih sangat berharap bahwa ada proses pembahasan yang dibuka, sehingga partisipasi masyarakat bisa lebih luas lagi,” ucap Usman ketika ditemui di depan Gedung DPR/MPR pada Kamis.
Usman juga menyinggung soal simpang siur draf revisi UU TNI. Dia bahkan baru kemarin mendapat naskah lengkap regulasi tersebut. “Bahkan sejumlah anggota Dewan juga sangat terbatas jumlahnya yang telah menerima rancangan itu,” kata dia.
Novali Panji Nugroho, Eka Yudha Saputra, M. Raihan Muzzaki, dan Vedro Imanuel Girsang berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Kemenag Kenalkan Kurikulum Cinta untuk Pendidikan Agama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini