Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rekaman Suara RI-10

Antony Zeidra Abidin merekam pembicaraannya dengan Anwar Nasution. Alasan membongkar skandal suap Bank Indonesia.

8 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESEMBER dua tahun lalu, dua kali Antony Zeidra Abidin menyambangi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution. Pertama, Antony bersama anggota Komisi Keuangan dan Perbankan, Bobby Suhardiman, diterima Anwar di ruang kerjanya. Kedua, Antony datang sendiri.

Isu yang diobrolkan tak main-main: surat Anwar kepada Komisi Pemberantasan Korupsi yang bercerita tentang kejanggalan aliran dana sekitar Rp 100 miliar dari Bank Indonesia ke Dewan Perwakilan Rakyat. Antony tercatat sebagai salah satu penerima dana haram itu.

Saat diskusi berlangsung, tanpa disadari Anwar, Antony merekam percakapan itu melalui recorder yang ia simpan di saku. Dalam rekaman itu, Anwar sempat berujar, ”Salah kau dulu, kenapa kau bikin aku di sini (Badan Pemeriksa Keuangan—Red.). Kalau kau bikin aku di sana (Bank Indonesia—Red.), dari dulu aku bayarnya.”

Transkrip percakapan itu dibacakan pengacara Antony dalam sidang perdana Antony dan Hamka Yandhu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jalan H.R. Rasuna Said, Jumat pekan lalu. Menurut pengacara Antony, Maqdir Ismail, pernyataan itu cermin sakit hati Anwar karena dipilih Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat pada 2004 sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Padahal posisi yang diinginkan Anwar adalah Gubernur Bank Indonesia.

Saat pemilihan, Anwar, yang ketika itu deputi gubernur senior, merupakan orang nomor dua di Bank Indonesia. Dalam sesi voting, anggota Dewan memilih Burhanuddin Abdullah sebagai gubernur.

Karena itu, masih menurut Maqdir, upaya Anwar membongkar penyimpangan di bank sentral dan menyeret kliennya sebagai penerima dana disebabkan oleh gagalnya Anwar mendapat kursi gubernur bank sentral. Seperti diketahui, Antony, juga Bobby, adalah anggota Fraksi Partai Golkar di Komisi Keuangan periode 1999-2004. Keduanya ikut proses uji tuntas dan kelayakan Gubernur Bank Indonesia.

Akibat laporan Badan Pemeriksa Keuangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, tiga pejabat tinggi bank sentral—bekas Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah, Kepala Biro Gubernur Rusli Simanjuntak, dan Direktur Bidang Hukum Oey Hoey Tiong—diseret ke pengadilan. Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan yang menjadi terdakwa adalah Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu, masing-masing bekas Ketua Subkomisi Perbankan dan Ketua Subkomisi Keuangan.

Kepada Tempo di ruang kerjanya Jumat pekan lalu, Anwar membenarkan bahwa dia telah menerima Antony dan Bobby pada 8 Desember 2006. Namun ia tak menyangka percakapannya itu direkam Antony. Ia mengaku belum berencana melaporkan Antony ke polisi. Ia mengaku menyesal telah menerima Antony. ”Dia rekam tanpa setahu saya, di kantor saya. Itu saya kira tidak bermoral,” katanya.

Sekretariat Badan Pemeriksa Keuangan mencatat Anwar menerima Antony dan Bobby selama satu jam mulai pukul 15.30. ”Bobby itu lebih banyak diamnya,” kata Anwar. Pertemuan kedua dengan Antony berlangsung mulai pukul 17.30 selama sekitar setengah jam.

Saat itu Antony, kata Anwar, mempertanyakan alasan Badan Pemeriksa membuat laporan tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Antony juga mengeluh karena namanya dalam audit itu disebut sebagai satu-satunya penerima uang. Anwar menyatakan nama Antony muncul karena disebut pejabat Bank Indonesia dalam sebuah wawancara dengan auditor Badan Pemeriksa Keuangan.

Bobby Suhardiman, yang ikut dalam pertemuan dengan Anwar, tidak bisa dihubungi. Berkali-kali ditelepon Tempo, ponselnya tidak aktif. Saat Tempo mendatangi rumahnya di Jalan Ampera 120, Jakarta Selatan—seperti tercantum dalam dokumen pemeriksaan Bobby di Komisi Pemberantasan Korupsi—seorang penjaga mengatakan Bobby tak ada. ”Pak Bobby sudah dua tahun tidak tinggal di sini,” kata si penjaga.

Dalam berkas pemeriksaan Bobby, Mei lalu, politikus Golkar itu bercerita Antony juga mempersoalkan mengapa Badan Pemeriksa Keuangan mengirim surat panggilan ke Jambi—ke kantornya sebagai wakil gubernur provinsi itu.

Selain itu, Bobby menyatakan kedatangan dia dan Antony ke kantor Anwar Nasution dilakukan dua-tiga hari setelah kunjungan mereka ke kantor Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah. Menurut Bobby, kepada Burhanuddin, Antony sempat marah karena soal fulus itu melebar ke mana-mana.

Rekaman Antony juga menyebutkan Anwar sempat berujar tak enak. Anwar meminta Antony menyampaikan kepada Burhanuddin Abdullah agar ”memeras Cina-Cina” untuk menutup pengeluaran Rp 100 miliar sebagai ganti duit Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia yang dipakai buat menyuap anggota Dewan. Soal ini, Anwar tak menyangkal. ”Itu kan diucapkan secara bercanda,” katanya. Prinsipnya, bagaimanapun caranya, uang milik Yayasan harus segera dikembalikan. ”Uangnya dari mana, ya, saya tidak tahu,” kata Anwar lagi.

Sikap ini, menurut Anwar, juga disampaikannya kepada Burhanuddin Abdullah dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta. Secara terpisah, keduanya pernah datang tahun lalu untuk membahas solusi skandal ini. Paskah Suzetta, yang telah dua kali diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi, merupakan Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan saat dana miliaran mengalir deras ke sejumlah anggota Dewan.

Sikap serupa, Anwar menambahkan, disampaikannya kepada Aulia Pohan, Deputi Gubernur Bank Indonesia, yang notabene masih terhitung keponakannya sendiri. ”Besan kau (Susilo Bambang Yudhoyono—Red.) kan sudah presiden,” kata Anwar. ”Ini harus segera diselesaikan.”

l l l

PROSES pemilihan Gubernur Bank Indonesia pada Mei 2003 memang masih meninggalkan imbas hingga kini. Meski Anwar saat itu anggota dewan gubernur yang paling senior, namanya tak direkomendasikan untuk mengikuti proses seleksi gubernur di Dewan Perwakilan Rakyat.

Presiden Megawati Soekarnoputri saat itu menggadang-gadang Miranda Swaray Goeltom, deputi gubernur, sebagai orang nomor satu di bank sentral menggantikan Syahril Sabirin. Kandidat lain adalah Direktur Bank Indonesia Cyrillus Harinowo dan Deputi Gubernur Burhanuddin Abdullah.

Seorang politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bercerita calon paling kuat saat itu memang Miranda Goeltom. Nama Anwar Nasution sengaja tidak dimasukkan karena akan menjadi pesaing kuat bagi Miranda. ”Kalau mau bersaing, ya, jangan dengan yang kuat, dong,” katanya.

Anwar, kata sumber Tempo, masih berminat berkiprah di bank sentral. Ia yakin bisa membangun hubungan baik antara ”Thamrin dan Lapangan Banteng”—kantor Bank Indonesia dan Departemen Keuangan—soal moneter dan keuangan negara. ”Mungkin maksud Anwar pesan itu disampaikan ke Megawati,” kata si sumber.

Peluang Anwar sebenarnya masih terbuka saat pemilihan deputi gubernur senior setahun kemudian. Saat itu, kata si politikus, Anwar bisa saja memperpanjang jabatannya. Namun Miranda, yang dikalahkan Burhanuddin Abdullah saat pemilihan gubernur, keburu dipantek Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai orang nomor dua. ”Anwar lalu disepakati menempati posisi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan,” katanya.

Anwar membenarkan dia lebih suka berkarier di bank sentral. ”Ini sesuai dengan latar belakang ilmu saya,” kata lulusan Administrasi Publik Kennedy School of Government Universitas Harvard itu. Namun, menurut Anwar, ia realistis karena kesempatan bekerja di bank sentral harus disetujui presiden. Ia merasa tak pintar melakukan lobi politik, apalagi menggelontorkan uang. ”(Saya tidak mau) sogok sana-sini seperti yang kalian beritakan itu,” kata Anwar.

Namun guru besar ekonomi Universitas Indonesia itu mengaku posisinya sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan lebih bergengsi dibanding Gubernur Bank Indonesia. ”Pelat mobil saya RI-10,” katanya, tertawa. ”Kalau saya lewat, minggir semua.”

Budi Riza, Vennie Melyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus