Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MOMOK baru itu bernama parliamentary threshold. Yang bergidik menghadapinya adalah sejumlah partai baru peserta Pemilihan Umum 2009. Intinya, prinsip ini mensyaratkan peserta pemilu tahun depan agar mencapai perolehan suara minimal 2,5 persen. Jika tidak, partai tak diizinkan ikut pemilu berikutnya. Selain itu, mereka tak akan mendapat satu kursi pun—meski pada beberapa daerah pemilihan suara mereka cukup untuk mengantarkan seorang calon legislator ke Senayan. Sejumlah partai baru pekan ini akan menggugat Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008—beleid yang mengatur parliamentary threshold—ke Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya, kasak-kusuk terjadi di antara mereka. Ketua Umum Partai Matahari Bangsa, Imam Addaruqutni, misalnya, runtang-runtung dengan Adhi Massardi, Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Daerah, untuk mengatur strategi hukum. Mereka juga melobi Dewan Perwakilan Rakyat agar merevisi klausul tersebut. Menurut Adhi, ambang batas suara parlemen bertentangan dengan konstitusi. ”Sistem itu membunuh demokrasi,” kata bekas juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid itu.
Dua pekan lalu partai-partai baru itu bertemu di Hotel Bidakara, Jakarta. Sepekan kemudian pertemuan serupa digelar di Hotel Kartika Chandra. Dalam pertemuan itu, petinggi partai baru membentuk Forum Komunikasi 18 Parpol. Ketua Umum Partai Persatuan Daerah Oesman Sapta didapuk menjadi koordinator.
Banyak yang memprediksi perolehan suara partai alit pada pemilu tahun depan tak akan lebih baik daripada 2004. Suara tak seberapa juga akan didapat oleh partai-partai baru. Jika asumsi ini benar, Partai Damai Sejahtera, misalnya, yang pada pemilu lalu meraup 2,4 juta suara (2,1 persen), akan tutup buku. Jika pada periode 2004-2009 mereka memperoleh 13 kursi, dengan peraturan baru ini mereka tak akan mendapat satu wakil pun.
Contoh lain: Partai Bintang Reformasi. Pada pemilu lalu partai ini mendapat 2,7 juta suara (2,4 persen). Kalau dalam Dewan Perwakilan Rakyat 2004-2009 mereka punya wakil 11 orang, dengan beleid ini mereka akan tak memiliki satu kursi pun.
Para pengurus partai baru dag-dig-dug—meski secara resmi mengaku yakin bisa meraup 2,5 persen suara. ”Kami jangan dimatikan. Beri kami kesempatan,” kata Imam Addaruqutni. Menurut Wakil Sekretaris Komite Independen Pemantau Pemilu Indonesia Jojo Rohi, jika parliamentary threshold diberlakukan, hanya tujuh atau delapan partai yang punya wakil di parlemen. Dominasi partai besar akan kian terasa dengan dibolehkannya anggota partai politik menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. ”Check and balances tidak jalan,” ujarnya.
Menurut Adhi, parliamentary threshold mengadopsi pemilu Jerman. Tujuannya, menghambat partai berideologi fasis, yang umumnya tak punya banyak konstituen, masuk parlemen. Di Indonesia, kata Adhi, tak ada partai fasis. Karena itu, model pembatasan tersebut tidak tepat. ”Kami bukan partai neo-Nazi,” katanya.
Munculnya parliamentary threshold sebetulnya tak lepas dari politik barter di Dewan. Awal tahun lalu 17 partai yang tidak mendapat suara 2,5 persen pada Pemilu 2004 minta diloloskan ikut pemilu tahun depan tanpa verifikasi. Imbalannya, partai kecil menerima ketentuan parliamentary threshold pada pemilu tahun depan. ”Ini deal kami dengan partai kecil,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Rully Chairul Azwar.
Napas sistem ini, kata Rully, untuk membatasi jumlah partai, sesuai dengan permintaan banyak kalangan, termasuk kampus dan lembaga swadaya masyarakat. Tapi, kata Jojo, pembatasan semestinya lewat regulasi ketat partai untuk bisa ikut pemilu, bukan mengubur suara hasil pemilu.
Sunudyantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo